Secara tradisional, hubungan antara pemerintah dengan
warga negara dapat dijelaskan dalam teori agensi (principal-agency theory) yang telah digunakan secara luas dalam bidang
administrasi publik untuk menganalisis masalah yang terkait dengan manajemen
dan administrasi dalam lingkungan yang terdesentralisasi (Thompson, 1998).
Permasalahan yang timbul dalam hubungan prinsipal-agen adalah dalam hubungannya
dengan pengungkapan informasi.
Teori keagenan (agency theory) merupakan basis teori yang mendasari praktik bisnis
perusahaan yang dipakai selama ini. Teori tersebut berakar dari sinergi teori
ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip utama teori ini
menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang (prinsipal)
yaitu investor dengan pihak yang menerima wewenang (agensi) yaitu manajer,
dalam bentuk kontrak kerja sama.
Literatur akuntansi tentang
pengungkapan sendiri seringkali mengacu pada konsep keagenan dengan menyediakan
dorongan untuk melakukan pengungkapan wajib maupun sukarela terhadap laporan
keuangan. Dorongan ini ditunjukkan pada literatur sebagai alat penggerak yang
digunakan untuk mengurangi asimetri informasi antara prinsipal dan agen. Shareholder
sebagai prinsipal menggunakan informasi akuntansi untuk mengawasi kinerja
manajemen yang bertindak sebagai agen. Pada gilirannya, agen ini akan
menggunakan pengungkapan akuntansi sebagai kesempatan untuk mengisyaratkan
kinerjanya kepada prinsipal (Wolk et al,
2000). Sekarang ini internet dapat menyediakan sarana yang ekonomis dan efisien untuk mengkomunikasikan
kinerja manajemen kepada stakeholder maupun shareholder.
Teori keagenan muncul karena adanya
perbedaan kepentingan sehingga masing-masing pihak berusaha memperbesar
keuntungan bagi diri sendiri. Jika pihak-pihak tersebut bertindak untuk
kepentingannya sendiri, maka hal tersebut akan menimbulkan konflik antara prinsipal
dan agen. Menurut teori keagenan menggambarkan bahwa konflik yang terjadi akan
menimbulkan biaya agensi yang pada akhirnya akan ada insentif untuk
menguranginya.
Teori keagenan mengasumsikan bahwa
prinsipal menginginkan pengembalian yang sebesar-besarnya dan secepatnya atas
investasi yang mereka tanamkan, salah satunya dicerminkan dengan kenaikan porsi
deviden dari tiap saham yang mereka miliki. Sedangkan agen menginginkan kepentingannya
diakomodir dengan pemberian kompensasi/bonus/insentif yang memadai dan
sebesar-besarnya atas kinerja yang telah mereka lakukan. Prinsipal menilai
prestasi agen berdasarkan kemampuannya memperbesar laba untuk dialokasikan pada
pembagian deviden. Semakin tinggi laba, harga saham dan semakin besar deviden,
maka agen dianggap berhasil dan memiliki kinerja yang baik sehingga layak
mendapat insentif yang tinggi.
Dalam kerangka teori keagenan,
terdapat tiga macam hubungan keagenan, yaitu: 1) hubungan keagenan antara
manajer dengan pemilik (Bonus Plan Hypothesis), 2) hubungan keagenan
antara manajer dengan kreditur (Debt/Equity Hypothesis) dan 3) hubungan
keagenan antara manajer dengan pemerintah (Political Cost Hypothesis).
Hal ini berarti ada kecenderungan bagi manajer untuk melaporkan sesuatu dengan
cara-cara tertentu dalam rangka memaksimalkan utilitas mereka dalam hal ini
hubungannya dengan pemilik, kreditur maupun pemerintah (Wolk et al, 2000).
Teori Agency dianggap
sebagai konstruk penting untuk memahami insentif pelaporan keuangan. Teori
agensi menyatakan bahwa adanya asimetri informasi membuat manajer akan memilih
keputusan yang diperlukan untuk memaksimalkan kegunaannya. Beberapa studi
empiris meneliti bagaimana masalah keagenan dapat dikurangi melalui peningkatan
pengungkapan. Ball (2006) berpendapat bahwa peningkatan transparansi dan
keterbukaan berkontribusi pada kepentingan konvergensi yang lebih baik antara
manajer dan pemegang saham. Dalam hal ini, teori keagenan menganggap
pengungkapan sukarela sebagai mekanisme untuk mengontrol kinerja manajer dan
mengurangi asimetri informasi dan monitoring biaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar