Tahun
1994 diwarnai dengan terjadinya krisis nuklir di Semenanjung Korea. Kronologis timbulnya
krisis tersebut hingga proses penyelesaiannya sebagai berikut; Pada tahun 1985,
Korea Utara menandatangani perjanjian Non-Proliferation Treaty (NPT). Alasan
dibalik Korea Utara mau menandatangani NPT dikarenakan tekanan Uni Soviet. Pada
pertengahan 1980-an, Pyongyang meminta bantuan Uni Soviet untuk membangun
program teknologi nuklir. Uni Soviet sendiri khawatir terhadap Korea Utara jika
mampu menjalankan program nuklirnya. Kekhawatiran Uni Soviet adalah sifat dari
rejim Korea Utara yang tidak dapat diprediksi dan jarak antara kedua negara
tidak jauh. Uni Soviet meminta kepada Korea Utara untuk menyepakati NPT dengan
harapan melalui keterlibatan Korea Utara dalam perjanjian internasional, maka
pengawasan program nuklir Korea Utara menjadi tanggung jawab dan perhatian
dunia internasional. [1]
Sebagai
kelanjutan atas ratifikasi Korea Utara terhadap NPT, maka pada bulan Mei 1992, tim
inspeksi internasional pertama melakukan inspeksi di komplek nuklir Yongbyon.
Direktur Jendral IAEA, Hans Blix pada tanggal 10 Juni 1992 melaporkan bahwa
berdasarkan inspeksi yang dilakukan tanggal 25 Mei-6 Juni 1992, konstruksi yang
dimiliki fasilitas nuklir Korea Utara telah mencapai 80 persen tahap
penyelesaian. Hans Blix melihat bahwa walaupun fasilitas nuklir yang dimiliki
oleh Korea Utara hampir sampai tahap penyelesaian, namun ia mengatakan bahwa semua
fasilitas yang dimiliki oleh Korea Utara sudah ketinggalan jaman dan
fasilitas-fasilitas tersebut masih dalam kondisi belum dalam pengoperasian.
Dengan hasil tersebut dinyatakan bahwa teknologi nuklir Korea Utara masih jauh
untuk bisa memproduksi secara missal plutonium
Hasil
inspeksi oleh IAEA dipandang oleh Korea Selatan tidak begitu memuaskan. Ketidakpuasan
ini dipicu oleh dua fasilitas yang masih ditutupi oleh Korea Utara dari proses inspeksi
yang dilakukan IAEA sebelumnya. Korea Selatan merasa tidak puas terhadap
terhadap inspeksi yang dilakukan oleh IAEA terhadap Korea Utara.68 Korea
Selatan meminta kepada IAEA untuk melakukan “inspeksi spesial” terhadap dua
fasilitas yang masih dirahasiakan oleh Korea Utara di komplek penelitian
Yongbyon. Korea Utara menolak permintaan
tersebut karena Pyongyang memegang hasil inspeksi sebelumnya dan menyatakan
bahwa inspeksi yang telah dilakukan oleh IAEA merupakan bentuk kerjasama Korea
Utara sehingga hasilnya patut di hargai. [2]
Pada
25 Februari 1993, Dewan Gubernur IAEA mengeluarkan ultimatum kepada Korea Utara
untuk menyetujui dilakukannya inspeksi pada tanggal 25 Maret atau akan
“menghadapi langkah berikutnya”. Dimana yang dimaksud dengan “langkah
berikutnya” adalah membawa permasalahan Korea Utara ke Dewan Keamanan PBB (DK
PBB), dimana Korea Utara bisa dijatuhi hukuman berupa sanksi embargo ekonomi.
Inspeksi spesial yang diinginkan Korea Selatan dan IAEA ditolak oleh Pyongyang.
Korea Utara berpendapat bahwa hasil inspeksi dari IAEA sebelumnya merupakan sebuah
kebenaran dan dua fasilitas yang dimaksud oleh Korea Selatan merupakan
fasilitas militer bukan nuklir. Korea
Utara memperingatkan sekaligus mengancam bahwa segala macam upaya untuk
memaksakan dilaksanakannya inspeksi akan membawa Semenanjung Korea kepada
bencana peperangan. Silang pendapat
antara IAEA, Korea Utara dan Korea Selatan menimbulkan kekecewaan dan kemarahan
dari Korea Utara. [3]
Kemarahan
Korea Utara dipicu juga dengan tetap dilangsungkannya latihan militer antara Amerika
Serikat dengan Korea Selatan yang diumumkan pada Januari 1993.73 Pada 9 Maret, merupakan
hari pertama dilakukannya latihan militer bersama (Team Spirit) antara Amerika Serikat
dan Korea Selatan. Latihan Team Spirit melibatkan 70.000 pasukan Korea Selatan
dan 50.000 pasukan Amerika Serkat, ditambah dengan 19.000 pasukan Amerika
Serikat yang didatangkan dari luar Semenanjung Korea dan latihan tersebut
didukung dengan pengiriman kapal induk USS Independence yang merapat dipantai
Korea Selatan.
Pada
bulan Maret 1993, secara tiba-tiba Korea Utara memutuskan untuk menarik diri
dari perjanjian NPT dengan alasan sebagai bentuk “tindakan membela diri”
(self-defensive measure) untuk melindungi kepentingan Korea Utara. Menanggapi
latihan militer Amerika Serikat dan Korea Selatan yang berlangsung sejak 9
Maret 1993, Kim Il Sung menyiapkan pasukan militernya dalam status setengah
siaga perang.76 Kim Il Sung selalu merasa khawatir atas latihan militer yang
dilakukan oleh Korea Selatan dan Amerika Serikat. Kim Il Sung menilai bahwa latihan
tersebut sebagai persiapan perang menghadapi Korea Utara.77 sehingga Korea
Utara mensiagakan pasukannya untuk berjaga-jaga. Penolakan Korea Utara terhadap
inspeksi yang dilakukan oleh IAEA dan penarikan diri Korea Utara dari
perjanjian NPT membuat isu nuklir di Semenanjung Korea memanas dan berujung
kepada pecahnya krisis nuklir di Semenanjung Korea pada tahun 1994.
Pertengahan
1994, keamanan di Semenanjung Korea berada dalam sebuah kondisi yang tidak
menentu. Sebagian analis menilai kondisi tersebut sebagai sebuah krisis. Krisis
di Semenanjung Korea mengacu kepada dua hal; Pertama, adalah sikap Korea Utara yang menarik diri dari perjanjian
internasional (NPT). Dengan bergabungnya Korea Utara dalam NPT diharapkan
kegiatan program nuklir Korea Utara bisa diawasi dan dipantau. Penarikan diri
Korea Utara dari perjanjian tersebut mengakibatkan tidak ada pihak yang mampu
dan diijinkan untuk mengawasi kegiatan yang dilakukan oleh Korea Utara.
Ketiadaan pengawasan inilah yang membuat kondisi keamanan menjadi tidak menentu,
apakah Korea Utara akan bertindak dengan rasional atau tidak dengan program
nuklirnya. [4]
Kedua, adalah pasukan
Korea Utara dalam kondisi siaga. Alasan untuk menyiagakan pasukan adalah
sebagai bentuk protes terhadap latihan militer Amerika Serikat-Korea Selatan. Penempatan
pasukan dalam kondisi siaga membuat kondisi krisis menjadi semakin panas. Di bagian
Utara, Pyongyang menyiapkan pasukan, sedangkan dibagian Selatan pasukan Amerika
Serikat dan Korea Selatan sedang berlatih dan bisa disiagakan untuk menghadapi
Korea Utara. Potensi untuk kembali terjadi perang antara Korea Utara dan Korea
Selatan terbuka lebar, mengingat perang Korea hanya diselesaikan dengan
gencatan senjata, bukan perjanjian damai. dampak yang negatif bagi ketahanan
ekonomi Korea Utara. [5]
Pada
tahun 1994, dilaporkan bahwa Korea Utara mengalokasikan 22 persen dari GNP
untuk keperluan pertahanan. Alokasi yang besar pada bidang pertahanan tidak
sejalan dengan ketahanan dari kondisi perekonomian, terutama sejak krisis yang
mulai melanda Korea Utara tahun 1990-an. Pada tahun 1990-an perekonomian Korea
Utara mengalami kemerosotan dan diprediksi hal tersebut sulit untuk diatasi.83
Bukti kemerosotan perekonomian Korea Utara ditunjukkan dengan hasil penelitian
(sejak tahun 1990-1993) yang memperlihatkan bahwa kondisi perekonomian Korea Utara
mengalami penurunan, bahkan minus dari 3 persen sampai hampir 9 persen. [6]
Dalam
perkembangannya, ekonomi Korea Utara setiap tahun mengalami penurunan
pertumbuhan dikarenakan roda perekonomian Korea Utara tidak berjalan dengan
baik. Perdagangan internasional Korea Utara dengan negara-negara komunis
mengalami kemerosotan. Terutama dikarenakan pada pasca Perang Dingin, banyak
negara komunis yang terpecah maupun sudah meninggalkan ideology komunis.
Kondisi tersebut menyebabkan sulitnya Korea Utara melakukan perdagangan internasional.
Selain itu, didalam negeri Korea Utara juga mengalami permasalahan berupa kelangkaan
sumber daya energi (berupa bahan bakar dan listrik). Kondisi tersebut
diperparah dengan kelangkaan pangan yang disebabkan oleh buruknya cuaca dan
kelangkaan pupuk yang melanda Korea Utara. Kerentanan didalam negeri disebabkan
oleh banyaknya rakyat Korea Utara yang harus menjadi korban kelaparan akibat
buruknya pertanian di negara tersebut.
Korea
Utara menjalankan kebijakan pertahanan keamanan berdasarkan ideologi Juche, dimana
dituntut kemandirian negara dalam hal kemampuan militer. Tujuan untuk menjadi
negara yang mandiri secara militer dilakukan dengan mengalokasikan anggaran
pertahanan yang lebih besar disaat perekonomian Korea Utara tidak berada di
kondisi yang baik. Kemandirian dalam bidang militer tidak seimbang dengan
kemapanan dalam bidang ekonomi. Sehingga kemajuan di bidang militer tidak
memberikan dampak langsung bagi kesejahteraan rakyat Korea Utara.[7]
Langkanya
bahan bakar dan listrik serta kelangkaan pangan, menunjukkan bahwa Korea Utara memiliki
masalah yang sangat berpotensi melemahkan rejim otoriter Korea Utara. Ketakutan
dari para elit politik di Korea Utara adalah jika musuh-musuh Korea Utara
mengharapkan keruntuhan Korea Utara yang disebabkan oleh lemahnya kondisi
domestik. Rejim Korea Utara menghadapi permasalahan dari sisi domestik dan
internasional. Secara domestik, walaupun tidak muncul upaya menggulingan atau
protes terhadap ketidakberesan rejim Korea Utara menjalankan roda perekonomian
oleh rakyatnya, namun kekhawatiran muncul justru kepada reaksi negara-negara
luar yang menginginkan runtuhnya rejim
di Korea Utara.[8]
Lemahnya perekonomian Korea Utara ditambah
kelangkaan sumber daya energi ditakutkan oleh rejim di Pyongyang sebagai pemicu
keruntuhan awal dari rejim yang berkuasa sejak tahun 1950-an. Dari sisi
internasional, tindakan pengunduran diri sepihak yang dilakukan oleh Korea
Utara dari NPT sebagai pemicu krisis menyebabkan perhatian dunia internasional
tertuju kepada sikap selanjutnya dari Korea Utara, apakah Korea Utara akan membawa
krisis nuklir tersebut menjadi semakin berlarut-larut dan bertindak tidak
rasional atau menyelesaikan krisis tersebut dengan cara damai. Rejim Korea
Utara menghadapi dilema apakah akan bersifat lebih bersahabat dalam menghadapi
krisis nuklir di Semenanjung Korea atau semakin bersifat arogan dengan resiko
ancaman keterpurukan ekonomi yang semakin dalam dan keruntuhan rejim.[9]
Oleh
karenanya untuk untuk meredakan krisis nuklir yang muncul pada tahun 1994 di
Semenanjung Korea maka jatuhlah pilihan untuk memberikan bantuan bagi Korea
Utara. Sebenarnya bisa saja rejim di Pyongyang dibiarkan runtuh dengan
sendirinya, mengingat kondisi domestik
Korea Utara yang menderita. Namun muncul kekhawatiran jika memang benar rejim
di Korea Utara runtuh, maka bisa berakibat kepada melubernya arus pengungsian
dari Korea Utara ke negara-negara sekitar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar