Kebijakan pembagian deviden merupakan keputusan yang sangat penting
dalam suatu perusahaan. Kebijakan ini melibatkan dua pihak yang mempunyai
kepentingan yang berbeda, yaitu manajemen dan pemegang saham, sehingga tidak
terlepas dari masalah agency cost. Salah satu manfaat dari corporate governance
perusahaan adalah untuk meminimalkan agency cost tersebut, sehingga dapat
dikatakan terdapat hubungan antara corporate governance dan dividend payout.
Deviden merupakan pembayaran kepada para pemegang saham oleh pihak
perusahaan atas keuntungan yang diperolehnya. Kebijakan pembayaran dividen
menurut Titman (2002) merupakan kebijakan perusahaan yang berkaitan dengan
distribusi kas kepada pemegang sahamnya. Manajemen perusahaan memiliki
alternatif untuk memperlakukan laba bersihnya, apakah diinvestasikan kembali ke
perusahaan sebagai laba ditahan, dibagikan kepada pemegang saham dalam
bentuk dividen, atau kombinasi keduanya. Pilihan untuk membagi atau tidak
dividen merupakan sumber konflik agensi antara manajer dengan pemegang
sahamnya (Easterbrook, 1984). Pemegang saham menginginkan laba tersebut
dibagikan dalam bentuk dividen, sementara manajer menginginkan laba tersebut
diinvestasikan kembali pada proyek-proyek yang menguntungkan.
Pembagian dividen dapat digunakan untuk mengurangi agency cost seperti
hasil penelitian Chen dan Steiner (1999). Menurut mereka, dividen merupakan
bagian dari pengawasan perusahaan dan terdapat efek substitusi-pengawasan
antara kepemilikan manajerial dan kebijakan utang serta antara kepemilikan
manajerial dan kebijakan dividen yang ditemukan dalam penelitian ini. Pemegang
saham takut jika manajer akan mengendalikan sumber daya yang ada untuk
kepentingan pribadinya atau mengambil proyek investasi yang tidak
menguntungkan untuk keuntungan pribadi manajer sampai laba di tahan
dibayarkan kepada pemegang saham dalam bentuk dividen, sehingga secara
teoritis kebijakan pembagian dividen didesain untuk meminimalkan jumlah
capital cost, agency cost dan related cost.
Sementara La Porta et al. (2000) menemukan bahwa dengan membayar
dividen dapat menjadi sebuah mekanisme dalam melindungi pemegang saham
minoritas. Hal ini didukung oleh Faccio et al. (2000) yang menemukan hasil yang
sama pada penelitiannya yaitu pembayaran dividen dapat mengurangi
pengambilalihan hak pemegang saham mayoritas terhadap pemegang saham
minoritas. Schooley dan Barney (1994) juga menemukan bahwa kebijakan
dividen dan kepemilikan saham CEO merupakan mekanisme yang saling
berhubungan yang dapat digunakan untuk mengurangi agency costs.
Kebijakan ini sangat penting dengan berbagai alasan bahwa perusahaan
menggunakan dividen sebagai suatu mekanisme untuk memberi sinyal keuangan
kepada pihak luar berkaitan dengan stabilitas dan prospek pertumbuhan
perusahaan (Signaling Theory) dan dividen ini dapat digunakan oleh investor
untuk melakukan penilaian saham perusahaan (misal dengan menggunakan
Dividend Discount Model dan Gordon Growth Model). Pembayaran dividen kas
kepada pemegang saham yang selalu meningkat berarti perusahaan berbuat lebih
kepada pemegang sahamnya. Woolridge dan Ghosh (1988 dan 1991) mengatakan
bahwa perusahaan biasanya tidak suka mengurangi atau menghilangkan
pembayaran dividen (dividend cut) karena akan memberikan pertanda buruk
terhadap kinerja perusahaan. Oleh karena itu perusahaan melakukan pengumuman
dividen atau meningkatkan dividen untuk mengindikasikan bahwa kinerjanya
baik. Dividend cut bisa disebabkan oleh kinerja finansial perusahaan yang buruk
atau karena perusahaan mengalihkan dana internal yang ada pada kesempatan
investasi yang menarik. Keputusan yang diambil perusahaan untuk membagikan
dividen atau tidak harus mempertimbangkan antara dividen saat ini dengan
pertumbuhan perusahaan di masa mendatang sehingga bermuara pada
maksimalisasi laba.
Menurut Atmaja (2001), dalam prakteknya ada beberapa faktor yang
mempengaruhi manajemen dalam menentukan kebijakan dividen diantaranya
adalah perjanjian utang, pembatasan saham preferen, fluktuasi laba, pengendalian,
ketidakcukupan laba, ketersediaan kas, kebutuhan dana untuk berinvestasi.
Jensen et al. (1992) dalam risetnya menyatakan bahwa kepemilikan insider
adalah faktor penentu penting dalam proses kebijakan pembagian dividen, karena
semakin besar insider holding akan menghasilkan agency cost yang semakin
rendah. Menurut mereka terdapat hubungan negatif antara insider holding dengan
tingkat pembagian dividen. Selain itu terdapat dampak positif dari profitabilitas
terhadap kebijakan pembagian dividen serta adanya dampak negatif dari rasio
utang, risiko bisnis dan pertumbuhan terhadap kebijakan pembagian dividen.
Sementara Harada dan Nguyen (2006) yang meneliti konsentrasi
kepemilikan, konflik agensi, dan kebijakan dividen di Jepang, menemukan bahwa
kebijakan pembagian dividen berhubungan negatif dengan konsentrasi
kepemilikan. Hasil ini berlawanan dengan argumen bahwa dividen merupakan
substitusi untuk pengawasan pemegang saham, tetapi mendukung asumsi bahwa
pemegang saham pengendali mendapatkan manfaat dari expense pemegang saham
minoritas. Konsisten dengan payout yang lebih rendah, perusahaan dengan
pemegang saham dominan akan mengurangi untuk meningkatkan dividen ketika
profitabilitas meningkat, dan menghilangkan dividen ketika terdapat kesempatan
yang bagus untuk melakukan investasi. Di sisi lain mereka akan meningkatkan
dividen ketika utangnya tinggi dan sedikit menghilangkan dividen ketika utang
meningkat, yang serupa dengan transfer kekayaan dari kreditur. Secara
keseluruhan konsentrasi kepemilikan memegang peranan yang penting dalam
keputusan perusahaan terutama berkaitan dengan konflik kepentingan antara
pemegang saham minoritas dengan mayoritas.
Fama dan French (2001) menyatakan bahwa terdapat tiga faktor yang
mempengaruhi kebijakan pembagian dividen, yaitu profitabilitas, kesempatan
investasi dan ukuran perusahaan. Semakin besar dan semakin untung perusahaan
maka akan membayar dividen yang lebih besar dan semakin besar kesempatan
investasi yang dimiliki perusahaan maka semakin kecil perusahaan membayar
dividen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar