Selasa, 04 Desember 2018

Perataan Laba ( Income Smooting ) (skripsi dan tesis)


Perataan laba menurut  definisi dari Poll (2004) dalam Juniarti (2005) perataan laba adalah cara menghapus volatilitas laba dengan meratakan dan meningkatkan pendapatan dari rendah menjadi tinggi. Definisi lain menganai income smoothing adalah definisi yang dikemukakan oleh Belkaoui (2007) perataan laba merupakan normalisasi laba yang dilakukan secara sengaja untuk mencapai trend atau tingkat yang diinginkan.
Adapun Frudenberg dan Tirole (1995) dalam Nurkhabib (2004:11) mendefinisikan perataan laba sebagai proses manipulasi profit waktu earning atau pelaporan earning agar aliran laba yang dilaporkan perubahannya lebih sedikit. Definisi income smoothing lainnya yang dikemukakan Beidelman (1973) dalam Anis C (2000:231) adalah perataan laba yang dilaporkan dapat didefinisikan sebagai usaha yang disengaja untuk meratakan atau memfluktuasikan tingkat laba sehingga pada saat sekarang dipandang normal bagi suatu perusahaan.
 Dalam hal ini perataan laba menunjukkan suatu usaha manajemen perusahaan untuk mengurangi variasi abnormal laba dalam batas-batas yang diizinkan dalam praktek akuntansi dan prinsip manajemen yang wajar. Beidleman dalam Belkaoui (2007) mempertimbangkan dua alasan menejemen meratakan laporan laba. Pendapat pertama berdasar pada asumsi bahwa suatu aliran laba yang stabil dapat mendukung deviden dengan tingkat yang lebih tinggi daripada suatu aliran laba yang variabel sehingga memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi nilai saham perusahaan seiring dengan turunnya tingkat resiko perusahaan secara keseluruhan.
Argumen kedua berkenaan pada perataan kemampuan untuk melawan hakikat laporan laba yang bersifat siklus dan kemungkinan juga akan menurunkan korelasi antara ekspektasi pengembalian perusahaan dengan pengembalian portofolio pasar. Hal tersebut merupakan hasil dari kebutuhan manajemen untuk menetralisir ketidakpastian lingkungan dan menurunkan fluktuasi yang luas dalam kinerja operasi perusahaan terhadap siklus waktu baik maupun waktu buruk yang berganti-ganti.
Manajemen laba berbeda dengan kecurangan. Perbedaan tersebut terletak pada tingkat kepatuhan terhadap standar akuntansi. Manajemen laba merupakan rekayasa pelaporan keuangan dalam batas-batas tertentu yang tidak melanggar standar pelaporan keuangan. Hal ini dilakukan oleh menejemen dengan memanfaatkan wewenangnya dalam memilih metode akuntansi yang diizinkan oleh standar. Manajer memiliki fleksibilitas dalam membuat pilihan metode maupun kebijakan akuntansi dari berbagai alternative metode dan kebijakan akuntansi yang ada, yang menurut preferensi manajer paling menguntungkan pada periode pelaporan.
Manajemen banyak memanfaatkan standar pelaporan keuangan dengan cara menerapkan standar yang dipercepat pengadobsiannya. Selain itu standar juga dijadikan sebagai alat untuk melaporkan kondisi perusahaan. Fleksibilitas yang terdapat dalam standar akuntansi pada akhirnya menyebabkan tindakan tersebut sah dengan sendirinya. Sedangkan kecurangan dalam pelaporan keuangan lebih merupakan upaya manajemen untuk menyembunyikan atau memanipulasi sebagian atau seluruh informasi keuangan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku.
Konsep perataan laba mengasumsikan bahwa investor adalah orang yang menolak resiko Fudenberg dan Tirole (1995) dalam Salno (2000) dan manajer yang menolak resiko terdorong untuk melakukan perataan laba. Demikian juga dalam hubungannya dengan kreditur, manajer lebih menyukai alternatif yang menghasilkan perataan laba (Trueman dan Titman 1988 dalam Salno 2000). Hasil penelitian Suh (1990) dalam Khafid (2004) juga menunjukkan adanya motivasi kuat yang mendorong manajer melakukan perataan laba.
Adapun Bidleman dalam Assih (2000) percaya bahwa manajemen melakukan perataan laba untuk menciptakan suatu aliran laba yang stabil dan mengurangi covariance atas return dengan pasar. Sedangkan Barnea et. al (1976) dalam Assih (2000) menyatakan bahwa manajer melakukan perataan laba untuk mengurangi fluktuasi dalam laba yang dilaporkan dan meningkatkan kemampuan investor untuk memprediksi aliran kas dimasa yang akan datang.
Di lain pihak menurut Dye (1988) dalam Khafid (2004:43) menyatakan pemilik mendukung perataan laba karena adanya motivasi internal dan motivasi eksternal. Motivasi internal menunjukkan maksud pemilik untuk meminimalisasi biaya kontrak manajer dengan membujuk manajer agar melakukan praktek manajemen laba. Motivasi eksternal ditujukan oleh usaha pemilik saat ini untuk mengubah persepsi investor prospektif atau potensial terhadap nilai perusahaan. Menurut Belkaoui (2007) tiga batasan yang mungkin mempengaruhi para manajer untuk melakukan perataan laba adalah:
1.      Mekanisme pasar yang kompetitif sehingga mengurangi jumlah pilihan yang   tersedia bagi manajemen.
2.      Skema kompensasi manajemen yang terhubung langsung dengan kinerja perusahaan.
3.      Ancaman penggantian manajemen.
Dipandang dari sisi manajemen, Hepworth (1953) dalam Harry dan Murtanto (2004), mengungkapkan bahwa manajer melakukan perataan laba pada dasarnya ingin mendapat berbagai keuntungan ekonomi dan psikologis, yaitu :
  1. Mengurangi total pajak terutang
  2. Meningkatkan kepercayaan diri manajer yang bersangkutan karena penghasilan yang stabil mendukung kebijakan dividen yang stabil pula.
  3. Meningkatkan hubungan antara manajer dengan karyawan karena pelaporan penghasilan meningkat tajam memberi kemungkinan munculnya tuntutan gaji dan upah.
  4. Siklus peningkatan dan penurunan penghasilan dapat ditandingkan dan gelombang optimisme dan pesimisme dapat diperlunak.
Dilain pihak Dye (1988), pemilik mendukung perataan laba karena adanya motivasi internal dan eksternal. Motivasi internal menunujukkan maksud pemilik untuk   meminimalisasi biaya kontrak manajer dengan membujuk manager agar melakukan praktik manajemen laba. Motivasi eksternal ditunjukkan oleh usaha pemilik saat ini untuk mengubah persepsi investor potensial terhadap nilai perusahaan.
Adapun tujuan perataan laba menurut Foster (1986) adalah sebagai berikut:
  1. Memperbaiki citra perusahaan di mata pihak luar, bahwa perusahaan tersebut memiliki risiko yang rendah.
  2. Memberikan informasi yang relevan dalam melakukan prediksi terhadap laba di masa mendatang.
  3. Meningkatkan kepuasan relasi bisnis.
  4. Meningkatkan persepsi pihak eksternal terhadap kemampuan manajemen.
  5. Meningkatkan kompensasi bagi pihak manajemen.
Dalam Dascher dan Malcom (1970) dalam Imam Subekti (2005) menyatakan bahwa terdapat 2 (dua) tipe perataan laba yaitu:
  1. Real smooting, yaitu merupakan suatu transaksi yang sesungguhnya untuk dilakukan atau tidak dilakukan berdasar pengaruh perataannya pada laba.
  2. Artificial smooting, yaitu merupakan perataan laba dengan menerapkan prosedur akuntansi untuk memindahkan biaya dan atau pendapatan dari suatu periode ke periode lainnya.
Beidlemen (1973), yang dikutip Assih dan Gudono (2000) dalam Imam Subekti (2005) menyatakan bahwa tujuan manajemen perusahaan melakukan keputusan perataan laba adalah untuk menciptakan suatu aliran laba yang stabil dan mengurangi covariance atas return dengan pasar.
Dalam beberapa penelitian sebelumnya, fokusnya selalu pada timbulnya tindakan perataan laba dan faktor-faktor yang berhubungan dengannya. Menurut Ronen dan Sadan (1981) yang dikutip dalam Jatiningrum (2000), perataan penghasilan bersih/laba dapat dilakukan dalam 3 cara, yaitu :
  1. Manajemen dapat menetapkan waktu terjadinya peristiwa tertentu, untuk mengurangi perbedaan laba yang dilaporkan, jadi alternatifnya, manajemen juga dapat menentukan waktu pengakuan beberapa peristiwa.
  2. Manajemen dapat mengalokasikan pendapatan atau dan beban tertentu pada periode akuntansi yang berbeda
  3. Manajemen dengan kebijaksanaannya  mengelompokkan item laba tertentu ke dalam kategori yang berbeda.
Brayshaw dan Eldin (1989) dalam Edy dan Arleen (2005), mengungkapkan bahwa manajemen perusahaan diuntungkan dengan praktek perataan laba.       

Tidak ada komentar: