Kamis, 24 Januari 2019

Filsafat Hukum (skripsi dan tesis)

Kata filsafat berasal dari bahasa yunani: philein (mencintai) dan sophia (kebijakan). Jadi secara etimologis filsafat berarti cinta akan kebijakan. Akan tetapi sophia memiliki makna lebih luas dari kebijaksanaan atau wisdom dalam bahasa inggris. Herodotus, misalnya menggunakan kata kerja philosophein dalam arti ”berusaha menemukan”. Dalam arti ini, istilah filsafat bermakna kecintaan seseorang untuk mencari tahu dan memuaskan kerinduan intelektualnya lebih dari kebijaksanaan. Pythagoras, salah satu murid Plato, memahami sophia sebagai pengetahuan hasil kontemplasi untuk membedakannya dari ketrampilan praktis hasil pelatihan teknis yang dimiliki dalam dunia bisnis dan para atlit. Dengan demikian, dalam belajar filsafat hendaknya berusaha mencari pengetahuan atau kebenaran dalam arti ketrampilan praktis.[1]
Teori tentang Keadilan telah dibicarakan oleh para filsuf sejak zaman Purbakala dengan tokoh pemikirnya antara lain Sokrates, Plato, Aristotelse dan filsuf-filsuf lainnya. Socrates dalam dialognya dengan Thrasymachus berpendapat bahwa dengan mengukur apa yang baik dan apa yang buruk, indah dan jelek, berhak dan tidak berhak jangan diserahkan semata-mata kepada orang perseorangan atau kepada mereka yang memiliki kekuatan atau penguasa yang zalim. Hendaknya dicari ukuran-ukuran yang objektif untuk menilainya. Soal keadilan bukanlah hanya berguna bagi mereka yang kuat melainkan keadilan itu hendaknya berlaku juga bagi seluruh masyarakat. [2]
Dalam kurun waktu, konsep keadilan terus mengalami perdebatan karena adanya perbedaan cara pandang terhadap sesuatu dalam hal ini konsep keadilan. Sebagai contoh, dalam filsafat terdapat pertentangan antara filsafat idealisme yang digagas oleh Hegel dengan filsafat materialisme Feurbach yang berbeda dalam memandang sesuatu. Filsafat idealism memandang bahwa ide lebih dulu ada daripada materi sedangkan filsafat materialism memandang sebaliknya.
Dalam konteks keadilan, dewasa ini kita mengenal istilah keadilan substantive yang dipertentangkan dengan keadilan prosedural. Keadilan prosedural dalam filsafat hukum identik dengan madzab hukum positivisme yang melihat hukum adalah fakta bahwa hukum diciptakan dan diberlakukan oleh orang-orang tertentu di dalam masyarakat yang mempunya kewenangan untuk membuat hukum. Sumber dan validitas norma hukum bersumber dari kewenangan tersebut. Hukum harus dipisahkan dari moral.[3] Keadilan prosedural (procedural justice) dan keadilan substantif (substantive justice). Dalam hal ini kami mencoba memberi batasan apa yang dimaksud dengan keadilan prosedural dan keadilan substantif ini. Keadilan prosedural adalah keadilan yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dari peraturan hukum formal, seperti mengenai tenggat waktu maupun syarat-syarat beracara di pengadilan lainnya. Keadilan substantif adalah keadilan yang didasarkan pada nilainilai yang lahir dari sumber-sumber hukum yang responsif sesuai hati nurani.
Dalam perkembangan teoeri keadilan procedural dan substantive dikenal berbagai tokoh. Diantaranya adalah Aristoteles yang mengemukakan bahwa pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian hak persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak persamaanya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak dipandangan manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah yang dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga negara dihadapan hukum sama. Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukanya.[4]
Lebih lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua macam keadilan, keadilan “distributief” dan keadilan “commutatief”. Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut pretasinya. Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa. Dari pembagian macam keadilan ini Aristoteles mendapatkan banyak kontroversi dan perdebatan. Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat. [5]
Dikenal juga adanya tokoh John Rawls yang dipandang sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social justice”, berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan. Secara spesifik, John Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaanya yang dikenal dengan “posisi asli” (original position) dan “selubung ketidaktahuan” (veil of ignorance). Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai suatu “posisi asasli” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society).[6]
Kontribusi filsafat hukum terhadap keadilan didasarkan pada kesadaran bahwa filsafat hukum adalah memperhatikan setiap pandangan (hukum) secara analitis dan kritis. Artinya, apakah posisi setiap pandangan itu dapat dipertanggungjawabkan secara rasional atau tidak. Masalah hukum dan keadilan tidak menjadi fokus perhatian seorang hakim atau praktisi hukum, ini berarti mereka tidak memiliki pengetahuan tentang hukum atau keadilan. Tentu saja mereka harus memiliki, bahkan harus memiliki pengetahuan filosofi yang memadai tentang hal tersebut. Kejelasan konseptual tentang hal itu penting bagi seorang ahli hukum demi merumuskan hukum secara tepat dan sekaligus menerapkannya secara bertanggung jawab. Akan tetapi, yang hendak ditegaskan adalah bahwa bukan tugas utama seorang ahli hukum untuk menjelaskan esensi hukum atau keadilan. Tentu saja mereka memiliki keyakinan atau kepercayaan tentang hukum dan keadilan. [7]
Manusia dituntut untuk selalu mencari formula kebenaran yang berserakan dalam kehidupan masyarakat, manusia akan melihat dari kenyataan empiris sebagai bekal mengkaji secara mendalam, memberikan makna filosofis dengan mengetahui hakikat kebenaran yang hakiki. Kaitannya dengan pembentukan hukum di Indonesia, setidaknya kita sadar bahwa hukum di bentuk karena pertimbangan keadilan (gerechtigkeit) disamping sebagai kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit) Keadilan ini berkaitan dengan pendistribusian hak dan kewajiban, diantara sekian hak yang dimiliki manusia terdapat hak yang bersifat mendasar yang merupakan anugerah alamiah langsung dari Tuhan Yang maha Kuasa, yaitu hak asasi manusia atau hak kodrati manusia, semua manusia tanpa pembedaan ras, suku, bangsa, agama, berhak mendapatkan keadilan, maka di Indonesia yang notabene adalah negara yang sangat heterogen tampaknya dalam membentuk formulasi hukum positif agak berbeda dengan negara-negara yang kulturnya homogen, sangatlah penting kiranya sebelum membentuk suatu hukum yang akan mengatur perjalanan masyarakat, haruslah digali tentang filsafat hukum secara lebih komprehensif yang akan mewujudkan keadilan yang nyata bagi seluruh golongan, suku, ras, agama yang ada di Indonesia, hukum hanya sarana, sedangkan tujuan akhirnya adalah keadilan”, lalu bagaimana sebenarnya membentuk hukum yang mencerminkan keadilan yang didambakan. [8]
Khususnya pada penegakan hukum Indonesia maka kajian filsafat hukum meletakkan pada dasar hukum Indonesia yaitu UUD 1945. Fungsi dan kedudukan UUD 1945 di sistem hukum nasional ialah sebagai hukum dasar dalam penentuan hukum selanjutnya, seperti halnya pada pembentukan hukum baru, hukum ini harus mengacu pada uud dan tidak boleh bertentangan sama sekali, dan jika bertentangan maka hukim ituctidak dapat dikatakan berlaku. Penataan kembali susunan hirarkis peraturan perundang-undangan kiranya memang sudah sangat tepat yaitu kembali ke falsafah UUD 1945 dan pelaksanaannya.  
Filsafat hukum Indonesia, di mulai dari pemaham kembali (re interpretasi) terhadap pembukaan UUD 1945. Negara yang menganut paham negara teokrasi menganggap sumber dari sumber hukum adahal ajaran-ajaran Tuhan yang berwujud wahyu, yang terhimpun dalam kitab-kitab suci atau yang serupa denga itu, kemudian untuk negara yang menganut paham negara kekuasaan (rechstaat) yang dianggap sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah kekuasaan, lain halnya dengan negara yang menganut paham kedaulatan rakyat, yang dianggap sebagai sumber dari segala sumber hukum adalak kedaulatan rakyat, dan Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat dari Pancasila, akan tetapi berbeda dengan konsep kedaulatan rakyat oleh Hobbes (yang mengarah pada ke absolutisme) dan John Locke (yang mengarah pada demokrasi parlementer). Rumusan Pancasila yang dijumpai dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia yang merupakan produk filsafat hukum negara Indonesia, Pancasila ini muncul diilhami dari banyaknya suku, ras, kemudian latar belakang, serta perbedaan ideologi dalam masyarakat yang majemuk, untuk itu muncullah filsafat hukum untuk menyatukan masyarakat Indonesia dalam satu bangsa, satu kesatuan, satu bahasa, dan prinsip kekeluargaan, walau tindak lanjut hukum-hukum yang tercipta sering terjadi hibrida (percampuran), terutama dari hukum Islam, hukum adat, dan hukum barat (civil law / khususnya negara Belanda), hukum Islam (baca Al-Qur’an) sering dijadikan dasar filsafat hukum sebagai rujukan mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah umat muslim.
Demikian pula Pancasila sebagai dasar negara atau falsafah negara (fiolosofische grondslag)Pancasila merupakan Grundnorm atau sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, rumusan Pancasila ini dijumpai dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945, maka dapat dikatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah filsafat hukum Indonesia, maka Batang Tubuh berikut dengan Penjelasan UUD 1945 adalah teori hukumnya, dikatakan demikian karena dalam Batang Tubuh UUD 1945 itu akan ditemukan landasan hukum positif Indonesia. Teori Hukum tersebut meletakkan dasar-dasar filsafati hukum positif Indonesia.
Sebagai pandangan keadilan dalam hukum nasional bersumber pada dasar negara. sampai sekarang tetap dipertahankan dan masih tetap dianggap penting bagi negara Indonesia. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subcriber of values Pancasila). Bangsa Indonesia yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan, dan yang berkeadilan sosial. Secara spesifik maka pandangan keadilan dalam hukum nasional bangsa Indonesia tertuju pada dasar negara, yaitu Pancasila, yang mana sila kelimanya berbunyi : “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. alam keadilan yang di dasari oleh Pancasila maka terdapat diskursus penting tentang adil dan keadilan sosial. Adil dan keadilan adalah pengakuan dan perlakukan seimbang antara hak dan kewajiban. Apabila ada pengakuan dan perlakukan yang seimbang hak dan kewajiban, dengan sendirinya apabila kita mengakui “hak hidup”, maka sebaliknya harus mempertahankan hak hidup tersebut denga jalan bekerja keras, dan kerja keras yang dilakukan tidak pula menimbulkan kerugian terhadap orang lain, sebab orang lain itu juga memiliki hak yang sama (hak untuk hidup) sebagaimana halnya hak yang ada pada diri individu.[9]



Tidak ada komentar: