Cerita dapat
dikategrikan sebagai karya sastra. Hanya prioritas yang berbeda. Dengan
demikian penggunaan cerita dilema moral untuk remaja tetap harus memenuhi
persyaratan. Membuat cerita untuk remaja terlebih cerita tertulis membutuhkan
ketekunan, pendalaman, pengendapan, kejujuran, pertanggungjawaban dan
pengetahuan pembaca itu sendiri (Epstein, 1999). Oleh karenanya meskipun cerita
tetap harus memiliki unsur seperti tema dan amanat, tokoh, alur, setting, sudut
pandang dan sarana kebahasaan namun juga harus diolah sedemikain rupa sehingga
dapat dicerna oleh remaja.
Khususnya terhadap
cerita lisan untuk remaja memang memiliki berbagai kelebihan. Meskipun
demikian, karena cerita tersebut dipengaruhi oleh kepiawaian pencerita, maka
cerita yang bagus secara tertulis mungkin akan menjadi tidak menarik ketika
diceritakan oleh orang yang tidak pandai bercerita. Disamping itu, cerita lisan
dipengaruhi oleh faktor memori pendengar. Dengan demikian struktur dan panjang
kalimatnya pun berbeda. Cerita yang tersampaikan secara lisan memiliki
karakteritik tertentu karena cerita lisan memiliki beberapa keterbatasan
sekaligus. Dari sudut pandang produksi, jelas bahwa cerita lisan berbeda dengan
cerita tulis. Pada cerita lisan, pendongeng atau pencerita dapat membuat segala
macam efek ”kualitas suara”, ekspresi muka, isyarat, serta sikap tubuh. Dengan mengedepankan
unsur itu, pendongeng dapat mengendalikan pengaruh kata-kata yang diucapkannya.
Secara lisan kata-kata tersebut didukung oleh kualitas suara dan ”pembawaan”
pencerita. Semakin pandai seseorang bercerita semakin kuat pengaruh kata-kata
tersebut pada remaja. Penceritaan dapat membantu apa yang diceritakannya, dapat
keluar masuk dalam cerita, dapat melibatkan remaja secara langsung, dapat
merencremajaan ujaran tertentu yang dipandang perlu, dan dapat mengkoreksi
ujaran yang keliru atau tidak jelas (Brown & Yule, 1996 : 4-5).
Cerita yang
dilisankan digolongkan sebagai cerita yang baik apabila memiliki alur irama
yang alami (natural rhytmic flow)
pada awal, tengah, dan akhir cerita. Selain itu, plot cerita dikembangkan
dengan baik, karakter tokohnya dapat dipercaya, kata-katanya imajinatif kreatif, dan memanfaatkan humor atau drama
untuk membangkitkan emosi dan imajinasi remaja. Bahasa dimanfaatkan
sebaik-baiknya sebagai untuk memaparkan konteks dan isi cerita, untuk
melukiskan plot, konflik, perasaan-perasaan, dan karakter tokoh dalam bingkai
yang kohesif yang didesain untuk merebut perhatian dan minat remaja (Lenox,
2000).
a.
Tema
Tema adalah makna
yang terkandung dalam sebuah cerita (Pickering & Hoeper, 1981 : 61;
Stanton, 1965: 20; Kenney, 1966: 88). Tema dapat juga diartikan sebagai gagasan
atau ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra (Sudjiman, 1992
: 50). Mengenai
tema ini, lebih lanjut Kenney mengatakan (1966:89) Theme is not the moral of story. The theme of a story is not identical
with subject of the story at least, not as we’ll use the term “theme” in our
discussion. Dengan demikian jelas
bahwa tema tidak identik dengan subyek cerita dan bukan pula moral cerita.
Tema dapat diklasifikasikan menurut subyek
pembicaraan suatu cerita yakni (1) tema fisik yang mengarah pada kegiatan fisik manusia, (2)
tema organanik yang mengarah pada masalah hubungan seksual manusia, (3) tema
social yang mengarah pada masalah pendidikan, propaganda, (4) tema egoik yang
mengarah pada reaksi-reaksi pribadi yang umumnya menentang pengaruh social, (5)
tema ketuhanan yang menyangkut kondisi dan situasi manusia sebagai makhluk
ciptaan Tuhan (Shipley via Nurgiyantoro, 1991).
Tema cerita dapat
diklasifikasikan menjadi tema tradisional dan tema non tradisional. Tema
tradisional mengarah pada tema yang
hanya “itu-itu” saja, yang telah lama digunakan dalam berbagai cerita.
Tema-tema tradisional secara umum boleh dikatakan selalu berkaitan dengan
kebenaran dan kejahatan (Meredith & Fitzgerald via Nurgiyantoro, 1991 : 44). Karena tema-tema
tradisional digemari oleh setiap orang dimanapun dan kapanpun. Hal disebabkan
pada dasanya setiap orang cinta kebenaran dan membenci kejahatan.
b.
Amanat
Amanat
adalah
ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam kayanya
(Sudjiman, 1992 : 57). Amanat dalam cerita biasanya mencerminkan pandangan
hidup pengarang, pandangan tentang nilai-nilai kebenaran. Amanat
cerita untuk remaja kadang tidak dibebani amanat, walau tersirat sekalipun.
Setelah menghayati cerita dan memahami probelamtika di dalamnya, penikmat
diharapkan menyimpulkan atau mencari penyelesaian sendiri (Sudjiman, 1991 :
57-58). Amanat untuk cerita remaja harus ada di dalam cerita atau dongeng, baik
ditampilkannya secara eksplisit maupun implicit, baik dinyatakan melalui
tokohnya, maupun oleh penceritanya. Amanat cerita merupakan sesuatu yang paling
penting dalam cerita remaja. Amanat itu menurut Kenney (1966 : 89), dimaksudkan
sebagai sesuatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral yang bersifat
praktis yang dapat ditafsirkan lewat cerita yang bersangkuta.
c.
Plot
atau Alur Cerita
Plot adalah peristiwa-peristiwa naratif yang disusun dalam
serangkaian waktu. Plot juga dapat didefinisikan sebagai peristiwa-peristiwa
narasi (cerita) yang penekannya terletak pada hubungan kasualitas (Forster,
1966 : 93). Walaupun berisi urutan
kejadian, tiap kejadian dalam plot dihugungkan secara sebab-akibat, peristiwa
yang satu menyebabkan peristiwa yang lain (Stanton, 1965: 14). Peristiwa demi peristiwa disusun secara urut atau progresif. Agar remaja tidak berkutat
pada alur cerita, alur regresif
maupun campuran cenderung dihindari. Plot cerita remaja cenderung berulang dan
mudah ditebak (Lihat Cox, 1999: 398-399; Rainers & Isbell, 2002: vii-ix). Hubungan
sebab-akibat dalam alur cerita adalah sederhana, tidak membutuhkan analisis kognitif
tinggi. Dalam cerita orang dewasa disuguhkan sebab psikologis yang cukup rumit
tentang peristiwa yang dialami tokoh.
d.
Tokoh
dan Penokohan
Tokoh
adalah individu rekaan yang mengalami berbagai peristiwa dalam cerita sedangkan
penokohan merupakan penuturan terhadap sifat, kondisi fisik, serta asal usul
tokoh sebagai latar belakang. Umumnya terdapat dua kategori penokohan yaitu
e.
Sudut
Pandang
Sudut pandang atau point of interview, merupakan salah satu
sarana cerita (literary devices)
(Stanton, 1973). Sudut pandang
mempermasalahkan siapa yang menceritakan atau dari kacamata siapa cerita
dikisahkan. Sudut pandang mempengaruhi pengembangan cerita, kebebasan dan keterbatasan cerita, dan
keobjektivitasan hal-hal yang diceritakan. Pemilihan sudut pandang mempengaruhi
penyajian cerita dan mempengaruhi penikmatnya, dalam hal ini remaja-remaja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar