Konflik Georgia dan Rusia merupakan konflik yang diawali
oleh masuknya kepentingan Rusia dalam wilayah konflik antara Georgia dengan
Ossetia. Konflik Rusia dan Georgia bermulai dari Provinsi Ossetia Selatan
melepaskan diri dari kontrol Georgia di tahun 1992. Saat itu Rusia memberikan
paspor pada penduduknya dan membujuk pemimpin separatis setempat untuk
bergabung dengan Rusia. Sementara Georgia, yang tentaranya dilatih tentara AS,
mulai berusaha mendapatkan kembali kendali atas Ossetia Selatan.[1]
Kondisi
masyarakat Georgia yang majemuk telah menjadikan negara ini menghadapi konflik
yang berkepanjangan. Kondisi masyarakat Georgia terdiri dari berbagai etnis dan
budaya. Georgia merupakan pecahan dari Uni Soviet yang kita tahu mempunyai
keanekaragaman etnis suku dan budaya sehingga sulit untuk mewujudkan integrasi.
Akhir
Perang Dingin dan runtuhnya Uni Soviet turut menyebabkan bertambahnya jumlah
perang saudara karena bebasnya aspirasi politik dan nasionalisme yang muncul
secara tiba-tiba. Meskipun kudeta yang berhasil, revolusi, atau perubahan
pemerintahan di negara sosialis hampir selalu membawa pemerintahan yang pro
barat ke tempuk kekuasaan, namun tidak jarang kekuatan-kekuatan yang
menggulingkan pemerintahan itu kemudian terpecah-pecah tidak lama kemudian.
Konflik
Georgia-Rusia diawali oleh kepentingan Rusia yang mencoba mengklaim kembali
konsep kedaulatan penuhnya. Kedaulatan ini diterapkan pada perspektif realis
dalam hubungan internasional dimana negara memiliki kedaulatan penuh untuk
melakukan apa saja terhadap yang melanggar batas wilayahnya. Pelanggaran batas
wilayah ini kemudian konsepnya dikembangkan oleh negara modern dengan konsep
citizenship/kewarganegaraan. Ossetia Selatan, hampir 60%nya memiliki
kewarganegaraan Rusia. Penyerangan yang dilakukan tentara
Georgia terhadap pemberontak
Ossetia Selatan
menyebabkan Rusia
turun tangan untuk melindungi warganya sehingga terjadilah pertempuran antara pasukan Georgia melawan pasukan
Rusia. Keputusan untuk
melakukan operasi militer di Ossetia Selatan dimulai ketika ada serangan retaliasi Georgia. Georgia mengklaim
bahwa Rusia terlebih dulu melakukan serangan pertama.
Salah satu hal yang menyebabkan Rusia bertindak
agresif terhadap Georgia adalah ketika Georgia mencoba masuk menjadi anggota
NATO. Artinya, bahwa konfigurasi sejarah membuat hubungan kedua aktor ini
semakin meruncing. NATO sebagai bagian dari “peradaban barat” masih ditolak
oleh Russia. Lepasnya Georgia merupakan masalah besar bagi Rusia dalam strategi
militer dan strategi bahan energy yang berkedudukan di Asia kecil (seluruh
negara tetangga Georgia).
Banyaknya negara bekas Uni Soviet yang juga ingin
menjadi anggota Uni Eropa sangat mengkhawatirkan Rusia, karena dengan integrasi
negara-negara tersebut ke dalam Uni Eropa, maka otomatis Rusia akan kehilangan
kesempatannya secara total untuk mendominasi negara-negara tersebut. Walaupun
Uni Eropa tidak menjalankan program seagresif NATO, tetapi penolakan keras
Rusia terhadap keinginan Georgia untuk menjadi anggota NATO maupun Uni Eropa
cukup menjadi bukti tekad Rusia untuk berupaya membangun kembali hegemoninya di
Kaukasus, sekaligus membendung aliran dukungan negara-negara Kaukasia, termasuk
Georgia, dengan cara mendukung perluasan ladang minyak baru di kaukasia dan
ancaman untuk menghentikan suplai minyak ke Eropa dan Amerika Serikat,
mengingat posisi Rusia sebagai penyuplai gas terbesar bagi Uni Eropa dan
penyalur minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi untuk Amerika Serikat. Aspek
ketergantungan energy oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat inilah yang dipandang
penting oleh Rusia karena bagaimanapun Rusia masih menyimpan keinginan besar
untuk kembali menjadi negara adidaya.
Kepentingan lain adalah kepentingan Russia untuk
menertibkan wilayah penyangganya. Situasi semakin tidak menguntungkan bagi
Rusia sebagai “past great power” yang
pernah menjadi rival setara bagi AS. Setelah perdebatan sengit tentang theater
rudal pertahanan AS, kini terjadi konflik di daerah penyangga Rusia. Konflik
ini akan berpotensi untuk menyebar dalam beberapa tataran. Tataran yang
pertama, konflik ini akan menyebar kedaerah sekitarnya. Penyebaran konflik ini
termasuk ke dalam wilayah Russia itu sendiri. Penyebaran ini terjadi melalui
dua cara, trans-konflik dan trans-isu. Trans-konflik menyebar melalui perantara
perpindahan pertempuran yang merambat hingga kedalam teritori Russia dan
sekitarnya. Trans-isu artinya akan membangkitkan common-awakening antara daerah-daerah sejenis yang rawan akan issu
kemerdekaan yang kemudian akan berpotensi untuk membuat tindakan yang sama
terhadap Russia. Common-awakening ini
yang berpotensi memecah Rusia secara massive atau besar-besaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar