Senin, 14 November 2016

Pengertian dan Unsur Dalam Cerita


Cerita dapat dikategrikan sebagai karya sastra. Hanya prioritas yang berbeda. Dengan demikian penggunaan cerita dilema moral untuk remaja tetap harus memenuhi persyaratan. Membuat cerita untuk remaja terlebih cerita tertulis membutuhkan ketekunan, pendalaman, pengendapan, kejujuran, pertanggungjawaban dan pengetahuan pembaca itu sendiri (Epstein, 1999). Oleh karenanya meskipun cerita tetap harus memiliki unsur seperti tema dan amanat, tokoh, alur, setting, sudut pandang dan sarana kebahasaan namun juga harus diolah sedemikain rupa sehingga dapat dicerna oleh remaja.
Khususnya terhadap cerita lisan untuk remaja memang memiliki berbagai kelebihan. Meskipun demikian, karena cerita tersebut dipengaruhi oleh kepiawaian pencerita, maka cerita yang bagus secara tertulis mungkin akan menjadi tidak menarik ketika diceritakan oleh orang yang tidak pandai bercerita. Disamping itu, cerita lisan dipengaruhi oleh faktor memori pendengar. Dengan demikian struktur dan panjang kalimatnya pun berbeda. Cerita yang tersampaikan secara lisan memiliki karakteritik tertentu karena cerita lisan memiliki beberapa keterbatasan sekaligus. Dari sudut pandang produksi, jelas bahwa cerita lisan berbeda dengan cerita tulis. Pada cerita lisan, pendongeng atau pencerita dapat membuat segala macam efek ”kualitas suara”, ekspresi muka, isyarat, serta sikap tubuh. Dengan mengedepankan unsur itu, pendongeng dapat mengendalikan pengaruh kata-kata yang diucapkannya. Secara lisan kata-kata tersebut didukung oleh kualitas suara dan ”pembawaan” pencerita. Semakin pandai seseorang bercerita semakin kuat pengaruh kata-kata tersebut pada remaja. Penceritaan dapat membantu apa yang diceritakannya, dapat keluar masuk dalam cerita, dapat melibatkan remaja secara langsung, dapat merencremajaan ujaran tertentu yang dipandang perlu, dan dapat mengkoreksi ujaran yang keliru atau tidak jelas (Brown & Yule, 1996 : 4-5).
Cerita yang dilisankan digolongkan sebagai cerita yang baik apabila memiliki alur irama yang alami (natural rhytmic flow) pada awal, tengah, dan akhir cerita. Selain itu, plot cerita dikembangkan dengan baik, karakter tokohnya dapat dipercaya, kata-katanya imajinatif  kreatif, dan memanfaatkan humor atau drama untuk membangkitkan emosi dan imajinasi remaja. Bahasa dimanfaatkan sebaik-baiknya sebagai untuk memaparkan konteks dan isi cerita, untuk melukiskan plot, konflik, perasaan-perasaan, dan karakter tokoh dalam bingkai yang kohesif yang didesain untuk merebut perhatian dan minat remaja (Lenox, 2000).
a.             Tema
Tema adalah makna yang terkandung dalam sebuah cerita (Pickering & Hoeper, 1981 : 61; Stanton, 1965: 20; Kenney, 1966: 88). Tema dapat juga diartikan sebagai gagasan atau ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra (Sudjiman, 1992 : 50). Mengenai tema ini, lebih lanjut Kenney mengatakan (1966:89) Theme is not the moral of story. The theme of a story is not identical with subject of the story at least, not as we’ll use the term “theme” in our discussion.  Dengan demikian jelas bahwa tema tidak identik dengan subyek cerita dan bukan pula moral cerita.
Tema dapat diklasifikasikan menurut subyek pembicaraan suatu cerita yakni (1) tema fisik yang  mengarah pada kegiatan fisik manusia, (2) tema organanik yang mengarah pada masalah hubungan seksual manusia, (3) tema social yang mengarah pada masalah pendidikan, propaganda, (4) tema egoik yang mengarah pada reaksi-reaksi pribadi yang umumnya menentang pengaruh social, (5) tema ketuhanan yang menyangkut kondisi dan situasi manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan (Shipley via Nurgiyantoro, 1991).
Tema cerita dapat diklasifikasikan menjadi tema tradisional dan tema non tradisional. Tema tradisional mengarah pada  tema yang hanya “itu-itu” saja, yang telah lama digunakan dalam berbagai cerita. Tema-tema tradisional secara umum boleh dikatakan selalu berkaitan dengan kebenaran dan kejahatan (Meredith & Fitzgerald via Nurgiyantoro, 1991 : 44). Karena tema-tema tradisional digemari oleh setiap orang dimanapun dan kapanpun. Hal disebabkan pada dasanya setiap orang cinta kebenaran dan membenci kejahatan.
b.             Amanat
Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam kayanya (Sudjiman, 1992 : 57). Amanat dalam cerita biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang, pandangan tentang nilai-nilai kebenaran. Amanat cerita untuk remaja kadang tidak dibebani amanat, walau tersirat sekalipun. Setelah menghayati cerita dan memahami probelamtika di dalamnya, penikmat diharapkan menyimpulkan atau mencari penyelesaian sendiri (Sudjiman, 1991 : 57-58). Amanat untuk cerita remaja harus ada di dalam cerita atau dongeng, baik ditampilkannya secara eksplisit maupun implicit, baik dinyatakan melalui tokohnya, maupun oleh penceritanya. Amanat cerita merupakan sesuatu yang paling penting dalam cerita remaja. Amanat itu menurut Kenney (1966 : 89), dimaksudkan sebagai sesuatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral yang bersifat praktis yang dapat ditafsirkan lewat cerita yang bersangkuta.
c.              Plot atau  Alur Cerita
Plot adalah peristiwa-peristiwa naratif yang disusun dalam serangkaian waktu. Plot juga dapat didefinisikan sebagai peristiwa-peristiwa narasi (cerita) yang penekannya terletak pada hubungan kasualitas (Forster, 1966 : 93). Walaupun berisi urutan kejadian, tiap kejadian dalam plot dihugungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu menyebabkan peristiwa yang lain (Stanton, 1965: 14). Peristiwa demi peristiwa disusun secara urut atau progresif. Agar remaja tidak berkutat pada alur cerita, alur regresif maupun campuran cenderung dihindari. Plot cerita remaja cenderung berulang dan mudah ditebak (Lihat Cox, 1999: 398-399; Rainers & Isbell, 2002: vii-ix). Hubungan sebab-akibat dalam alur cerita adalah sederhana, tidak membutuhkan analisis kognitif tinggi. Dalam cerita orang dewasa disuguhkan sebab psikologis yang cukup rumit tentang peristiwa yang dialami tokoh.  
d.             Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami berbagai peristiwa dalam cerita sedangkan penokohan merupakan penuturan terhadap sifat, kondisi fisik, serta asal usul tokoh sebagai latar belakang. Umumnya terdapat dua kategori penokohan yaitu
e.              Sudut Pandang
Sudut pandang atau point of interview, merupakan salah satu sarana cerita (literary devices) (Stanton, 1973). Sudut pandang mempermasalahkan siapa yang menceritakan atau dari kacamata siapa cerita dikisahkan. Sudut pandang mempengaruhi pengembangan cerita, kebebasan dan keterbatasan cerita, dan keobjektivitasan hal-hal yang diceritakan. Pemilihan sudut pandang mempengaruhi penyajian cerita dan mempengaruhi penikmatnya, dalam hal ini remaja-remaja.

Tidak ada komentar: