Jumat, 24 April 2020

Faktor-Faktor Penentu Konsumsi Produk Suplemen Penstimulasi Stamina (skripsi dan tesis)


1. Pengalaman mengkonsumsi
Secara umum, faktor-faktor yang diduga menjadi penentu persepsi dan
konsumsi sangat berkaitan dengan proses kognitif yang dipengaruhi
pengalaman, serta konsep pribadi yang dikelompokkan ke dalam beberapa
faktor, yaitu: (1) faktor demografi (umur, pendapatan, pendidikan dan tahap
siklus hidup); (2) faktor sosial (budaya, kelas sosial, kelompok rujukan dan
pengeluaran waktu); dan (3) faktor psikologi (sikap, kepribadian, tingkat
kesadaran akan kelas sosial, motivasi, resiko yang dirasakan, pendapatan para
tokoh, dan lain- lain) (Sutisna, 2001).
Jika pengalaman konsumen saat mengkonsumsi merasakan sesuai
dengan yang dijanjikan, maka rasa puas dan kemungkinan untuk melakukan
pembelian ulang sangat besar (Sutisna, 2001). Bukan hanya itu, kemungkinan
memberikan referensi kepada orang lain tentang produk suplemen yang
berkaitan dengan klaim, rasa dan harga terjangkau akan cepat tersebar. Tetapi
sebaliknya, jika konsumen merasakan produk suplemen tidak sesuai yang
dijanjikan, konsumen akan kecewa yang diwujudkan dengan tidak melakukan
pembelian ulang, lebih berbahaya lagi, jika konsumen mengekspresikan
kekecewaannya kepada pihak lain, atau media massa.
Memang tidak akan ada bedanya antara pengalaman konsumen ketika
meminum cairan yang mengandung gula seperti teh manis dan lainnya, tetapi
produk suplemen sering dikonsumsi, karena dianggap dapat menstimuli
stamina dan menyegarkan (menghilangkan rasa kantuk). Rasa menyegarkan,
peningkat stamina dan tidak mengantuk ini disebabkan oleh kafein yang
memang terkandung di dalam produk suplemen. Martindale (1997)
mengemukakan bahwa, sensasi segar ditimbulkan dari kafein dosis tertentu
dan jika dosisnya melebihi 50 mg justru akan merusak kesehatan.
2. Pengetahuan konsumen akan gizi
Mowen and Minor (1999) mendefinisikan pengetahuan
konsumen sebagai ”the amount of experience with and
information about particular products or services a person has”.
Engel et al. (1998) mengartikan ”at a general level, knowledge
can be defined as the information stored within memory. The
subset of total information relevant to consumers functioning in
the marketplace is called consumer knowledge”. Dari dua
definisi tersebut Sumarwan (2003) mengartikan bahwa,
pengetahuan konsumen merupakan semua informasi yang
dimiliki konsumen mengenai berbagai macam produk dan
jasa, serta pengetahuan lainnya yang terkait dengan produk
dan jasa.
Pengetahuan konsumen menurut Mowen and Minor (1999)
terbagi atas tiga kategori, yaitu (1) pengetahuan objektif
(objective knowledge), yakni informasi yang benar mengenai
kelas produk yang diingat konsumen dalam jangka panjang; (2)
pengetahuan subjektif (subjective knowledge), yakni persepsi
konsumen mengenai apa dan berapa banyak yang diketahui
mengenai kelas produk; (3) pengetahuan lainnya yang
berkaitan dengan suatu produk.
Memilih suatu produk suplemen memang tidak terlepas
dari masalah selera, namun tidak melupakan segi kesehatan
dan gizi. Jika konsumen memiliki pengetahuan positif tentang
produk (kelas produk, bentuk produk, merek, model/fitur),
maka kemampuan untuk memilih mutu produk dengan
ketersediaan zat gizi dalam jumlah dan jenis yang cukup dapat
sesuai kebutuhan. Artinya, semakin tinggi tingkat pengetahuan
gizi seseorang, maka semakin tinggi kepentingan kualitas
produk daripada kuantitasnya. Hal inilah yang diungkapkan
oleh Sanjur (1982) bahwa, salah satu faktor pribadi yang
mempengaruhi jumlah dan jenis produk yang dikonsumsi,
berkaitan erat dengan kemampuan seseorang untuk
menerapkan pengetahuan gizi dalam memilih dan cara
pemanfaatan produk sesuai dengan kebutuhan.
3. Merek produk suplemen
Merek merupakan nama, istilah, tanda, simbol, desain atau kombinasi
yang ditujukan untuk mengidentifikasi produk dari produsen sehingga mudah
dikenali konsumen (Sumarwan, 2003). Pendapat senada dikemukakan
Durianto et al. (2004a) bahwa, merek bukan terletak di kemasan produk, tetapi
dalam persepsi konsumen. Bahkan Aaker (1997) mempertegas, merek lebih
penting dari produk itu sendiri.
Dinamika kompetisi yang ketat antara merek, menuntut merek harus
mempunyai kedudukan unik, jika dibandingkan dengan merek lain, sehingga
diperlukan positioning merek yang tajam dan menggambarkan diferensiasi
dibandingkan dengan pesaing (Aaker, 1997). Dalam hal ini, merek harus
diasosiasikan dengan sejumlah atribut dalam bentuk manfaat yang ditawarkan
oleh merek dan berbeda dengan pesaing. Oleh sebab itu, Sumarwan (2003)
mengatakan merek (brand) adalah janji produsen sebagai jaminan mutu
terhadap atribut produk, manfaat, nilai merek, budaya, kepribadian, dan
pemakai produk tersebut.
Agar komunikasi dapat terbentuk dan menimbulkan asosiasi kuat antara
merek dan atributnya, setiap positioning merek harus diiringi positioning
claim, yakni serangkaian kata yang menggambarkan sebuah janji dan dengan
sendirinya harus ditepati (Sutisna, 2001). Janji inilah yang membedakan
dengan merek pesaing dan menjadi daya tarik agar konsumen mencoba,
sehingga terbentuk ikatan emosional antara produsen dan konsumen untuk
membangkitkan kesadaran merek (brand awareness). Menurut Durianto et al.
(2004a), kesadaran merek merupakan key of brand asset atau kunci pembuka
untuk masuk ke elemen lainnya guna memperluas pasar yang berpengaruh
terhadap persepsi dan tingkah laku.
Aaker (1997) membagi brand awareness (Gambar 7), yaitu (1) unaware
of brand (tidak menyadari merek), konsumen tidak menyadari adanya suatu
merek; (2) brand recognition (pengenalan merek), pengenalan merek akan
muncul setelah dilakukan pengingatan kembali lewat bantuan (aided recall);
(3) brand recall (mengingat kembali terhadap merek), mengingat kembali
terhadap suatu merek tanpa bantuan (unaided recall); (4) top of mind (puncak
pikiran), merek utama yang ada dalam benak konsumen. Dari uraian di atas
dapat ditarik benang merah bahwa, merek merupakan suatu aset penting dan
berharga bagi perusahaan
Karakteristik demografi
Sanjur (1982) mengatakan bahwa, faktor demografi terdiri dari usia,
jenis kelamin, pendapatan, pendidikan dan pekerjaan. Konsumen dengan
karakteristik demografi dan karakteristik sosial ekonomi yang sama cenderung
memiliki perilaku konsumsi yang sama, jika dibandingkan dengan konsumen
yang memiliki karakteristik demografi dan sosial ekonomi berbeda (Kotler,
2000). Kotler (2000) dan Sutisna (2001) mengilustrasikan, pertama,
pembelian produk atau merek tertentu dipengaruhi oleh faktor sumber daya
ekonomi (daya beli) yang dimiliki sekarang atau di masa akan datang. Kedua,
usia mempengaruhi persepsi seseorang untuk membuat keputusan dan dapat
mempengaruhi selera terhadap beberapa produk. Hal senada diungkapkan
Sumarwan (2003) bahwa, keputusan konsumen mengkonsumsi berhubungan
dengan faktor daya beli, usia, jenis kelamin dan status perkawinan.

Tidak ada komentar: