Pembangunan merupakan proses usaha sadar untuk melakukan suatu perubahan yang lebih baik dari satu kondisi kepada kondisi lain yang lebih berguna dan bermanfaat. Dalam arti pembangunan harus dilaksanakan dengan sengaja dan terencana serta memperhatikan nilai universal, yang dapat diterima dan dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.
Menurut Todaro (1998 : 19) bahwa, “pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan.”
Teori tersebut menjelaskan bahwa pengentasan kemiskinan merupakan salah satu aspek yang harus dilihat dalam memahami pembangunan. Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) sebagai bagian dari proyek P2KP juga diharapkan mampu berperan menjadi motor penggerak dinamika masyarakat untuk upaya penanggulangan keniskinan secara berkelanjutan (sustainable).
Sedangkan menurut Tjokrowinoto dalam buku materi kuliah Konsep dan Isue Pembangunan mengatakan bahwa: beberapa pakar membedakan konsep “pembangunan” (development) dan “pertumbuhan” (growth). Pertumbuhan menyangkut pengertian-pengertian kuantitas, misalnya, kenaikan angka pertumbuhan ekonomi dan income per kapita. Sedangkan pembangunan merupakan transformasi kualitatif, yang seringkali terkait dengan perubahan struktur, semisal perubahan struktur masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Perbedaan sudut pandang terhadap konsep pembangunan maupun pertumbuhan ekonomi di atas bisa saja terletak pada tataran konsep namun tidak pada pelaksanaannya sebab keduanya saling berhubungan.
Dalam paradigma baru seiring dengan reformasi bidang ekonomi, pembangunan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata serta mampu mempertahankan pertumbuhan yang berkesinambungan dalam jangka panjang, long-term sustainable growth. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi dengan sendirinya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada pembangunan tanpa pertumbuhan.
Sedangkan dalam buku panduan exit strategi P2KP menuju pembangunan berkelanjutan diterapkan melalui 3 (tiga) fase pendampingan. Pada Fase Pertama, dalam penanggulangan kemiskinan di perkotaan sebagai suatu wujud pembangunan berkelanjutan (sustainable development) strategi yang digunakan dimulai melalui 4 (empat) pilar yaitu :
1. Pemberdayaan masyarakat (community empowerment)
2. Pengembangan Kapasitas dan asset masyarakat miskin
3. Pembangunan kelembagaan masyarakat
4. Pengembangan partisipasi masyarakat.
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dalam konteks penanggulangan kemiskinan hanya dapat terwujud melalui strategi pembangunan yang berbasis utama pada proses pemampuan dan penguatan kapasitas masyarakat (community empowerment). Dengan demikian dari keempat pilar tersebut, maka pendekatan pemberdayaan masyarakat merupakan pondasi dari pembangunan ketiga pilar lainnya. Pemberdayaan masyarakat dalam P2KP bertumpu pada proses penggalian dan penumbuhkembangan nilai-nilai universal kemanusiaan, prinsip-prinsip kemasyarakatan dan prinsip pembangunan berkelanjutan (Tridaya).
Melalui proses “community empowerment” terjadi proses pembelajaran masyarakat untuk mengorganisir diri dalam meningkatkan kemampuan dan sumber daya (asset) masyarakat miskin serta dalam berpartisipasi. Dengan partisipasi yang baik maka masyarakat miskin mampu mengekspresikan berbagai aspirasi dan kepentingan-kepentingan yang menyangkut kehidupan mereka.
Pada fase kedua, strategi lanjutan dilakukan melalui 3 (tiga) pilar yaitu:
1. Penguatan kelembagaan di tingkat lokal
2. Penerapan prinsip-prinsip “good governance” dan Tridaya
3. Membangun jaringan dan kemitraan masyarakat dengan pemerintah, dunia usaha dan organisasi masyarakat sipil lainnya.
Pembangunan institusi/ kelembagaan lokal di masyarakat ini merupakan investasi untuk memperkuat ikatan sosial dan menjalin hubungan (relasi) diantara mereka. Modal kelambagaan lokal yang kuat dan mengakar ini diharapkan mampu menjadi motor penggerak partisipasi masyarakat dalam pembangunan, khususnya dalam penganggulangan kemiskinan.
Sedangkan pada fase ketiga, upaya percepatan penanggulangan kemiskinan dilakukan melalui 2 (dua) pilar yaitu:
1. Perbaikan/ pembangunan Lingkungan Pemukiman, khususnya yang memberi manfaat bagi masyarakat miskin (pro-poor neigborhood development)
2. Mempercepat terjadinya penyelenggaraan pelayanan publik yang baik di tingkat lokal, terutama bagi masyarakat miskin/ rentan. (Pro-poor governance).
Didalam fase ini, masyarakat diharapkan sudah mampu mengorganisasikan aspirasi dan berbagai kepantingan melalui mekanisme perencanaan partisipatif, kemudian memberikan dukungan untuk dapat menyelenggarakan berbagai program perbaikan/ pembangunan lingkungan permukimannya yang berpihak pada masyarakat miskin (Pro-poor neighborhood development). Sejalan dengan kegiatan yang dilaksanakan masyarakat, BKM sebagai lembaga masyarakat kemudian dapat terus melakukan interaksinya dengan masyarakat warganya maupun dengan birokrasi lokal (kelurahan), pengusaha lokal dan organisasi masyarakat sipil lainnya. Terutama bagi terciptanya percepatan penyelenggaraan pelayanan publik yang lebih peduli pada masyarakat miskin (pro-poor good governance).
Apabila ketiga fase tersebut dilalui maka pada akhirnya diharapkan dapat dicapai suatu kondisi tatanan masyarakat yang mampu mengelola dan menyelenggarakan pembangunan sosial ekonomi masyarakatnya serta secara swadaya mampu mengelola pembangunan lingkungan permukiman mereka dengan harmonis (self governing community). Dengan kata lain kondisi ini dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana masyarakat mampu mandiri mengatur sistem sosial dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat dengan baik. Dalam lingkungan pemukiman dengan tatanan masyarakat seperti ini (masyarakat madani), maka penanggulangan kemiskinan dapat lebih diyakini akan terus menjadi proses pembangunan yang berkelanjutan. (sustainable development).