Kamis, 21 November 2019

Hubungan Antara Religiusitas dengan Materialisme (skripsi dan tesis) Dewasa ini, Indonesia dikenal sebagai negara yang masyarakatnya beragama dan sangat mementingkan religi dalam hidupnya, hal ini bisa dilihat pada ideologi dasar negara yang meletakan keTuhanan di posisi teratas. Fenomena semangat pendalaman ajaran agama pada generasi muda di Indonesia menunjukan gejala peningkatan (Afiatin, 1998). Individu yang religius diketahui memiliki keyakinan, ketaatan, pengalaman, pengetahuan dan pengamalan yang diarahkan secara sadar dan sungguh-sungguh pada ajaran agamanya. Individu yang religiusitasnya tinggi cenderung memiliki regulasi diri yang baik sehingga tidak kompulsif dalam berbelanja (Djudiyah dan Sumantri, 2015). Religiusitas merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk meminimalisir terbentuknya nilai materialistik dan belanja impulsif maupun kompulsif. Komitmen yang tinggi terhadap nilai-nilai agama yang telah diinternalisasinya akan berfungsi sebagai regulasi diri mapun kontrol diri dalam berperilaku. Individu yang memiliki religiusitas tinggi mampu menunda kegembiraan dengan baik serta memiliki performance yang lebih baik pada pengukuran prestasi akademik dan penyesuaian sosial (McCullough dan Willoughby, 2009). Menurut Joung, (2013) mahasiswa saat ini sangat memperhatikan penampilan, dan memiliki sikap konsumtif terhadap barang yang pembeliannya cenderung tidak direncanakan (compulsive), dan lebih banyak dari yang dibutuhkan. Pusat perbelanjaan modern, seperti supermarket dan mall selalu dipenuhi oleh kalangan muda berstatus mahasiswa yang menunjukan perilaku konsumtif. Lingkungan hidup mahasiswa saat ini juga serat dengan nilai-nilai materialistis. Individu tersebut menjadi mudah terpengaruh oleh lingkungannya yang menyebabkan munculnya materialisme di kalangan mahasiswa. (Johan dan Cahyo, 2016). Individu yang materialistis juga dapat diketahui dari nilai yang dianutnya, yang menekankan kepentingan pada pemilikan harta benda dan pemerolehannya sebagai tujuan hidup, parameter kesuksesan, dan sumber kebahagiaan (Richins dan Dawson, 1992). Individu yang materialistis melakukan konsumsi demi konsumsi itu sendiri, karena tujuan hidupnya berhenti pada pemerolehan barang dan harta benda. Mereka memandang harta benda dan uang adalah kunci kebahagiaan dan kesuksesan sosial, dan mengabaikan pentingnya hubungan sosial, pengalaman, dan prestasi. Mereka 27 menilai kesuksesan diri dan orang lain berdasarkan jumlah dan kualitas harta benda yang dikumpulkan (Husna, 2016). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa religiusitas menjadi salah satu faktor yang berhubungan dengan materialisme pada mahasiswa. Karakteristik dari mahasiswa yang memiliki religiusitas dapat dijelaskan melalui dimensi religiusitas yaitu, dimensi ideologi, ritual, pengalaman, intelektual, dan pengamalan. Kelima aspek tersebut berhubungan dengan aspek-aspek materialisme yaitu, kepemilikan barang milik material dan uang adalah tujuan hidup yang paling penting, barang sebagai jalan utama untuk mencapai kebahagiaan personal dan barang milik sebagai alat ukur kesuksesan. Dimensi religiusitas yang pertama adalah dimensi kepercayaan (ideologi) terhadap Tuhan yaitu, keimanan individu terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama yang termuat dalam kitab suci atau pedoman ajaran agamanya. Serta keyakinan atau keimanan individu terhadap kebenaran ajaran agama, terutama terhadap ajaran-ajaran agama yang bersifat fundamental dan dogmatik. Individu yang memiliki kepercayaan yang tinggi pada Tuhan, mereka akan meletakan Tuhan sebagai tujuan hidup yang paling penting karena individu yang religius memiliki pemahaman bahwa hanya dengan menuju Tuhan, kebahagiaan sejati bisa didapatkan. Hal tersebut tentu berhubungan dengan materialisme individu yang hanya membatasi kebahagiaan sebatas kepemilikan benda-benda material semata. Aspek materialisme berupa tujuan hidup materialistis yang menekankan akan pentingnya kepemilikan barang dan uang pun akan berkurang dengan sendirinya karena tuntutan keimanan dan ajaran agama yang fundamental dengan hanya menuju Tuhan (Jalaluddin, 2016). Dimensi yang kedua adalah dimensi praktik agama (ritualistik) yang mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan individu untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktik agama ini terdiri dari ritual dan ketaatan yang ditandai dengan seberapa jauh kepatuhan individu dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual yang diperintahkan oleh agamanya. Kepatuhan ini ditunjukkan dengan meyakini dan melaksanakan kewajiban-kewajiban secara konsisten. Individu yang selalu taat menjalankan ajaran agamanya akan mengurangi sikap konsumtifnya karena di dalam agama terdapat ajaran tentang dilarangnya sikap hidup berlebihan terhadap barang materil yang identik dengan aspek materialisme yang meyakini bahwa barang dan uang adalah jalan utama untuk mencapai kebahagian personal, kehidupan yang lebih baik, dan identitas diri yang lebih positif (Ahyadi, 2011). Dimensi yang ketiga adalah dimensi pengalaman keagamaan (eksperiensial) yaitu, pengalaman, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami individu terhadap komunikasinya dengan Tuhan. Individu yang yang mengalami pengalaman spiritual akan menilai kesuksesan seseorang berdasarkan pencapaian pada pengalaman spiritual tersebut. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan orientasi hidup antara Individu yang religius dengan individu yang materialis, di dalam ajaran agama, tujuan tertinggi dari kehidupan manusia adalah perjumpaannya dengan Tuhan dalam Syurga. Hal tersebut jelas berbeda dengan individu materialistis yang menekankan aspek kepemilikan barang dan uang sebagai alat ukur untuk mengevaluasi prestasi dan tolak ukur kesuksesan diri sendiri juga orang lain. Individu yang materialistis hanya melihat kesuksesan seseorang sebatas pada pencapaian materi seperti memiliki barang dan uang. Mahasiswa yang mengalami pengalaman spiritualitas dalam hidupnya akan menilai kesuksesan seseorang tidak hanya pada pencapaian materi semata tapi kesuksesan tersebut diartikan sebagai pengalaman spiritualitas itu sendiri seperti kedekatan dan perjumpaan dengan Tuhan (Purwadi, 2007). Dimensi yang keempat adalah dimensi pengetahuan (intelektual) yang ditunjukkan dengan tingkat pengetahuan dan pemahaman individu terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama yang termuat dalam kitab suci atau pedoman ajaran agamanya. Hal tersebut berpengaruh pada penurunan nilai materialisme. Individu yang religius memandang kesuksesan sejati dapat diperoleh tidak hanya dengan perolehan benda material semata tapi lebih dari itu, kesuksesan menurut individu yang memiliki religiusitas tinggi adalah perjumpaan dengan Tuhan, baik itu dalam dimensi kehidupan saat ini maupun kehidupan setelah kematian (Jalaluddin, 2016). Dimensi yang kelima adalah dimensi pengamalan (konsekuensial) yang mengacu pada identifikasi dari akibat-akibat keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan individu dari hari ke hari seperti perilaku individu yang dimotivasi oleh ajaran agamanya atau seberapa jauh individu menerapkan ajaran agamanya dalam perilaku hidupnya sehari-hari. Hal tersebut tentu berhubungan dengan meminimalisir terbentuknya nilai-nilai materialistik. 30 Komitmen yang tinggi dalam beragama akan berfungsi sebagai kontrol diri dalam menghadapi nilai-nilai materialisme (Djudiyah dan Sumantri, 2015


 Dewasa ini, Indonesia dikenal sebagai negara yang masyarakatnya beragama dan sangat mementingkan religi dalam hidupnya, hal ini bisa dilihat pada ideologi dasar negara yang meletakan keTuhanan di posisi teratas. Fenomena semangat pendalaman ajaran agama pada generasi muda di Indonesia menunjukan gejala peningkatan (Afiatin, 1998). Individu yang religius diketahui memiliki keyakinan, ketaatan, pengalaman, pengetahuan dan pengamalan yang diarahkan secara sadar dan sungguh-sungguh pada ajaran agamanya. Individu yang religiusitasnya tinggi cenderung memiliki regulasi diri yang baik sehingga tidak kompulsif dalam berbelanja (Djudiyah dan Sumantri, 2015). Religiusitas merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk meminimalisir terbentuknya nilai materialistik dan belanja impulsif maupun  kompulsif. Komitmen yang tinggi terhadap nilai-nilai agama yang telah diinternalisasinya akan berfungsi sebagai regulasi diri mapun kontrol diri dalam berperilaku. Individu yang memiliki religiusitas tinggi mampu menunda kegembiraan dengan baik serta memiliki performance yang lebih baik pada pengukuran prestasi akademik dan penyesuaian sosial (McCullough dan Willoughby, 2009).
 Menurut Joung, (2013) mahasiswa saat ini sangat memperhatikan penampilan, dan memiliki sikap konsumtif terhadap barang yang pembeliannya cenderung tidak direncanakan (compulsive), dan lebih banyak dari yang dibutuhkan. Pusat perbelanjaan modern, seperti supermarket dan mall selalu dipenuhi oleh kalangan muda berstatus mahasiswa yang menunjukan perilaku konsumtif. Lingkungan hidup mahasiswa saat ini juga serat dengan nilai-nilai materialistis. Individu tersebut menjadi mudah terpengaruh oleh lingkungannya yang menyebabkan munculnya materialisme di kalangan mahasiswa. (Johan dan Cahyo, 2016). Individu yang materialistis juga dapat diketahui dari nilai yang dianutnya, yang menekankan kepentingan pada pemilikan harta benda dan pemerolehannya sebagai tujuan hidup, parameter kesuksesan, dan sumber kebahagiaan (Richins dan Dawson, 1992). Individu yang materialistis melakukan konsumsi demi konsumsi itu sendiri, karena tujuan hidupnya berhenti pada pemerolehan barang dan harta benda. Mereka memandang harta benda dan uang adalah kunci kebahagiaan dan kesuksesan sosial, dan mengabaikan pentingnya hubungan sosial, pengalaman, dan prestasi. Mereka 27 menilai kesuksesan diri dan orang lain berdasarkan jumlah dan kualitas harta benda yang dikumpulkan (Husna, 2016).
 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa religiusitas menjadi salah satu faktor yang berhubungan dengan materialisme pada mahasiswa. Karakteristik dari mahasiswa yang memiliki religiusitas dapat dijelaskan melalui dimensi religiusitas yaitu, dimensi ideologi, ritual, pengalaman, intelektual, dan pengamalan. Kelima aspek tersebut berhubungan dengan aspek-aspek materialisme yaitu, kepemilikan barang milik material dan uang adalah tujuan hidup yang paling penting, barang sebagai jalan utama untuk mencapai kebahagiaan personal dan barang milik sebagai alat ukur kesuksesan. Dimensi religiusitas yang pertama adalah dimensi kepercayaan (ideologi) terhadap Tuhan yaitu, keimanan individu terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama yang termuat dalam kitab suci atau pedoman ajaran agamanya. Serta keyakinan atau keimanan individu terhadap kebenaran ajaran agama, terutama terhadap ajaran-ajaran agama yang bersifat fundamental dan dogmatik. Individu yang memiliki kepercayaan yang tinggi pada Tuhan, mereka akan meletakan Tuhan sebagai tujuan hidup yang paling penting karena individu yang religius memiliki pemahaman bahwa hanya dengan menuju Tuhan, kebahagiaan sejati bisa didapatkan. Hal tersebut tentu berhubungan dengan materialisme individu yang hanya membatasi kebahagiaan sebatas kepemilikan benda-benda material semata. Aspek materialisme berupa tujuan hidup materialistis yang menekankan akan pentingnya kepemilikan barang dan uang pun akan berkurang dengan sendirinya karena tuntutan keimanan dan  ajaran agama yang fundamental dengan hanya menuju Tuhan (Jalaluddin, 2016).
 Dimensi yang kedua adalah dimensi praktik agama (ritualistik) yang mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan individu untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktik agama ini terdiri dari ritual dan ketaatan yang ditandai dengan seberapa jauh kepatuhan individu dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual yang diperintahkan oleh agamanya. Kepatuhan ini ditunjukkan dengan meyakini dan melaksanakan kewajiban-kewajiban secara konsisten. Individu yang selalu taat menjalankan ajaran agamanya akan mengurangi sikap konsumtifnya karena di dalam agama terdapat ajaran tentang dilarangnya sikap hidup berlebihan terhadap barang materil yang identik dengan aspek materialisme yang meyakini bahwa barang dan uang adalah jalan utama untuk mencapai kebahagian personal, kehidupan yang lebih baik, dan identitas diri yang lebih positif (Ahyadi, 2011).
 Dimensi yang ketiga adalah dimensi pengalaman keagamaan (eksperiensial) yaitu, pengalaman, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami individu terhadap komunikasinya dengan Tuhan. Individu yang yang mengalami pengalaman spiritual akan menilai kesuksesan seseorang berdasarkan pencapaian pada pengalaman spiritual tersebut. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan orientasi hidup antara Individu yang religius dengan individu yang materialis, di dalam ajaran agama, tujuan tertinggi dari kehidupan manusia adalah perjumpaannya dengan Tuhan dalam Syurga. Hal tersebut jelas berbeda dengan individu materialistis yang  menekankan aspek kepemilikan barang dan uang sebagai alat ukur untuk mengevaluasi prestasi dan tolak ukur kesuksesan diri sendiri juga orang lain. Individu yang materialistis hanya melihat kesuksesan seseorang sebatas pada pencapaian materi seperti memiliki barang dan uang. Mahasiswa yang mengalami pengalaman spiritualitas dalam hidupnya akan menilai kesuksesan seseorang tidak hanya pada pencapaian materi semata tapi kesuksesan tersebut diartikan sebagai pengalaman spiritualitas itu sendiri seperti kedekatan dan perjumpaan dengan Tuhan (Purwadi, 2007).
 Dimensi yang keempat adalah dimensi pengetahuan (intelektual) yang ditunjukkan dengan tingkat pengetahuan dan pemahaman individu terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama yang termuat dalam kitab suci atau pedoman ajaran agamanya. Hal tersebut berpengaruh pada penurunan nilai materialisme. Individu yang religius memandang kesuksesan sejati dapat diperoleh tidak hanya dengan perolehan benda material semata tapi lebih dari itu, kesuksesan menurut individu yang memiliki religiusitas tinggi adalah perjumpaan dengan Tuhan, baik itu dalam dimensi kehidupan saat ini maupun kehidupan setelah kematian (Jalaluddin, 2016).
 Dimensi yang kelima adalah dimensi pengamalan (konsekuensial) yang mengacu pada identifikasi dari akibat-akibat keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan individu dari hari ke hari seperti perilaku individu yang dimotivasi oleh ajaran agamanya atau seberapa jauh individu menerapkan ajaran agamanya dalam perilaku hidupnya sehari-hari. Hal tersebut tentu berhubungan dengan meminimalisir terbentuknya nilai-nilai materialistik. 30 Komitmen yang tinggi dalam beragama akan berfungsi sebagai kontrol diri dalam menghadapi nilai-nilai materialisme (Djudiyah dan Sumantri, 2015

Tidak ada komentar: