UU No. 41 (1999) tentang Kehutanan serta Menteri LHK (2015) mendefinisikan hutan hak atau lazim disebut sebagai hutan rakyat adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Hutan rakyat dapat dimiliki oleh setiap orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain atau badan hukum. Sejatinya masyarakat telah lama mengenal pola pemanfaatan lahan yang menyerupai hutan rakyat.
Bagi masyarakat Jawa Tengah dan sekitarnya lahan tersebut lebih dikenal dengan sebutan “pekarangan” dimana pada lahan tersebut masyarakat menanam berbagai tanaman keras seperti jati, kelapa, randu, dan lain sebagainya (Suprapto, 2010). Selanjutnya dikatakan bahwa walaupun sebagian besar hutan rakyat di Jawa berada pada tanah dengan status tanah milik rakyat, pengembangan hutan rakyat sangat erat kaitannya dengan program pemerintah khususnya program penghijauan. Menurut laporan studi, pengembangan hutan rakyat di Jawa dimulai pada tahun 1930 oleh pemerintah kolonial. Kemudian Pemerintah Indonesia pada tahun 1950-an mengembangkan hutan rakyat melalui program “Karang Kitri” dan program penghijauan pada awal tahun 60-an. (Wartaputra (1990 dalam Suprapto, 2010)).
Waluyo (2003 dalam Megalina (2009)) menyatakan alasan-alasan yang dapat mendukung kegiatan pengembangan hutan rakyat antara lain:
1. Hutan rakyat ternyata mampu mendukung pasokan bahan baku kayu bagi industri perkayuan.
2. Pembangunan hutan rakyat memberikan manfaat yang sangat banyak, baik manfaat sosial ekonomi maupun perlindungan lingkungan (konservasi tanah dan air).
3. Masyarakat Indonesia pada umumnya sudah mengenal bentuk-bentuk hutan rakyat, tetapi petani hutan rakyat pada umumnya masih mempunyai hambatan-hambatan, baik dari segi produksi pengelolaan maupun pengolahan dan pemasaran hasil-hasilnya, sehingga pemanfaatannya belum optimal.
4. Hak kepemilikan atas lahan hutan rakyat yang jelas akan mendorong petani untuk memanfaatkan, mengelola dan menjaganya dengan lebih baik (terutama di Jawa).
5. Banyak lahan-lahan pertanian yang sebenarnya tidak cocok untuk usaha pertanian intensif. Di Jawa, lahan yang layak untuk pertanian per penduduk agraris hanya kurang dari seperempat hektar (Talkurputra dan Amien, 1998). Pemerintah menganjurkan agar lahan-lahan yang tidak layak untuk pertanian agar dikembangkan menjadi untuk hutan rakyat.
Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi (Dirjen RRL) (1995 dalam Megalina, 2009) menuliskan manfaat pembangunan hutan rakyat adalah sebagai berikut :
1. Memperbaiki penutupan tanah sehingga akan mencegah erosi percikan.
2. Memperbaiki peresapan air ke dalam tanah.
3. Menciptakan iklim mikro, perbaikan lingkungan dan perlindungan sumber air.
4. Meningkatkan produktifitas lahan dengan berbagai hasil dari tanaman hutan rakyat berupa kayu-kayuan.
5. Meningkatkan pendapatan masyarakat
6. Memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu dan kebutuhan kayu rakyat.
Bentuk hutan rakyat yang dikenal dan dibangun di Indonesia menurut Balai Informasi Pertanian (1982), yaitu :
1. Hutan rakyat murni, yaitu merupakan hutan murni dengan jenis kayu tertentu karena hanya ditanami satu jenis tanaman kayu-kayuan, contohnya ditanami pinus saja atau sengon saja.
2. Hutan rakyat campuran, yaitu merupakan hutan campuran yang ditanami lebih dari satu jenis tanaman kayu-kayuan.
3. Hutan rakyat sistem agroforestry, yang merupakan hutan dengan tanaman kayu-kayuan, tanaman pangan, tanaman keras, hijauan pakan dan pemeliharaan ternak.
Sistem yang paling cocok untuk hutan rakyat adalah sistem agroforestry dengan tumpang sari. Pada sistem tumpang sari, lahan ini ditanami bersama-sama tanaman keras dan tanaman pertanian.
Ada beberapa pola pengembangan hutan rakyat seperti dikemukan oleh Usman (2001) sebagai Menteri Kehutanan saat itu bahwa, Pemerintah menyadari sepenuhnya keterbatasan yang ada serta potensi yang sangat mungkin untuk pengembangan hutan rakyat yang dilaksanakan dengan beberapa pola, yaitu pola swadaya, pola subsidi, dan pola kemitraan sebagai berikut:
1. Pola swadaya adalah hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok atau perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu sendiri. Untuk pola ini posisi pemerintah membantu sepenuhnya aspek teknis, manajemen, dan pemasaran, sehingga hutan rakyat dapat berkembang dengan baik.
2. Pola subsidi adalah hutan rakyat yang dibangun melalui bantuan sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya. Bantuan diberikan oleh pemerintah melalui program penghijauan, padat karya, dan bantuan lainnya, atau dari pihak lain yang peduli terhadap pembangunan hutan rakyat.
3. Pola kemitraan adalah hutan rakyat yang dibangun atas kerjasama masyarakat dan perusahaan swasta/koperasi dengan insentif permodalan bunga ringan. Dasar pertimbangan kerjasama ini adalah semua pihak yang terkait saling membutuhkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar