Pendaftaran tanah adalah bertujuan
untuk memperoleh suatu bentuk kepastian hukum dan kepastian hak bagi pemegang
hak-hak atas tanah. Dengan adanya pendaftaran tanah ini diharapkan bahwa
seseorang pemegang hak atas tanah akan merasa aman tidak ada gangguan hak yang
dipunyai atas sebidang tanah. Perbuatan hukum dan pendaftaran tanah ini adalah
merupakan suatu bentuk dari peristiwa hukum yang dilakukan oleh seseorang. Hak keperdataan
ini jika ditinjau secara mendalam merupakan suatu bentuk pengejawantahan dari
substansial Hak Asasi Manusia (HAM) yang dimiliki seseorang yang harus
dijunjung tinggi dan dihormati oleh orang lain.
Pitlo[1],
menyebutkan bahwa saat dilakukannya pendaftaran hak atas tanah maka hubungan
hukum pribadi antara seseorang dengan tanah diumumkan kepada pihak ketiga atau
masyarakat. Sejak saat itulah pihak ketiga dianggap mengetahui adanya hubungan
hukum antara orang dengan tanah dimaksud, untuk mana ia menjadi terikat dan
wajib menghormati hak tersebut sebagai suatu kewajiban yang timbul dari
kepatutan.
Beberapa sistem pendaftaran tanah, yaitu :
a.
Sistem Torrens
b.
Sistem Positif
c.
Sistem Negatif
d.
Sistem Pendaftaran Tanah di Indonesia
Adapun penjelasan masing-masing sistem pendaftaran tanah di atas adalah
:
a.
Sistem Torrens
Sesuai dengan namanya, sistem ini pertama kali
diciptakan oleh Sir Robert Torrens di Australia Selatan. Sistem Torens ini
lebih dikenal dengan nama aslinya The Real Property Act atau Torrens
Act yang mulai berlaku di Australia Selatan sejak 1 Juli 1858. Dewasa ini
pendaftaran tanah dengan sistem Torrens ini dipergunakan beberapa negara,
seperti Aljazair, India, Singapura, Tunisia, Kongo, Spanyol, Norwegia,
Malaysia, Kepulauan Fiji, Canada, Jamaica, Trinidad.
Dalam
penyelenggaraan pendaftaran tanah dari pola atau sistem Torrens ini pada
pokoknya menyelidiki hal-hal sebagai berikut :
1)
Obyek yang didaftarkan jelas
2)
Pejabat yang berwenang yakin bahwa dapat diberikan
kepada si pemohon
3)
Tidak terdapat sengketa atas tanah yang dimohonkan hak
tersebut
4)
Tidak ada yang menyangkal bukti atas hak yang dimiliki
oleh si pemohon itu.
Pendaftaran tanah dengan sistem Torrens ini mempunyai
kesamaan dengan sistem negatif hanya saja setiap pendaftaran hak atas tanah
dikenakan biaya tambahan seperlima persen dari harga tanah.
Berdasarkan beberapa jenis sistem pendaftaran tanah
sebagaimana diuraikan di atas, maka timbul pertanyaan sistem pendaftaran
manakah yang digunakan di Indonesia.
Menjawab pertanyaan di atas Suprapto R. menyatakan
bahwa:[2]
“Sistem pendaftaran tanah yang kita gunakan adalah sistem pendaftaran negatif
bertendensi positif, artinya pendaftaran hak-hak atas tanah dilaksanakan
berdasarkan atas data-data yang positif, pejabat yang diserahi tugas
melaksanakan pendaftaran mempunyai wewenang menguji kebenaran dari data-data
yang dipergunakan sebagai dasar pendaftaran hak. Pendaftaran merupakan jaminan
kepastian hukum dan alat pembuktian yang kuat, namun masih dapat dibantah,
digugat di muka pengadilan”.
b.
Sistem Positif
Menurut sistem positif ini bahwa suatu sertifikat
tanah yang diberikan itu adalah berlaku sebagai tanda bukti atas tanah yang
mutlak serta merupakan satu-satunya tanda bukti hak atas tanah.
Ciri pokok Sistem Positif ini adalah bahwa pendaftaran
tanah atau pendaftaran hak atas tanah untuk menjamin dengan sempurna bahwa nama
yang terdaftar dalam buku tanah tidak dibantah walaupun ternyata ia bukanlah
pemilik yang berhak atas tanah tersebut.
Sistem
Positif ini memberikan kepercayaan yang mutlak kepada buku tanah.
Pejabat-pejabat balik nama tanah dalam sistem ini memainkan peranan yang sangat
aktif. Bahwa hubungan hukum antara hak dari orang yang namanya terdaftar dalam
buku tanahnya dengan pemberi hak sebelumnya terputus sejak hak tersebut
didaftarkan.[3]
Adapun
kebaikan dari Sistem Positif ini adalah :
1)
Adanya kepastian dari buku tanah
2) Peranan aktif dari pejabat balik nama
tanah
3) Mekanisme kerja dalam penerbitan
sertipikat tanah dengan mudah dimengerti oleh orang awam.
Pihak
ketiga yang beritikad baik yang bertindak berdasarkan bukti tersebut menurut
Sistem Positif ini mendapatkan jaminan mutlak walaupun ternyata bahwa segala
keterangan yang tercantum dalam sertipikat tanah tersebut adalah tidak benar. Adapun
kelemahan dari Sistem Positif ini adalah :
1)
Peranan aktif Pejabat Balik Nama Tanah akan memakan
waktu yang lama
2)
Pemilik yang sebenarnya berhak atas tanah akan
kehilangan haknya oleh karena kepastian dari buku tanah itu sendiri
3)
Wewenang Pengadilan diletakkan dalam wewenang
administratif
c.
Sistem Negatif
Menurut Sistem Negatif ini bahwa segala apa yang
tercantum di dalam sertipikat tanah dianggap benar sampai dapat dibuktikan
suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) di muka sidang Pengadilan. Asas
peralihan hak atas tanah menurut ciri pokok Sistem Negatif ini adalah bahwa
pendaftaran hak atas tanah tidaklah menjamin bahwa nama-nama yang terdaftar
dalam buku tanah tidak dapat untuk dibantah jika nama yang terdaftar bukanlah
pemilik yang sebenarnya.
Ciri lainnya bahwa Pejabat Balik Nama Tanah berperan
pasif artinya pejabat yang bersangkutan tidak berkewajiban untuk menyelidiki
kebenaran dari surat-surat yang diserahkan kepadanya.
Adapun kebaikan dari Sistem Negatif ini adalah adanya
perlindungan kepada pemegang hak yang sebenarnya. Kelemahan dari sistem negatif
adalah :
1)
Peranan pasif Pejabat Balik Nama Tanah yang menyebabkan
tumpang tindihnya sertipikat tanah
2)
Mekanisme kerja dalam proses penerbitan sertipikat
tanah sedemikian rupa sehingga kurang dimengerti oleh orang awam.
d.
Sistem Pendaftaran Tanah di Indonesia
Sistem
pendaftaran tanah di Indonesia adalah sistem negatif. Hal tersebut karena dapat
dilihat dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Pokok Agraria yang
menyatakan : “Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat”.
Kuat
artinya bahwa sertifikat tanah yang diberikan adalah tidak mutlak dan membawa
akibat hukum bahwa segala apa yang tercantum di dalamnya dianggap benar
sepanjang tidak ada orang yang membuktikan sebaliknya yang menyatakan bahwa
sertipikat itu adalah tidak benar atau dapat digugurkan.[4]
Meskipun
sistem pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah tersebut merupakan sistem
negatif namun para petugas pendaftaran tidak bersikap pasif, artinya mereka
tidak menerima begitu saja apa yang diajukan dan dikatakan oleh pihak-pihak
yang meminta pendaftaran.
Berdasarkan
hal tersebut maka sistem yang dipergunakan adalah sistem negatif mengandung
unsur positif, yang berarti bahwa kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan
secara seksama untuk mendapatkan data yang sejauh mungkin dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya, dan sistem tersebut menghasilkan
surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai
data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya yang sesuai dengan data
yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Selama tidak dapat
dibuktikan sebaliknya maka harus diterima sebagai data yang benar dalam
perbuatan hukum.
Kelemahan
sistem negatif adalah bahwa pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak
dalam buku tanah dan sertipikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari
pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu. Pada umumnya kelemahan itu diatasi
dengan menggunakan lembaga acquisitieve verjaring atau adverse
possession.
Hukum tanah kita yang memakai hukum adat tidak
mengenalnya, tetapi dalam hukum adat terdapat lembaga yang dapat digunakan
untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah yaitu
lembaga rechtsverwerking. Dalam hukum adat jika seseorang selama sekian
waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang
lain yang memperolehnya dengan itikad baik, maka hilanglah haknya untuk
menuntut kembali tanah tersebut. Ketentuan Pasal 27, 34 dan 40 Undang-Undang
Pokok Agraria yang mengatur hapusnya hak atas tanah karena diterlantarkan
sesuai dengan lembaga tersebut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar