Secara
geografis, Ossetia Selatan berbatasan dengan Ossetia Utara yang masuk wilayah Rusia,
di Selatan dengan Georgia. Kawasan yang terletak di Selatan Kaukasia ini,
memiliki wilayah sekitar 4000 kilometer persegi, dengan ibukotanya
Tskhinvali. Bahasa warga Ossetia adalah Persia, seperti yang biasa
digunakan di Iran. Selain itu di Ossetia Selatan, bahasa Rusia menjadi bahasa
resmi kedua. Kebanyakan penduduk Ossetia Selatan memiliki kewarganegaraan
Rusia.
Ketika
tahun 1990 Ossetia Selatan memproklamasikan kedaulatannya, milisi Georgia
melakukan serbuan. Moskow juga.mengirimkan pasukan yang mendukung pihak Ossetia
Selatan. Perang itu menyebabkan sekitar 100 ribu warga Ossetia melarikan diri
dari Georgia dan Ossetia Selatan ke Rusia, sekitar 20 ribu warga Georgia ke
Georgia. Jika tahun 1989 penduduk Ossetia Selatan masih 165 ribu orang, saat ini
jumlahnya kira-kira tinggal separuhnya.
Status
Ossetia Selatan tidak jelas. Secara
hukum internasional, kedaulatan keduanya tidak diakui secara resmi. Tapi
pimpinan di kedua kawasan itu berusaha mewujudkannya dengan menggelar
pemilihan umum. Dari segi ekonomi tidak banyak yang ditawarkan Ossetia Selatan.
Tingkat penganggurannya mencapai 60 persen. Lahan pertaniannya hanya
menghasilkan sedikit buah-buahan, gandum dan anggur. Bahkan terdapat
desas-desus, kawasan pegunungan di Kaukasia itu merupakan jalur transit
penyelundupan senjata dan obat bius. Tapi dapat dimengerti bila Georgia tetap
ingin mempertahankan kesatuannya. Jika membiarkan Ossetia Selatan merdeka, ini
berarti Georgia juga harus rela melepaskan Abkhazia, provinsi lainnya yang juga
ingin melepaskan diri darinya. Dimana secara ekonomis dan strategis Abkhazia
memiliki arti penting. Inilah sumber masalahnya. Di belakang konflik Ossetia
Selatan tersembunyi kepentingan politik internasional. NATO, Amerika Serikat,
Rusia dan Uni Eropa semua terlibat dalam masalah. Ini juga yang menyebabkan
Dewan Keamanan PBB dalam sidang istimewanya tidak berhasil mencapai kata
sepakat dalam mengatasi konflik di Kaukasia tersebut.
Secara resmi
provinsi yang September 1991 menamakan dirinya Republik Ossetia Selatan, masih
termasuk Georgia, seperti halnya provinsi Abkhazia yang juga melepaskan diri
dari Georgia. Namun keduanya mendapat dukungan dari Rusia dan secara ekonomi
tergantung pada Rusia. Georgia menuduh Rusia hendak melakukan aneksasi terhadap
kedua kawasan tersebut dan menghindari upaya keanggotaan Georgia ke dalam NATO.
Rusia menentang keanggotaan Georgia ke dalam NATO. Moskow tidak senang
keberadaan pakta pertahanan Atlantik Utara itu tepat berada di perbatasannya,
juga tidak dengan penempatan stasiun penangkal rudal di Polandia dan Ceko. Itu
yang menyebabkan Rusia membantu perjuangan kemerdekaan Ossetia Selatan dan
Abkhazia melawan Georgia. Sehubungan serangan yang dilancarkan Georgia terhadap
Ossetia Selatan pada saat itu Perdana Menteri Rusia, Vladimir Putin menyebutnya
sebagai pembunuhan massal.[1]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar