A.
Secara
geografis, Semenanjung Korea dikelilingi oleh negara-negara besar dan kuat,
seperti Cina, Jepang dan Rusia. Sejarah mencatat bahwa sejak jaman kerajaan
kuno hingga negara moderen, negara Korea pernah mengalami lima kali masa
penjajahan atau penguasaan, seperti oleh Cina, bangsa Mongol, Jepang, Amerika
Serikat serta Uni Soviet pasca Perang Dunia kedua. Semenanjung Korea memiliki
lokasi yang strategis, sehingga negara-negara besar yang menjadi negara tetangga,
menjadikan Semenanjung Korea sebagai sasaran dari perluasan pengaruh serta
kepentingan negara-negara besar tersebut.
Pasca
berakhirnya penjajahan Jepang, upaya Korea untuk bisa menjadi negara yang
bersatu, merdeka dan mandiri tidak bisa diwujudkan. Hambatan untuk bisa mendirikan
negara Korea yang bersatu terletak pada intervensi serta persaingan antara
Amerika Serikat dan Uni Soviet di Semenanjung Korea pada masa Perang Dingin. Pengaruh
dari Amerika Serikat dan Uni Soviet di Semenanjung Korea, menyebabkan kedua
negara tersebut berjalan dalam situasi yang berbeda. Yang menarik adalah
bagaimana hubungan antara Korea Utara dan Uni Soviet terjalin. Hubungan antara
Uni Soviet dan Korea Utara diibaratkan kurang lebih seperti Walt Disney dan
Mickey Mouse. Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa Korea Utara adalah ciptaan
atau hasil bentukan dari penyebaran ideologi komunis oleh Uni Soviet. Sosok Kim
Il Sung di Korea Utara pun sangat dominan dan kebijakan yang dikeluarkan
memberikan pengaruh terhadap kondisi keamanan di kawasan tersebut, terutama
ketika Kim Il Sung bertekad untuk menjalankan program nuklir.
Perang
Korea 1950-1953 hanya diselesaikan melalui perjanjian gencatan senjata.
Akibatnya menyisakan permasalahan yaitu tidak adanya kesepakatan damai sehingga
permusuhan antara Korea Utara dan Korea Selatan belum tuntas. Permusuhan
diantara Korea Utara dan Korea Selatan mempengaruhi persepsi masing-masing negara
yang melihat tetangganya sebagai musuh dan ancaman. Bagi Korea Utara, Korea
Selatan adalah ancaman terutama dengan kehadiran kekuatan militer Amerika
Serikat untuk melindungi Korea Selatan. Bagi Korea Selatan, pengalaman invasi
yang dilakukan pada waktu perang Korea, menunjukkan bahwa agresifitas Korea
Utara untuk menyatukan Korea merupakan ancaman yang sewaktu-waktu bisa bangkit
kembali. Dengan situasi hubungan yang demikian mengakibatkan tidak adanya norma
yang disepakati antara kedua negara Korea untuk mengatur hubungan keduanya.
Program
nuklir Korea Utara menjadi faktor yang semakin memperuncing permusuhan di Semenanjung
Korea. Oleh karenanya pengembangan program senjata nuklir Korut merupakan hasil
dari tidak berjalannya konstruksi sosial dikawasan sebagai akibat pecahnya
Perang Korea. Hal tersebut memunculkan persepsi ancaman dari masing – masing
pihak yang bertikai Korut dan Korselyang juga melibatkan dua kekuatan gobal
pendukung AS dan US. Dari fenomena tersebut membentuk identitas relasi antar
aktor dikawasan kearah pola permusuhan (enmity) termasuk didalamnya Cina
sebagai sekutu Korut dan AS sebagai aktor diluar kawasan yang mendukung Korsel.
Diawali
pada masa pemerintahan Kim Il Sung terhadap ambisi nuklirnya, diwujudkan dengan
mulai menjalankan program nuklir Korea Utara. Aktifitas program nuklir Korea Utara
dapat dibagi kedalam empat fase; pertama, fase permulaan (tahun 1950-an). Kedua,
fase indigenous accumulation of knowledge
and technical expertise (awal tahun 1960-an sampai pertengahan tahun
1970-an). Ketiga, fase rapid expansion (akhir
tahun 1970-an sampai tahun 1990-an) dan keempat fase design switch/maturation (tahun
1994).[1]
Pada
fase pertama (dalam kurun waktu 1950-1960), Korea Utara memulai program
nuklirnya dengan melakukan kerjasama pelatihan dan pengiriman peneliti ke negara-negara
seperti Uni Soviet dan Cina.35 Pada tahun 1950, antara pemerintah Korea Utara
dengan Uni Soviet ditandatangani perjanjian dalam hal penelitian nuklir dan
melakukan transfer reaktor nuklir ke Pyongyang. Melalui perjanjian
kerjasamatersebut maka Korea Utara mengirimkan penelitinya untuk mendapatkan
pelatihansecara profesional di komplek penelitian nuklir milik Uni Soviet yaitu
Dubna Nuclear research Complex. Selama tahun 1960-1970, secara total jumlah
peneliti yang telah dilatih di Dubna Nuclear Research Complex telah mencapai
2.400 peneliti spesialis yang kemudian akan di pekerjakan di fasilitas nuklir
Yongbyon.
Pada
fase kedua (awal 1960- pertengahan 1970-an), program nuklir Korea Utara
memasuki fase indigenous accumulation of
knowledge and technical expertise. Fase kedua ini merupakan kelanjutan dari
fase pertema setelah Korea Utara mengirimkan para penelitinya untuk dilatih di
Uni Soviet dan Cina. Dalam fase ini ditandai dengan dimulainya pembangunan
fasilitas-fasilitas penelitian nuklir untuk mengembangkan program nuklir Korea
Utara ketahap yang lebih lanjut. Fase kedua dimulai ketika para peneliti
generasi pertama yang telah menjalani pelatihan di Uni Soviet dan Cina kembali
ke Korea Utara pada awal 1960.[2]
Pemerintah
Korea Utara kemudian memutuskan untuk menyediakan reaktor bagi para peneliti
tersebut dengan membangun komplek penelitian nuklir di daerah Yongbyon, di
Timur Laut Pyongyang. Keputusan Korea Utara untuk membangun komplek penelitian
nuklir di daerah Yongbyong disebabkan oleh dua hal; rejim Kim Il Sung
berpendapat bahwa pemilihan lokasi di Yongbyon akan mempersulit deteksi yang
dilakukan oleh negara musuh Korea Utara dan pemilihan lokasi tersebut karena
dimungkinkan untuk membangun instalasi bawah tanah. Selain itu proses
pengontrolan terhadap lokasi dapat dilakukan dengan mudah karena lokasi
tersebut jauh dari pemukiman penduduk dan daerah industri.
Didalam
komplek penelitian Yongbyon, terdapat beberapa reaktor yang berfungsi untuk
mendukung berjalannya komplek tersebut. Reaktor pertama adalah reaktor
penelitian yang didatangkan dari Uni Soviet pada bulan Agustus 1965 dengan kapasitas
awal sebesar 2-4 MWT(Megawatt), yang kemudian di kembangkan oleh para peneliti
Korea Utara menjadi 8 MWT. Reaktor nuklir yang kedua berkapasitas 5 MWT yang
dioperasikan sejak tahun 1986. Reaktor ketiga adalah reactor berkapasitas 50
MWT yang selesai di bangun pada tahun 1996.[3]
Pada
fase pengembangan kedua ini, Korea Utara juga melakukan pengembangan rudal
balistik. Pengembangan rudal balistik diawali ketika pada tahun 1960, Kim Il
Sung mendirikan Hamhung Military Academy untuk mendukung pengembangan senjata
moderen Korea Utara. Akademi tersebut kemudian menjadi basis bagi pengembangan
infrastruktur rudal Korea Utara, dimana personel Korea Utara mulai menerima
latihan untuk pengembangan rudal. Secara umum, pada tahun 1960an merupakan masa
diawalinya pengembangan roket surface to
air missiles (SAM) dan anti-ship missiles dan permulaan dari pengembangan sumber
daya manusia untuk mendukung program rudal Korea Utara. Pengembangan rudal
balistik Korea Utara diawali dengan kerjasama antara Korea Utara dan Uni Soviet
dimana Uni Soviet akan membantu Korea Utara dalam melakukan modernisasi
kemampuan militernya. Sesuai dengan kesepakatan, pada awal tahun 1963, Uni
Soviet mengirimkan sistem surfce to air missile (SAM) dengan tipe V-75 Dvina
(SA-2) ke Korea Utara. Pada tahun 1968 Korea Utara menerima sekitar 27-63 buah
FROG-5 (Free Rocket Over Ground),
lalu TEL (transport ejector launcher)
dan perlengkapan terkait dari Uni Soviet.
Fase
ketiga (akhir 1970 – awal 1990) merupakan fase dimana Korea Utara melakukan
ekspansi dalam pengembangan program nuklirnya. Fase ini dimulai ketika Kim Il
Sung memimpin Korean People’s Army (KPA) dan Ministry of Atomic Energy Industri
(MAEI) untuk memulai mengimplementasikan desain program nuklir Korea Utara,
termasuk melakukan ekspansi besar-besaran fasilitas nuklir dan pembangunan infrastruktur
program senjata nuklir di Yongbyon. Dalam fase ini Korea Utara mulai melakukan
pengembangan teknologi bahan bakar nuklir, mendesain senjata nuklir dan
mengembangkan sistem pengiriman senjata nuklir.
Pengembangan
rudal Korea Utara dilakukan juga dengan kerjasama dengan negara lain. Pada
tahun 1980, Korea Utara dan Mesir menandatangani perjanjian kerjasama dan
pertukaran teknologi rudal. Dalam kerjasama ini diantara Korea Utara dan Mesir
juga melakukan pertukaran informasi teknis, dokumentasi dan personel. Pada
tahun yang sama Korea Utara juga memperoleh sejumlah rudal Scud-B dari Mesir
dan melakukan modifikasi terhadap rudal tersebut. Mesir juga mengirimkan
sejumlah rudal R-17E, MA 2-543 TEL, serta kendaraan dan perlengkapan
pendukungnya. Dengan rudal R-17E, Korea Utara mulai melakukan program
modifikasi yang menghasilkan rudal Hwasong-5.46 Selama tahun 1982- 1983, Korea Utara terus mengembangkan
rudal Hwasong-5 dan pada awal tahun 1984 baru diselesaikan bentuk dasar pertama
dari rudal Hwasong-5.[4]
Pada
bulan April dan September 1984, Korea Utara melaksanakan program uji coba
peluncuran bentuk dasar (prototype) Hwasong-5 di tempat uji coba Musudan-ri,
daerah pantai Timur laut Korea Utara. Hwasong-5 memiliki kemampuan untuk
menyerang target dua pertiga dari wilayah Korea Selatan.48 Antara tahun
1985–1987, Korea Utara memulai produksi secara rutin rudal Hwasong-5 di Man’gyongdae
Electric Machinery Factory dan dicatat bahwa Korea Utara mampu memproduksi
sekitar 8-12 misil perbulan selama tahun 1987-1988.
Hwasong-5
merupakan rudal balistik pertama yang berhasil di produksi oleh Korea Utara.
Namun rudal Hwasong-5 memiliki kelemahan dalam daya jangkau dan kapabilitas
yang cukup. Keterbatasan rudal Hwasong-5 kemudian membuat Korea Utara
mengembangkan rudal Hwasong-6 yang memiliki kemampuan jelajah lebih jauh
sekitar 600 km.50 Rudal Hwasong-6 diproduksi di pabrik San’um-dong Research and
Development Center. Tahun 1989, Korea Utara sudah mulai melakukan produksi
Hwasong-6 dalam skala kecil dan pada tahun 1991 Korea Utara dicatat telah berhasil
memproduksi rudal tersebut dengan jumlah sekitar 4-8 unit setiap bulannya.
Kemampuan jelajah rudal Hwasong-6 mampu menjangkau semua kota di Korea Selatan
dan pangkalan militer Amerika Serikat di Korea Selatan.
Pada
tahun 1988, Korea Utara mulai mengembangkan rudal Rodong-1.53 Rudal Rodong-1
merupakan rudal jarak menengah Medium Range Ballistic Missile (MRBM) yang
dikembangkan dari rudal scud. Tahun 1989-1990 prototipe dari rudal Rodong-1
diproduksi oleh San’um-dong Research and Development Center. Tujuan
pengembangan rudal Rodong adalah adanya keinginan untuk memproduksi rudal
balistik yang mampu mengangkut hulu ledak dengan berat 1000-1500 kg dan
memiliki daya jelajah mencapai 1000-1500 km (dalam hal ini dimaksudkan untuk
bisa menjangkau Jepang, termasuk pangkalan militer Amerika Serikat di Okinawa),
Proyek pengembangan rudal Rodong merupakan proyek yang dijadikan dasar bagi
pengembangan sistem rudal dan teknologi terkait yang dapat menjadi inti atau
tahapan pertama bagi perkembangan rudal balistik selanjutnya dengan jarak
jangkau yang lebih baik dan Rudal Rodong dimaksudkan sebagai rudal balistik
yang mampu mengangkut senjata nuklir.[5]
Korea
Utara mulai melakukan uji coba rudal Rodong antara tahun 1990-1993. Pada
tanggal 25 Mei 1993, Korea Utara meluncurkan empat rudal (tiga rudal Hwasong
dan satu rudal Rodong) yang merupakan uji coba rudal balistik terbesar di Korea
Utara.55 Keempat rudal tersebut diarahkan kepada target yang mengapung di laut
Timur dan segaris dengan Semenanjung Noto, Jepang. Pada akhir bulan April 1994,
badan intelejen Amerika Serikat kembali mendeteksi aktifitas persiapan di fasilitas
peluncuran Musudan-ri dan melihat adanya peningkatan aktifitas yang dipercaya
sebagai rangkaian uji coba Rodong.56 Pada tahun 1993, Korea Utara telah berhasil
memproduksi rudal Rodong dengan jumlah sekitar 18 rudal.57 Tahun 2001 terdapat
beberapa laporan yang menyebutkan bahwa Korea Utara telah memproduksi sekitar
40-100 rudal. Selain mengembangkan rudal rodong, sejak awal 1990-an Korea Utara
juga telah mengembangkan sistem rudal balistik yang disebut dengan Taepodong-1
dan Taepodong-2. [6]
Rudal
Taepodong-1 terdiri dari dua tahapan pengembangan, dimana pada tahap pertama
menggunakan sistem dari Rodong dan pada tahap kedua menggunakan Hwasong-6.
Taepodong-2 menggunakan pengembangan tiga tahap, dimana sistem rudal Rodong
pada tahap pertama, lalu Hwasong-6 pada tahap kedua dan sistem pendorong
(booster) pada tahap ketiga.59 Taepodong-1 memiliki kemampuan untuk menjangkau
objek vital di Jepang sedangkan Taepodong-2 memiliki kemampuan hingga
menjangkau Alaska, Hawai dan bagian Barat dari Amerika Serikat. Berdasarkan
laporan dari Intelejen Amerika Serikat bahwa kemungkinan rudal-rudal tersebut
bisa dipasangi dengan senjata biologi atau kimia. Pada bulan Mei,1990, Korea
Utara melakukan uji coba rudal Taepodong-2 di tempat percobaan Musudan-ri.[7]
Pada fase keempat (sejak tahun 1994) terjadi
perubahan dari program nuklir yang selama ini dijalankan oleh Korea Utara.
Program nuklir yang dikembangkan sejak tahun 1950-an dan program rudal sejak
tahun 1960-an mengalami pembekuan. Pembekuan dilakukan sebagai akibat dari
akumulasi kejadian-kejadian yang menyertainya. Penyebab dibekukannya program
nuklir Korea Utara dikarenakan terjadinya krisis nuklir pada tahun 1994.
Sebagai penyelesaian dari krisis tersebut, disepakati kerangka kesepahaman
(Agreed Framework) diantara Korea Utara dan Amerika Serikat. Isi dari
kesepakatan tersebut adalah bantuan yang diberikan kepada Korea Utara sebagai
kompensasi jika Korea Utara mau menghentikan program nuklirnya. Korea Utara menyetujui
isi dari kesepakatan tersebut dan sejak tahun akhir 1994 Korea Utara mulai menghentikan
program nuklirnya.[8]
Tahun
1994 juga merupakan tahun yang bersejarah bagi proses transformasi keamanan di Semenanjung
Korea. Terutama dengan dibekukannya program nuklir Korea Utara, menjadikan untuk
sementara kawasan Semenanjung Korea menjadi lebih kondusif. Perhatian khusus terhadap
penyelesaian krisis pada tahun 1994 adalah dengan mengupayakan pendekatan
dialog. Upaya pendekatan dialog menjadi salah satu penanda bahwa transformasi
dari permusuhan menjadi persahabatan bisa dilakukan. Salah satu pengganjal dari
proses trasnformasi yang dilakukan adalah bahaya akan ancaman nuklir Korea
Utara. Dengan dihentikannya program nuklir tersebut, memberikan hasil dengan
dibangunnya proses komunikasi antar negara Korea dan negara lain.
Pada
tahun 1994 merupakan awal dimulainya krisis antara Korea Utara dengan berbagai
negara serta DK PBB. Oleh karenanya dalam uraian selanjutnya akan menguraikan
mengenai perkembangan konflik yang menyangkut krisis tekologi nuklir Korea
Utara. Untuk menjelaskan mengenai kronologis krisis yang terjadi dan upaya penyelesaiannya,
dijelaskan melalui sub bab di bawah sebagai berikut;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar