Jumat, 11 Januari 2019

Indikator Dalam Ketahanan (Resiliensi) (skripsi dan tesis)


Coulson (2006) mengemukakan empat proses yang dapat terjadi ketika seseorang mengalami situasi cukup menekan (significant adversity), yaitu
1)   Succumbing (mengalah), merupakan istilah untuk menggambarkan kondisi yang menurun dimana individu mengalah atau menyerah setelah menghadapi suatu ancaman atau kondisi yang menekan. Level ini merupakan kondisi ketika individu menemukan atau mengalami kemalangan yang terlalu berat bagi mereka. Penampakan (outcomes) dari individu yang berada pada kondisi ini berpotensi mengalami depresi dan biasanya penggunaan narkoba sebagai pelarian, dan pada tataran ekstrim dapat menyebabkan individu bunuh diri,
2)   Survival (bertahan). Pada level ini individu tidak mampu meraih atau mengembalikan fungsi psikologis dan emosi yang positif setelah saat menghadapi tekanan. Efek dari pengalaman yang menekan membuat individu gagal untuk kembali berfungsi secara wajar (recovery), dan berkurang pada beberapa respek. Individu pada kondisi ini dapat mengalami perasaan, perilaku, dan kognitif negatif berkepanjangan seperti, menarik diri, berkurangnya kepuasan kerja, dan depresi,
3)   Recovery (pemulihan) merupakan kondisi ketika individu mampu pulih kembali (bounce back) pada fungsi psikologis dan emosi secara wajar, dan dapat beradaptasi terhadap kondisi yang menekan, meskipun masih menyisahkan efek dari perasaan yang negatif. individu dapat kembali beraktivitas dalam kehidupan sehari-harinya, menunjukkan diri mereka sebagai individu yang resilien,
4)   Thriving (berkembang dengan pesat). Pada kondisi ini individu tidak hanya mampu kembali pada level fungsi sebelumnya setelah mengalami kondisi yang menekan, namun mereka mampu minimal melampaui level ini pada beberapa respek. Proses pengalaman menghadapi dan mengatasi kondisi yang menekan dan menantang hidup mendatangkan kemampuan baru yang membuat individu menjadi lebih baik. Hal ini termanifetasi pada perilaku, emosi, dan kognitif seperti, sense of purpose of in life, kejelasan visi, lebih menghargai hidup, dan keinginan akan melakukan interaksi atau hubungan sosial yang positif.
Grotberg (1995) menyatakan ada tiga kemampuan atau faktor yang membentuk resiliensi, antara lain :
1)        I Am. Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri, seperti perasaan, tingkah laku dan kepercayaan yang terdapat dalam diri seseorang. Faktor I Am terdiri dari bangga pada diri sendiri, perasaan dicintai dan sikap yang menarik, individu dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan, mencintai, empati dan altruistic, yang terakhir adalah mandiri dan bertanggung jawab.
2)        I Have. Aspek ini merupakan bantuan dan sumber dari luar yang meningkatkan resiliensi. Faktor I Have terdiri dari memberi semangat agar mandiri, struktur dan aturan rumah, Role Models, adanya hubungan.
3)        I Can. Faktor I Can adalah kompetensi sosial dan interpersonal seseorang. Bagian-bagian dari faktor ini adalah mengatur berbagai perasaan dan rangsangan, mencari hubungan yangdapat dipercaya, keterampilan berkomunikasi, mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain, kemampuan memecahkan masalah.
Pada tahap akhir ketika seseorang memasuki tahapan akhir dalam resiliansi maka terdapat beberapa aspek yang harus dipenuhi oleh seseorang. Menurut Wagnild dan Young (1993) menjelaskan ada lima karakteristik resiliensi:
1)   Perseverance, yaitu suatu sikap individu yang tetap bertahan dalam menghadapi situasi sulit. Perseverance juga dapat berarti keinginan seseorang untuk terus berjuang dalam mengembalikan kondisi seperti semula. Dalam karakteristik perseverance ini dibutuhkan kedisiplinan pada diri individu ketika berjuang menghadapi situasi yang sulit dan kurang menguntungkan baginya.
2)   Equaminity, yaitu suatu perspektif yang dimiliki oleh individu mengenai hidup dan pengalaman-pengalaman yang dialaminya semasa hidup yang dianggap merugikan. Namun demikian individu harus mampu untuk melihat dari sudut pandang yang lain sehingga individu dapat melihat hal-hal yang lebih positif daripada hal-hal negatif dari situasi sulit yang sedang dialaminya. Equaminity juga menyangkut karakteristik humor. Oleh karena itu individu yang resilien dapat menertawakan situasi apapun yang sedang dihadapinya, melihat situasi tersebut dari hal yang positif, dan tidak terjebak pada hal-hal negatif yang terdapat di dalamnya.
3)   Meaningfulness, merupakan kesadaran individu bahwa hidupnya memiliki tujuan dan diperlukan usaha untuk mencapai tujuan tersebut. Wagnild (2010) menyebutkan bahwa karakteristik ini merupakan karakteristik resiliensi yang paling penting dan menjadi dasar dari keempat karakteristik yang lain, karena menurutnya hidup tanpa tujuan sama dengan sia-sia karena memiliki arah atau tujuan yang jelas. Tujuan mendorong individu untuk melakukan sesuatu dalam hidup tidak terkecuali ketika individu mengalami kesulitan, tujuanlah yang membuat individu terus berjuang menghadapi kesulitan tersebut.
4)   Self-Reliance, yakni keyakinan pada diri sendiri dengan memahami kemampuan dan batasan yang dimiliki oleh diri sendiri. Individu yang resilien sadar akan kekuatan yang dimiliki dan mempergunakannya dengan benar sehingga dapat menuntun setiap tindakan yang dilakukan. Karateristik ini didapat dari berbagai pengalaman hidup yang dialami sehari-hari dan dapat meningkatkan keyakinan individu akan kemampuan dirinya sendiri. Individu yang resilien mampu mengembangkan berbagai pemecahan masalah yang dihadapinya.
5)   Existential aloneness, yaitu kesadaran bahwa setiap individu unik dan beberapa pengalaman dapat dihadapi bersama namun ada juga yang harus dihadapi sendiri. Individu yang resilien belajar untuk hidup dengan keberdayaan dirinya sendiri. Individu tidak terus-menerus mengandalkan orang lain, dengan kata lain mandiri dalam menghadapi situasi sulit apapun sehingga individu menjadi lebih menghargai kemampian yang dimilikinya. Karakteristik existential aloneness bukan berarti tidak menghiraukan pentingnya berbagai pengalaman dan merendahkan orang lain, melainkan menerima diri sendiri apa adanya.

Tidak ada komentar: