Teori keagenan dicetuskan pertama kali oleh Jensen dan Meckling (1976) yang menjelaskan bahwa teori keagenan merupakan teori yang menerangkan hubungan antara prinsipal (pemegang saham) sebagai pihak yang memberikan wewenangnya kepada agen (manajemen) sebagai pihak yang ditugasi untuk menjalankan perusahaan yang terjalin melalui kontrak kerja sama yang telah disepakati. Menurut Anthony dan Govindrajan (2005) prinsipal mempekerjakan agen untuk melakukan tugas sehingga kepentingan prinsipal dapat terpenuhi, termasuk pendelegasian otorisasi pengambilan keputusan dari prinsipal kepada agen. Dalam prakteknya, agen atau pihak yang diberikan wewenang dapat bertindak tidak sesuai dengan keinginan prinsipal, karena kedua pihak mungkin memiliki perbedaan preferensi. Agen memiliki kewajiban untuk memaksimumkan kesejahteraan para pemegang saham, namun disisi lain mereka juga mempunyai kepentingan untuk memaksimumkan kesejahteraan mereka sendiri. Dilain pihak, para prinsipal juga menginginkan perusahaannya dapat menghasilkan profit yang tinggi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan mereka, hal inilah kemudian yang dapat menimbulkan konflik. Potensi konflik inilah yang disebut dengan agency problem (masalah keagenan).
Masalah keagenan timbul karena adanya perbedaan tujuan maupun kepentingan diantara prinsipal dan agen. Akibat dari adanya masalah ini, prinsipal tidak dapat mengetahui secara jelas tindakan-tindakan yang dilakukan agen yang mungkin saja dapat merugikan prinsipal. Ketidaktahuan ini dikarenakan prinsipal tidak dapat mengamati kegiatan yang dilakukan agen secara terus-menerus. Hal ini menyebabkan prinsipal tidak memiliki informasi yang cukup mengenai kinerja agen, sehingga prinsipal tidak pernah dapat merasa pasti bagaimana usaha agen memberikan kontribusi pada hasil aktual perusahaan. Kondisi inilah yang disebut asimetri informasi. Asimetri informasi dan konflik kepentingan yang terjadi antara prinsipal dan agen mendorong agen untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada prinsipal, terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan kinerja agensi. Masalah keagenan ini dapat memunculkan agency cost (biaya keagenan), yakni biaya yang dikeluarkan oleh pihak prinsipal untuk mengawasi kegiatan atau tindakan yang dilakukan pihak agen agar bertindak sesuai dengan wewenang yang diberikan (Jensen dan Meckling, 1976).
Masalah keagenan timbul karena adanya perbedaan tujuan maupun kepentingan diantara prinsipal dan agen. Akibat dari adanya masalah ini, prinsipal tidak dapat mengetahui secara jelas tindakan-tindakan yang dilakukan agen yang mungkin saja dapat merugikan prinsipal. Ketidaktahuan ini dikarenakan prinsipal tidak dapat mengamati kegiatan yang dilakukan agen secara terus-menerus. Hal ini menyebabkan prinsipal tidak memiliki informasi yang cukup mengenai kinerja agen, sehingga prinsipal tidak pernah dapat merasa pasti bagaimana usaha agen memberikan kontribusi pada hasil aktual perusahaan. Kondisi inilah yang disebut asimetri informasi. Asimetri informasi dan konflik kepentingan yang terjadi antara prinsipal dan agen mendorong agen untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada prinsipal, terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan kinerja agensi. Masalah keagenan ini dapat memunculkan agency cost (biaya keagenan), yakni biaya yang dikeluarkan oleh pihak prinsipal untuk mengawasi kegiatan atau tindakan yang dilakukan pihak agen agar bertindak sesuai dengan wewenang yang diberikan (Jensen dan Meckling, 1976).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar