Kepuasan kerja diperoleh saat seorang individu menilai bahwa hasil atau manfaat aktual yang diterimanya adalah sepadan atau lebih besar dari ekspektasinya. Penilaian itu juga dikaitkan dengan besarnya pengorbanan yang harus dia lakukan atas keluarganya karena melaksanakan beban pekerjaan (Dhamayanti, 2006; Lee et al., 2013). Apabila orang yang bersangkutan mulai merasakan konflik ketidakseimbangan antara
porsi kerja dan keluarga, dan menilai bahwa pengorbanan waktu keluarga tidak sepadan dengan hasil yang diperoleh dari pekerjaannya, maka timbul ketidakpuasan kerja.
Dhamayanti (2006) serta Guitian (2009) dalam penelitiannya menemukan bahwa saat beban kerja yang berat menghambat seorang individu untuk memenuhi tanggungjawab atas keluarganya, individu tersebut bisa memiliki perasaan negatif mengenai pekerjaan itu (reaksi afektif yang negatif) dan meyakini bahwa pekerjaan itu kurang memiliki arti bagi dirinya (penilaian kognitif yang rendah). Lebih jauh, studi-studi milik Soeharto (2010) serta Lee et al. (2013) menemukan bahwa konflik kerja-keluarga mempengaruhi perasaan dan sikap seseorang terhadap pekerjaan, sehingga saat
orang tersebut mengalami konflik kerja-keluarga maka berdampak negatif terhadap kepuasan kerja yang dirasakannya; atau sebaliknya, saat orang itu merasakan bahwa ia mampu menyeimbangkan antara kepentingan kerja dan kepentingan keluarga maka ia merasakan kepuasan dalam pekerjaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar