Williams dari Universitas Duke mengatakan
bahwa latihan fisik khususnya yang mengandung nilai relaksasi seperti meditasi
dan hatha yoga dapat mempengaruhi peningkatan regulasi emosi
seseorang karena membantu mengurangi kemarahan,
rasa cemas dan depresi (Robbins, Powers & Burgess, 1997).
Selain faktor diatas, ada beberapa
faktor lain yang mempengaruhi kemampuan regulasi emosi seseorang, yaitu :
a.
Usia
Penelitian menunjukkan
bahwa bertambahnya usia seseorang dihubungkan dengan adanya peningkatan kemampuan
regulasi emosi, dimana semakin tinggi usia seseorang semakin baik kemampuan
regulasi emosinya. Sehingga dengan bertambahnya usia seseorang menyebabkan
ekspresi emosi semakin terkontrol (Maider dalam Coon, 2005). Dalam suatu
penelitian didapatkan bahwa kemampuan
anak melakukan regulasi emosi tanpa bantuan orang lain terus meningkat sejalan
dengan bertambahnya usia. Selain itu, kemampuan untuk mengevaluasi
kontrolabilitas dari suatu stressor dan
memilih strategi regulasi juga meningkat sejalan dengan tahapan perkembangan
seseorang (Brenner & Salovey, 1997).
b.
Jenis Kelamin
Beberapa penelitian
menemukan bahwa laki-laki dan perempuan
berbeda dalam mengekspresikan emosi baik verbal maupun ekspresi wajah sesuai
dengan gendernya. Perempuan menunjukkan
sifat feminimnya dengan mengekspresikan emosi sedih, takut, cemas dan
menghindari mengekspresikan emosi marah dan bangga yang menunjukkan sifat
maskulin. Perbedaan gender dalam
pengekspresian emosi dihubungkan dengan perbedaan dalam tujuan laki-laki dan
perempuan mengontrol emosinya. Perempuan lebih mengekspresikan emosi untuk
menjaga hubungan interpersonal serta membuat mereka
tampak lemah dan tidak
berdaya. Sedangkan laki-laki lebih mengekspresikan marah dan bangga untuk
mempertahankan dan menunjukkan dominasi. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa
wanita lebih dapat melakukan regulasi terhadap emosi marah dan bangga,
sedangkan laki-laki
pada emosi takut, sedih dan cemas (Fischer dalam Coon, 2005).
Menurut Brenner dan
Salovey (1997) mengatakan bahwa wanita lebih sering berusaha mencari dukungan
social untuk menghadapi distress
sedangkan pria lebih memilih melakukan aktivitas fisik untuk mengurangi
distress. Selain itu, dibanding pria, wanita lebih sering menggunakan emotion focused regulation yang melibatkan komponen
kognitif dan emosi.
c.
Religiusitas
Setiap agama
mengajarkan seseorang diajarkan untuk dapat mengontrol emosinya. Seseorang yang
tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak
berlebihan bila dibandingkan dengan orang
yang tingkat religiusitasnya rendah (Krause dalam Coon, 2005).
d.
Kepribadian
Orang yang memiliki
kepribadian ‘neuroticism’ dengan ciri-ciri sensitif, moody, suka gelisah, sering merasa cemas,
panik, harga diri rendah, kurang dapat mengontrol diri dan tidak memiliki
kemampuan coping yang efektif terhadap
stres akan menunjukkan tingkat regulasi emosi yang rendah (Cohen & Armeli
dalam Coon, 2005).
e.
Pola Asuh
Beberapa cara yang
dilakukan orang tua dalam mengasuh anak dapat membentuk kemampuan anak untuk meregulasi
emosinya. Parke (dalam Brenner & Salovey, 1997) mengemukakan beberapa cara
orang tua mensosialisasikan emosi kepada anaknya diantaranya melalui:
pendekatan tidak langsung dalam interaksi keluarga (antara anak dengan orang
tua); teknik teaching dan coaching; dan mencocokkan kesempatan dalam
lingkungan.
f.
Budaya
Norma atau belief yang terdapat dalam kelompok
masyarakat tertentu dapat mempengaruhi cara individu menerima, menerima,
menilai suatu pengalaman emosi, dan menampilkan suatu respon emosi. Dalam hal
regulasi emosi apa yang dianggap sesuai atau
culturally permissible dapat mempengaruhi cara seseorang berespon dalam
berinteraksi dengan orang lain dan dalam cara ia meregulasi emosi (Lazarus,
1991).
g.
Individual
Dispositional
Brenner & Salovey
(1997) menjelaskan bahwa karakteristik kepribadian seperti trait kepribadian
yang dimiliki seseorang, dapat mempengaruhi cara seseorang meregulasi emosinya.
Contohnya, anak yang mengalami depresi cenderung menggunakan strategi
menghindar dalam mengatasi kondisi
distress dibanding anak yang
tidak mengalami depresi.
h.
Tujuan dilakukannya
regulasi emosi (Goals)
Merupakan apa yang
individu yakini dapat mempengaruhi pengalaman, ekspresi emosi dan respon
fisiologis yang sesuai dengan situasi yang dialami (Gross, 1999).
i.
Frekuensi individu
melakukan regulasi emosi (Strategies)
Merupakan seberapa
sering individu melakukan regulasi emosi dengan berbagai cara yang berbeda
untuk mencapai suatu tujuan (Gross, 1999).
j.
Kemampuan individu
dalam melakukan regulasi emosi (Capabilities)
Jika trait kepribadian
yang dimiliki seseorang mengacu pada apa yang dapat individu lakukan dalam
meregulasi emosinya (Gross, 1999).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar