Sabtu, 24 Agustus 2019

Syarat-Syarat Sah Asuransi (skripsi dan tesis)


Abdulkadir Muhammad (2006 : 49-53) mengemukakan
bahwa asuransi merupakan salah satu jenis perjanjian khusus yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Sebagai
perjanjian, maka ketentuan syarat-syarat sah suatu perjanjian dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku juga bagi perjanjian
asuransi. Karena perjanjian asuransi merupakan perjanjian khusus,
maka di samping ketentuan syarat-syarat sah suatu perjanjian, berlaku
juga syarat-syarat khusus yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang. Syarat-syarat sah suatu perjanjian diatur dalam Pasal
1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut ketentuan pasal
tersebut, ada 4 (empat) syarat sah suatu perjanjian, yaitu kesepakatan
para pihak, kewenangan berbuat, objek tertentu, dan kausa yang halal.
Syarat yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
adalah kewajiban pemberitahuan yang diatur dalam Pasal 251 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang.
1) Kesepakatan (consensus)
Tertanggung dan penanggung sepakat mengadakan
perjanjian asuransi. Kesepakatan tersebut pada pokoknya meliputi :
a) benda yang menjadi objek asuransi;
b) pengalihan resiko dan pembayaran premi;
c) evenemen dan anti kerugian;
d) syarat-syarat khusus asuransi;
e) dibuat secara tertulis yang disebut polis.
Kesepakatan antara tertanggung dan penanggung dibuat
secara bebas, artinya tidak berada di bawah pengaruh, tekanan atau
paksaan pihak tertentu. Kedua belah pihak sepakat menentukan
syarat-syarat perjanjian asuransi sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam pasal 6 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian ditentukan bahwa penutupan asuransi atas objek
asuransi harus didasarkan pada kebebasan memilih penanggung
kecuali bagi Program Asuransi Sosial. Ketentuan ini dimaksudkan
untuk melindungi hak tertanggung agar dapat secara bebas memilih
perusahaan asuransi sebagai penanggungnya. Hal ini dipandang
perlu mengingat tertanggung adalah pihak yang paling
berkepentingan atas objek yang diasuransikan, jadi sudah
sewajarnya apabila mereka secara bebas tanpa pengaruh dan
tekanan dari pihak manapun dalam menentukan penanggungnya.
2) Kewenangan (authority)
Kedua pihak tertanggung dan penanggung wenang
melakukan perbuatan hukum yang diakui oleh undang-undang.
Kewenangan berbuat tersebut ada yang bersifat subjektif dan ada
yang bersifat objektif. Kewenangan subjektif artinya kedua pihak
sudah dewasa, sehat ingatan, tidak berada di bawah perwalian
(truseteship) atau pemegang kuasa yang sah. Kewenangan objektif
artinya tertanggung mempunyai hubungan yang sah dengan benda
objek asuransi karena benda tersebut adalah kekayaan miliknya
sendiri. Penanggung adalah pihak yang sah mewakili Perusahaan
Asuransi berdasarkan Anggaran Dasar Perusahaan. Apabila
asuransi yang diadakan itu untuk kepentingan pihak ketiga, maka
tertanggung yang mengadakan asuransi itu mendapat kuasa atau
pembenaran dari pihak ketiga yang bersangkutan.
3) Objek Tertentu (fixed object)
Objek tertentu dalam perjanjian asuransi adalah objek
yang diasuransikan, dapat berupa harta kekayaan dan kepentingan
yang melekat pada harta kekayaan, dapat pula berupa jiwa atau
raga manusia. Objek tertentu berupa harta kekayaan dan
kepentingan yang melekat pada harta kekayaan terdapat pada
Perjanjian Asuransi Kerugian. Objek tertentu berupa jiwa atau raga
manusia terdapat pada Perjanjian Asuransi Jiwa. Pengertian objek
tertentu adalah bahwa identitas objek asuransi tersebut harus jelas
dan pasti. Apabila berupa jiwa atau raga, atas nama siapa, berapa
umurnya, apa hubungan keluarganya, dimana alamatnya dan
sebagainya.
4) Kausa yang Halal (legal cause)
Kausa yang halal maksudnya adalah isi perjanjian
asuransi itu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan
dengan ketertiban umum dan tidak bertentangan dengan
kesusilaan. Berdasarkan kausa yang halal itu, tujuan yang hendak
dicapai oleh tertanggung dan penanggung adalah beralihnya resiko
atas objek asuransi yang diimbangi dengan pembayaran premi,
penanggung menerima peralihan resiko atas objek asuransi. Jika
premi dibayar, maka resiko beralih sebaliknya jika premi tidak
dibayar, maka resiko tidak beralih.
5) Pemberitahuan (notification)
a) Teori Objektivitas (objectivity theory)
Salah satu teori ilmu hukum yang dikenal dalam
hukum asuransi adalah teori objektivitas. Menurut teori ini,
setiap asuransi harus mempunyai objek tertentu. Objek tertentu
artinya jenis, identitas dan sifat yang dimiliki objek tersebut
harus jelas dan pasti. Jenis, identitas dan sifat objek asuransi
wajib diberitahukan oleh tertanggung kepada penanggung,
tidak boleh ada yang disembunyikan. Sifat objek asuransi
mungkin dapat menjadi sebab timbulnya kerugian. Berdasarkan
pemberitahuan itu, penanggung dapat mempertimbangkan
apakah dia akan menerima pengalihan resiko dari tertanggung
atau tidak.
Keunggulan teori ini adalah penanggung dilindungi
dari perbuatan tertanggung yang tidak jujur (in bad faith).
Sebaliknya, tertanggung selalu dimotivasi untuk berbuat jujur
(in good faith) dan selalu berhati-hati melakukan
pemberitahuan sifat objek asuransi kepada penanggung. Teori
ini bertujuan untuk mengarahkan tertanggung dan penanggung
agar mengadakan perjanjian asuransi dilandaskan pada asas
kebebasan berkontrak yang adil (fair). Kelemahan teori
objektivitas adalah ketidakmungkinan tertanggung mengetahui
cacat tersembunyi yang melekat pada objek asuransi yang
mungkin dijadikan alasan oleh penanggung untuk menyatakan
asuransi batal setelah terjadi evenemen, betapapun jujurnya
tertanggung.
b) Pengaturan Pemberitahuan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang
Tertanggung wajib memberitahukan kepada
penanggung mengenai keadaan objek asuransi. Kewajiban ini
dilakukan pada saat mengadakan asuransi. Apabila tertanggung
lalai, maka akibat hukumnya asuransi batal. Menurut ketentuan
Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, semua
pemberitahuan yang salah atau tidak benar atau persembunyian
keadaan yang diketahui oleh tertanggung tentang objek
asuransi, mengakibatkan asuransi itu batal. Kewajiban
pemberitahuan itu berlaku juga apabila setelah diadakan
asuransi terjadi pemberatan resiko atas objek asuransi.
Kewajiban pemberitahuan Pasal 251 Kitab UndangUndang Hukum Dagang tidak bergantung pada ada itikad baik
atau tidak dari tertanggung. Apabila tertanggung keliru
memberitahukan, tanpa kesengajaan, juga mengakibatkan
batalnya asuransi kecuali jika tertanggung dan penanggung
telah memperjanjikan lain. Biasanya perjanjian seperti ini
dinyatakan dengan tegas dalam polis dengan klausula “sudah
diketahui”.

Tidak ada komentar: