Pengelolaan
Sampah Rumah Tangga Berbasis Masyarakat Dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Sampah yang berbunyi: “Masyarakat dapat berperan dalam pengelolaan sampah yang
diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah”. Tanggung jawab
pengelolaan sampah ada pada masyarakat sebagai produsen timbulan sampah sejalan
dengan hal tersebut, masyarakat sebagai produsen timbulan sampah diharapkan
terlibat 28 secara total dalam lima sub sistim pengelolaan sampah, yang
meliputi sub sistem kelembagaan, sub sistem teknis operasional, sub sistem
finansial, sub sistem hukum dan peraturan serta sub sistem peran serta
masyarakat.
Menurut (Syafrudin, 2004), salah satu
alternatif yang bisa dilakukan adalah melaksanakan program pengelolaan sampah
berbasis masyarakat, seperti minimasi limbah dan melaksanakan 5 R (Reuse, Recycling, Recovery, Replacing
dan Refilling). Kedua program
tersebut bisa dimulai dari sumber timbulan sampah hingga ke Lokasi TPA. Seluruh
sub sistem didalam sistem harus dipandang sebagai suatu sistem yang memerlukan
keterpaduan didalam pelaksanaannya. (Tchobanoglous, 1993 dalam Syafrudin,
2004). “Sistem pengelolaan sampah terpadu (Integrated Solid Waste management)
didefinisikan sebagai pemilihan dan penerapan program teknologi dan manajemen
untuk mencapai sistem yang tinggi.” Dengan mempelajari berbagai teori dan
pemahaman terkait dengan konsep pengelolaan sampah dalam hubungannya dengan
proses perencanaan sampai dengan pembangunan yang berkelanjutan, serta teori
peran serta, maka dapat diajukan kerangka konsep pola/bentuk peran serta
masyarakat dan kelembagaan dalam pengelolaan sampah dengan pendekatan kemitraan
antara pemerintah dan masyarakat.
Munculnya
pendekatan dengan pelibatan masyarakat ini didasari dari pemikiran terjadinya
penurunan kualitas lingkungan hidup di perkotaaan akibat perilaku manusia.
Sedangkan program-program yang dijalankan pemerintah untuk meningkatkan
kesadaran agar dapat merubah perilaku kurang memberikan hasil sesuai yang diharapkan. Untuk itu diperlukan
adanya pengelolaan lingkungan sosial dalam kerangka pengelolaan lingkungan
hidup. Prinsip pengelolaan lingkungan sosial harus mengutamakan pelibatan warga
masyarakat atau komunitas secara penuh, dengan kata lain pengembangan dan
perencanaan pengelolaan lingkungan sosial menggunakan pendekatan partisipatif,
dan masyarakat sebagai inti dalam pendekatan tersebut. Pendekatan ini dalam
pelaksanaannya ditekankan pada inisiatif lokal dengan memperkuat kapasitas
masyarakat karena merupakan bottom-up
approach yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara
menyeluruh, melalui aspek ekonomi, sosial, budaya secara terintregrasi dan
berkesinambungan. Pada akhirnya dapat memperkuat kepedulian masyarakat terhadap
lingkungan yang bermuara terhadap perubahan perilaku masyarakat dalam mengelola
lingkungan hidup secara berkelanjutan (Kipp and Callaway, 2004).
Dalam upaya
pelibatan masyarakat tersebut, terjadi interaksi sosial yang intensif dalam
bentuk kerjasama sesuai dengan kedudukan dan perannya masingmasing dalam upaya
pemenuhan kebutuhan hidupnya. Kerjasama itu dilakukan oleh seluruh anggota
dalam kelompoknya dalam upaya pemenuhan kebutuhan prasarana. Pada dasarnya
tanggungjawab penyediaan prasarana dilakukan oleh pemerintah, melalui berbagai
program pembangunan. Dari pengalaman masa lalu dapat dilihat akibat pendekatan
pembangunan yang kurang mencerminkan kebutuhan nyata masyarakat dengan tidak
berfungsi dan terpeliharanya hasil pembangunan, khususnya prasarana pemukiman.
30 Pembangunan berkelanjutan, menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan
sehingga mampu mengidentifikasi, menganalisa serta merumuskan kebutuhannya
sendiri dalam upaya perbaikan kualitas hidup.
Pembangunan
dalam pelaksanaan pengelolaan sampah perlu adanya pelibatan masyarakat secara
nyata dalam aktivitas-aktivitas riil yang merupakan perwujudan program yang
telah disepakati dalam kegiatan fisik. Bentuk, tingkatan dan faktor-faktor yang
mempengaruhi masyarakat dalam berperan serta harus mampu diidentifikasi dan
dianalisa sehingga dapat dipergunakan sebagai pendekatan atau model pembangunan
partisipatif yang sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Dalam beberapa hal
karena kondisi masih rendahnya pendidikan dan pengetahuan masyarakat sehingga
diperlukan adanya keterlibatan peran organisasi non pemerintah/LSM yang
bermitra baik dengan pemerintah sebagai salah satu pihak yang berperan dalam
pembangunan melalui pelayanan kepada masyarakat berdasarkan asas kesukarelaan.
Adapun pemerintah dalam hal ini berperan dalam memfasilitasi kegiatan yang akan
dilakukan, melalui perbaikan manajemen pengelolaan, perbaikan metode,
penyediaan tenaga ahli, pelatihan ketrampilan, penyediaan informasi dan
komunikasi yang berorientasi kepada proses pemberdayaan masyarakat.
Keterlibatan penuh masyarakat dalam setiap tahapan mekanisme pembangunan dapat
dilihat dari berbagai faktor, seperti kesediaan dan keaktifan untuk menghadiri
pertemuan dan kegiatan kerjabakti, pemberian sumbangan dana, tenaga dan material
dalam pelaksanaan serta pemeliharaan yang nantinya dapat dirasakan manfaatnya.
Dalam operasi
dan pemeliharaaan, khususnya prasarana yang dipakai bersama, masyarakat
menginginkan suatu bentuk pengelolaan yang terorganisir dalam kepengurusan.
Dalam organisasi ini membentuk suatu aturan, norma, kaidah yang disepakati
bersama sehingga mampu mengikat anggotanya untuk patuh dalam melaksanakan tugas
operasi dan pemeliharaan prasarana. Kemampuan prasarana dalam pemenuhan
kebutuhan sangat berpengaruh terhadap tingkatan peran serta masyarakat. Apabila
seluruh warga merasakan manfaatnya maka dengan sendirinya akan timbul kesadaran
yang sifatnya sukarela. Kesadaran keberlanjutan terhadap prasarana akan
dipahami lebih mudah oleh masyarakat bila kinerja prasarana yang dimiliki oleh
masyarakat berjalan dengan baik dan kontinu.
Dalam meningkatkan peran serta masyarakat
diperlukan perubahan perilaku dengan pemahaman terhadap kondisi masyarakat
setempat dengan mempertimbangkan nilai-nilai kearifan lokal yang berlaku dalam
masyarakat karena hal ini dapat membangun kepercayaan sehingga mempermudah
implementasi program. Pemahaman tersebut berkaitan dengan kondisi internal
masyarakat meliputi lamanya tinggal dan status hunian. Dengan memahami kondisi
masyarakat akan dapat diketahui kebutuhan dan keinginan masyarakat. Dalam
melaksanakan perilaku yang berkelanjutan diperlukan komitmen untuk menunjang
keberhasilan program yang dilaksanakan dengan kemitraan yang terjalin antara
pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar