Senin, 05 Desember 2016

Perkembangan Program Teknologi Nuklir Korea Utara (skripsi dan tesis)

A.
Secara geografis, Semenanjung Korea dikelilingi oleh negara-negara besar dan kuat, seperti Cina, Jepang dan Rusia. Sejarah mencatat bahwa sejak jaman kerajaan kuno hingga negara moderen, negara Korea pernah mengalami lima kali masa penjajahan atau penguasaan, seperti oleh Cina, bangsa Mongol, Jepang, Amerika Serikat serta Uni Soviet pasca Perang Dunia kedua. Semenanjung Korea memiliki lokasi yang strategis, sehingga negara-negara besar yang menjadi negara tetangga, menjadikan Semenanjung Korea sebagai sasaran dari perluasan pengaruh serta kepentingan negara-negara besar tersebut.
Pasca berakhirnya penjajahan Jepang, upaya Korea untuk bisa menjadi negara yang bersatu, merdeka dan mandiri tidak bisa diwujudkan. Hambatan untuk bisa mendirikan negara Korea yang bersatu terletak pada intervensi serta persaingan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet di Semenanjung Korea pada masa Perang Dingin. Pengaruh dari Amerika Serikat dan Uni Soviet di Semenanjung Korea, menyebabkan kedua negara tersebut berjalan dalam situasi yang berbeda. Yang menarik adalah bagaimana hubungan antara Korea Utara dan Uni Soviet terjalin. Hubungan antara Uni Soviet dan Korea Utara diibaratkan kurang lebih seperti Walt Disney dan Mickey Mouse. Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa Korea Utara adalah ciptaan atau hasil bentukan dari penyebaran ideologi komunis oleh Uni Soviet. Sosok Kim Il Sung di Korea Utara pun sangat dominan dan kebijakan yang dikeluarkan memberikan pengaruh terhadap kondisi keamanan di kawasan tersebut, terutama ketika Kim Il Sung bertekad untuk menjalankan program nuklir.
Perang Korea 1950-1953 hanya diselesaikan melalui perjanjian gencatan senjata. Akibatnya menyisakan permasalahan yaitu tidak adanya kesepakatan damai sehingga permusuhan antara Korea Utara dan Korea Selatan belum tuntas. Permusuhan diantara Korea Utara dan Korea Selatan mempengaruhi persepsi masing-masing negara yang melihat tetangganya sebagai musuh dan ancaman. Bagi Korea Utara, Korea Selatan adalah ancaman terutama dengan kehadiran kekuatan militer Amerika Serikat untuk melindungi Korea Selatan. Bagi Korea Selatan, pengalaman invasi yang dilakukan pada waktu perang Korea, menunjukkan bahwa agresifitas Korea Utara untuk menyatukan Korea merupakan ancaman yang sewaktu-waktu bisa bangkit kembali. Dengan situasi hubungan yang demikian mengakibatkan tidak adanya norma yang disepakati antara kedua negara Korea untuk mengatur hubungan keduanya.
Program nuklir Korea Utara menjadi faktor yang semakin memperuncing permusuhan di Semenanjung Korea. Oleh karenanya pengembangan program senjata nuklir Korut merupakan hasil dari tidak berjalannya konstruksi sosial dikawasan sebagai akibat pecahnya Perang Korea. Hal tersebut memunculkan persepsi ancaman dari masing – masing pihak yang bertikai Korut dan Korselyang juga melibatkan dua kekuatan gobal pendukung AS dan US. Dari fenomena tersebut membentuk identitas relasi antar aktor dikawasan kearah pola permusuhan (enmity) termasuk didalamnya Cina sebagai sekutu Korut dan AS sebagai aktor diluar kawasan yang mendukung Korsel.
Diawali pada masa pemerintahan Kim Il Sung terhadap ambisi nuklirnya, diwujudkan dengan mulai menjalankan program nuklir Korea Utara. Aktifitas program nuklir Korea Utara dapat dibagi kedalam empat fase; pertama, fase permulaan (tahun 1950-an). Kedua, fase indigenous accumulation of knowledge and technical expertise (awal tahun 1960-an sampai pertengahan tahun 1970-an). Ketiga, fase rapid expansion (akhir tahun 1970-an sampai tahun 1990-an) dan keempat fase design switch/maturation (tahun 1994).[1]
Pada fase pertama (dalam kurun waktu 1950-1960), Korea Utara memulai program nuklirnya dengan melakukan kerjasama pelatihan dan pengiriman peneliti ke negara-negara seperti Uni Soviet dan Cina.35 Pada tahun 1950, antara pemerintah Korea Utara dengan Uni Soviet ditandatangani perjanjian dalam hal penelitian nuklir dan melakukan transfer reaktor nuklir ke Pyongyang. Melalui perjanjian kerjasamatersebut maka Korea Utara mengirimkan penelitinya untuk mendapatkan pelatihansecara profesional di komplek penelitian nuklir milik Uni Soviet yaitu Dubna Nuclear research Complex. Selama tahun 1960-1970, secara total jumlah peneliti yang telah dilatih di Dubna Nuclear Research Complex telah mencapai 2.400 peneliti spesialis yang kemudian akan di pekerjakan di fasilitas nuklir Yongbyon.
Pada fase kedua (awal 1960- pertengahan 1970-an), program nuklir Korea Utara memasuki fase indigenous accumulation of knowledge and technical expertise. Fase kedua ini merupakan kelanjutan dari fase pertema setelah Korea Utara mengirimkan para penelitinya untuk dilatih di Uni Soviet dan Cina. Dalam fase ini ditandai dengan dimulainya pembangunan fasilitas-fasilitas penelitian nuklir untuk mengembangkan program nuklir Korea Utara ketahap yang lebih lanjut. Fase kedua dimulai ketika para peneliti generasi pertama yang telah menjalani pelatihan di Uni Soviet dan Cina kembali ke Korea Utara pada awal 1960.[2]
Pemerintah Korea Utara kemudian memutuskan untuk menyediakan reaktor bagi para peneliti tersebut dengan membangun komplek penelitian nuklir di daerah Yongbyon, di Timur Laut Pyongyang. Keputusan Korea Utara untuk membangun komplek penelitian nuklir di daerah Yongbyong disebabkan oleh dua hal; rejim Kim Il Sung berpendapat bahwa pemilihan lokasi di Yongbyon akan mempersulit deteksi yang dilakukan oleh negara musuh Korea Utara dan pemilihan lokasi tersebut karena dimungkinkan untuk membangun instalasi bawah tanah. Selain itu proses pengontrolan terhadap lokasi dapat dilakukan dengan mudah karena lokasi tersebut jauh dari pemukiman penduduk dan daerah industri.
Didalam komplek penelitian Yongbyon, terdapat beberapa reaktor yang berfungsi untuk mendukung berjalannya komplek tersebut. Reaktor pertama adalah reaktor penelitian yang didatangkan dari Uni Soviet pada bulan Agustus 1965 dengan kapasitas awal sebesar 2-4 MWT(Megawatt), yang kemudian di kembangkan oleh para peneliti Korea Utara menjadi 8 MWT. Reaktor nuklir yang kedua berkapasitas 5 MWT yang dioperasikan sejak tahun 1986. Reaktor ketiga adalah reactor berkapasitas 50 MWT yang selesai di bangun pada tahun 1996.[3]
Pada fase pengembangan kedua ini, Korea Utara juga melakukan pengembangan rudal balistik. Pengembangan rudal balistik diawali ketika pada tahun 1960, Kim Il Sung mendirikan Hamhung Military Academy untuk mendukung pengembangan senjata moderen Korea Utara. Akademi tersebut kemudian menjadi basis bagi pengembangan infrastruktur rudal Korea Utara, dimana personel Korea Utara mulai menerima latihan untuk pengembangan rudal. Secara umum, pada tahun 1960an merupakan masa diawalinya pengembangan roket surface to air missiles (SAM) dan anti-ship missiles dan permulaan dari pengembangan sumber daya manusia untuk mendukung program rudal Korea Utara. Pengembangan rudal balistik Korea Utara diawali dengan kerjasama antara Korea Utara dan Uni Soviet dimana Uni Soviet akan membantu Korea Utara dalam melakukan modernisasi kemampuan militernya. Sesuai dengan kesepakatan, pada awal tahun 1963, Uni Soviet mengirimkan sistem surfce to air missile (SAM) dengan tipe V-75 Dvina (SA-2) ke Korea Utara. Pada tahun 1968 Korea Utara menerima sekitar 27-63 buah FROG-5 (Free Rocket Over Ground), lalu TEL (transport ejector launcher) dan perlengkapan terkait dari Uni Soviet.
Fase ketiga (akhir 1970 – awal 1990) merupakan fase dimana Korea Utara melakukan ekspansi dalam pengembangan program nuklirnya. Fase ini dimulai ketika Kim Il Sung memimpin Korean People’s Army (KPA) dan Ministry of Atomic Energy Industri (MAEI) untuk memulai mengimplementasikan desain program nuklir Korea Utara, termasuk melakukan ekspansi besar-besaran fasilitas nuklir dan pembangunan infrastruktur program senjata nuklir di Yongbyon. Dalam fase ini Korea Utara mulai melakukan pengembangan teknologi bahan bakar nuklir, mendesain senjata nuklir dan mengembangkan sistem pengiriman senjata nuklir.
Pengembangan rudal Korea Utara dilakukan juga dengan kerjasama dengan negara lain. Pada tahun 1980, Korea Utara dan Mesir menandatangani perjanjian kerjasama dan pertukaran teknologi rudal. Dalam kerjasama ini diantara Korea Utara dan Mesir juga melakukan pertukaran informasi teknis, dokumentasi dan personel. Pada tahun yang sama Korea Utara juga memperoleh sejumlah rudal Scud-B dari Mesir dan melakukan modifikasi terhadap rudal tersebut. Mesir juga mengirimkan sejumlah rudal R-17E, MA 2-543 TEL, serta kendaraan dan perlengkapan pendukungnya. Dengan rudal R-17E, Korea Utara mulai melakukan program modifikasi yang menghasilkan rudal Hwasong-5.46 Selama tahun 1982- 1983, Korea Utara terus mengembangkan rudal Hwasong-5 dan pada awal tahun 1984 baru diselesaikan bentuk dasar pertama dari rudal Hwasong-5.[4]
Pada bulan April dan September 1984, Korea Utara melaksanakan program uji coba peluncuran bentuk dasar (prototype) Hwasong-5 di tempat uji coba Musudan-ri, daerah pantai Timur laut Korea Utara. Hwasong-5 memiliki kemampuan untuk menyerang target dua pertiga dari wilayah Korea Selatan.48 Antara tahun 1985–1987, Korea Utara memulai produksi secara rutin rudal Hwasong-5 di Man’gyongdae Electric Machinery Factory dan dicatat bahwa Korea Utara mampu memproduksi sekitar 8-12 misil perbulan selama tahun 1987-1988.
Hwasong-5 merupakan rudal balistik pertama yang berhasil di produksi oleh Korea Utara. Namun rudal Hwasong-5 memiliki kelemahan dalam daya jangkau dan kapabilitas yang cukup. Keterbatasan rudal Hwasong-5 kemudian membuat Korea Utara mengembangkan rudal Hwasong-6 yang memiliki kemampuan jelajah lebih jauh sekitar 600 km.50 Rudal Hwasong-6 diproduksi di pabrik San’um-dong Research and Development Center. Tahun 1989, Korea Utara sudah mulai melakukan produksi Hwasong-6 dalam skala kecil dan pada tahun 1991 Korea Utara dicatat telah berhasil memproduksi rudal tersebut dengan jumlah sekitar 4-8 unit setiap bulannya. Kemampuan jelajah rudal Hwasong-6 mampu menjangkau semua kota di Korea Selatan dan pangkalan militer Amerika Serikat di Korea Selatan.
Pada tahun 1988, Korea Utara mulai mengembangkan rudal Rodong-1.53 Rudal Rodong-1 merupakan rudal jarak menengah Medium Range Ballistic Missile (MRBM) yang dikembangkan dari rudal scud. Tahun 1989-1990 prototipe dari rudal Rodong-1 diproduksi oleh San’um-dong Research and Development Center. Tujuan pengembangan rudal Rodong adalah adanya keinginan untuk memproduksi rudal balistik yang mampu mengangkut hulu ledak dengan berat 1000-1500 kg dan memiliki daya jelajah mencapai 1000-1500 km (dalam hal ini dimaksudkan untuk bisa menjangkau Jepang, termasuk pangkalan militer Amerika Serikat di Okinawa), Proyek pengembangan rudal Rodong merupakan proyek yang dijadikan dasar bagi pengembangan sistem rudal dan teknologi terkait yang dapat menjadi inti atau tahapan pertama bagi perkembangan rudal balistik selanjutnya dengan jarak jangkau yang lebih baik dan Rudal Rodong dimaksudkan sebagai rudal balistik yang mampu mengangkut senjata nuklir.[5]
Korea Utara mulai melakukan uji coba rudal Rodong antara tahun 1990-1993. Pada tanggal 25 Mei 1993, Korea Utara meluncurkan empat rudal (tiga rudal Hwasong dan satu rudal Rodong) yang merupakan uji coba rudal balistik terbesar di Korea Utara.55 Keempat rudal tersebut diarahkan kepada target yang mengapung di laut Timur dan segaris dengan Semenanjung Noto, Jepang. Pada akhir bulan April 1994, badan intelejen Amerika Serikat kembali mendeteksi aktifitas persiapan di fasilitas peluncuran Musudan-ri dan melihat adanya peningkatan aktifitas yang dipercaya sebagai rangkaian uji coba Rodong.56 Pada tahun 1993, Korea Utara telah berhasil memproduksi rudal Rodong dengan jumlah sekitar 18 rudal.57 Tahun 2001 terdapat beberapa laporan yang menyebutkan bahwa Korea Utara telah memproduksi sekitar 40-100 rudal. Selain mengembangkan rudal rodong, sejak awal 1990-an Korea Utara juga telah mengembangkan sistem rudal balistik yang disebut dengan Taepodong-1 dan Taepodong-2. [6]
Rudal Taepodong-1 terdiri dari dua tahapan pengembangan, dimana pada tahap pertama menggunakan sistem dari Rodong dan pada tahap kedua menggunakan Hwasong-6. Taepodong-2 menggunakan pengembangan tiga tahap, dimana sistem rudal Rodong pada tahap pertama, lalu Hwasong-6 pada tahap kedua dan sistem pendorong (booster) pada tahap ketiga.59 Taepodong-1 memiliki kemampuan untuk menjangkau objek vital di Jepang sedangkan Taepodong-2 memiliki kemampuan hingga menjangkau Alaska, Hawai dan bagian Barat dari Amerika Serikat. Berdasarkan laporan dari Intelejen Amerika Serikat bahwa kemungkinan rudal-rudal tersebut bisa dipasangi dengan senjata biologi atau kimia. Pada bulan Mei,1990, Korea Utara melakukan uji coba rudal Taepodong-2 di tempat percobaan Musudan-ri.[7]
 Pada fase keempat (sejak tahun 1994) terjadi perubahan dari program nuklir yang selama ini dijalankan oleh Korea Utara. Program nuklir yang dikembangkan sejak tahun 1950-an dan program rudal sejak tahun 1960-an mengalami pembekuan. Pembekuan dilakukan sebagai akibat dari akumulasi kejadian-kejadian yang menyertainya. Penyebab dibekukannya program nuklir Korea Utara dikarenakan terjadinya krisis nuklir pada tahun 1994. Sebagai penyelesaian dari krisis tersebut, disepakati kerangka kesepahaman (Agreed Framework) diantara Korea Utara dan Amerika Serikat. Isi dari kesepakatan tersebut adalah bantuan yang diberikan kepada Korea Utara sebagai kompensasi jika Korea Utara mau menghentikan program nuklirnya. Korea Utara menyetujui isi dari kesepakatan tersebut dan sejak tahun akhir 1994 Korea Utara mulai menghentikan program nuklirnya.[8]
Tahun 1994 juga merupakan tahun yang bersejarah bagi proses transformasi keamanan di Semenanjung Korea. Terutama dengan dibekukannya program nuklir Korea Utara, menjadikan untuk sementara kawasan Semenanjung Korea menjadi lebih kondusif. Perhatian khusus terhadap penyelesaian krisis pada tahun 1994 adalah dengan mengupayakan pendekatan dialog. Upaya pendekatan dialog menjadi salah satu penanda bahwa transformasi dari permusuhan menjadi persahabatan bisa dilakukan. Salah satu pengganjal dari proses trasnformasi yang dilakukan adalah bahaya akan ancaman nuklir Korea Utara. Dengan dihentikannya program nuklir tersebut, memberikan hasil dengan dibangunnya proses komunikasi antar negara Korea dan negara lain.
Pada tahun 1994 merupakan awal dimulainya krisis antara Korea Utara dengan berbagai negara serta DK PBB. Oleh karenanya dalam uraian selanjutnya akan menguraikan mengenai perkembangan konflik yang menyangkut krisis tekologi nuklir Korea Utara. Untuk menjelaskan mengenai kronologis krisis yang terjadi dan upaya penyelesaiannya, dijelaskan melalui sub bab di bawah sebagai berikut;



Tidak ada komentar: