Senin, 05 Desember 2016

Krisis Nuklir Korea Utara Tahun 1994 (skripsi dan tesis)


Tahun 1994 diwarnai dengan terjadinya krisis nuklir di Semenanjung Korea. Kronologis timbulnya krisis tersebut hingga proses penyelesaiannya sebagai berikut; Pada tahun 1985, Korea Utara menandatangani perjanjian Non-Proliferation Treaty (NPT). Alasan dibalik Korea Utara mau menandatangani NPT dikarenakan tekanan Uni Soviet. Pada pertengahan 1980-an, Pyongyang meminta bantuan Uni Soviet untuk membangun program teknologi nuklir. Uni Soviet sendiri khawatir terhadap Korea Utara jika mampu menjalankan program nuklirnya. Kekhawatiran Uni Soviet adalah sifat dari rejim Korea Utara yang tidak dapat diprediksi dan jarak antara kedua negara tidak jauh. Uni Soviet meminta kepada Korea Utara untuk menyepakati NPT dengan harapan melalui keterlibatan Korea Utara dalam perjanjian internasional, maka pengawasan program nuklir Korea Utara menjadi tanggung jawab dan perhatian dunia internasional. [1]
Sebagai kelanjutan atas ratifikasi Korea Utara terhadap NPT, maka pada bulan Mei 1992, tim inspeksi internasional pertama melakukan inspeksi di komplek nuklir Yongbyon. Direktur Jendral IAEA, Hans Blix pada tanggal 10 Juni 1992 melaporkan bahwa berdasarkan inspeksi yang dilakukan tanggal 25 Mei-6 Juni 1992, konstruksi yang dimiliki fasilitas nuklir Korea Utara telah mencapai 80 persen tahap penyelesaian. Hans Blix melihat bahwa walaupun fasilitas nuklir yang dimiliki oleh Korea Utara hampir sampai tahap penyelesaian, namun ia mengatakan bahwa semua fasilitas yang dimiliki oleh Korea Utara sudah ketinggalan jaman dan fasilitas-fasilitas tersebut masih dalam kondisi belum dalam pengoperasian. Dengan hasil tersebut dinyatakan bahwa teknologi nuklir Korea Utara masih jauh untuk bisa memproduksi secara missal plutonium
Hasil inspeksi oleh IAEA dipandang oleh Korea Selatan tidak begitu memuaskan. Ketidakpuasan ini dipicu oleh dua fasilitas yang masih ditutupi oleh Korea Utara dari proses inspeksi yang dilakukan IAEA sebelumnya. Korea Selatan merasa tidak puas terhadap terhadap inspeksi yang dilakukan oleh IAEA terhadap Korea Utara.68 Korea Selatan meminta kepada IAEA untuk melakukan “inspeksi spesial” terhadap dua fasilitas yang masih dirahasiakan oleh Korea Utara di komplek penelitian Yongbyon.  Korea Utara menolak permintaan tersebut karena Pyongyang memegang hasil inspeksi sebelumnya dan menyatakan bahwa inspeksi yang telah dilakukan oleh IAEA merupakan bentuk kerjasama Korea Utara sehingga hasilnya patut di hargai. [2]
Pada 25 Februari 1993, Dewan Gubernur IAEA mengeluarkan ultimatum kepada Korea Utara untuk menyetujui dilakukannya inspeksi pada tanggal 25 Maret atau akan “menghadapi langkah berikutnya”. Dimana yang dimaksud dengan “langkah berikutnya” adalah membawa permasalahan Korea Utara ke Dewan Keamanan PBB (DK PBB), dimana Korea Utara bisa dijatuhi hukuman berupa sanksi embargo ekonomi. Inspeksi spesial yang diinginkan Korea Selatan dan IAEA ditolak oleh Pyongyang. Korea Utara berpendapat bahwa hasil inspeksi dari IAEA sebelumnya merupakan sebuah kebenaran dan dua fasilitas yang dimaksud oleh Korea Selatan merupakan fasilitas militer bukan nuklir.  Korea Utara memperingatkan sekaligus mengancam bahwa segala macam upaya untuk memaksakan dilaksanakannya inspeksi akan membawa Semenanjung Korea kepada bencana peperangan.  Silang pendapat antara IAEA, Korea Utara dan Korea Selatan menimbulkan kekecewaan dan kemarahan dari Korea Utara. [3]
Kemarahan Korea Utara dipicu juga dengan tetap dilangsungkannya latihan militer antara Amerika Serikat dengan Korea Selatan yang diumumkan pada Januari 1993.73 Pada 9 Maret, merupakan hari pertama dilakukannya latihan militer bersama (Team Spirit) antara Amerika Serikat dan Korea Selatan. Latihan Team Spirit melibatkan 70.000 pasukan Korea Selatan dan 50.000 pasukan Amerika Serkat, ditambah dengan 19.000 pasukan Amerika Serikat yang didatangkan dari luar Semenanjung Korea dan latihan tersebut didukung dengan pengiriman kapal induk USS Independence yang merapat dipantai Korea Selatan.
Pada bulan Maret 1993, secara tiba-tiba Korea Utara memutuskan untuk menarik diri dari perjanjian NPT dengan alasan sebagai bentuk “tindakan membela diri” (self-defensive measure) untuk melindungi kepentingan Korea Utara. Menanggapi latihan militer Amerika Serikat dan Korea Selatan yang berlangsung sejak 9 Maret 1993, Kim Il Sung menyiapkan pasukan militernya dalam status setengah siaga perang.76 Kim Il Sung selalu merasa khawatir atas latihan militer yang dilakukan oleh Korea Selatan dan Amerika Serikat. Kim Il Sung menilai bahwa latihan tersebut sebagai persiapan perang menghadapi Korea Utara.77 sehingga Korea Utara mensiagakan pasukannya untuk berjaga-jaga. Penolakan Korea Utara terhadap inspeksi yang dilakukan oleh IAEA dan penarikan diri Korea Utara dari perjanjian NPT membuat isu nuklir di Semenanjung Korea memanas dan berujung kepada pecahnya krisis nuklir di Semenanjung Korea pada tahun 1994.
Pertengahan 1994, keamanan di Semenanjung Korea berada dalam sebuah kondisi yang tidak menentu. Sebagian analis menilai kondisi tersebut sebagai sebuah krisis. Krisis di Semenanjung Korea mengacu kepada dua hal; Pertama, adalah sikap Korea Utara yang menarik diri dari perjanjian internasional (NPT). Dengan bergabungnya Korea Utara dalam NPT diharapkan kegiatan program nuklir Korea Utara bisa diawasi dan dipantau. Penarikan diri Korea Utara dari perjanjian tersebut mengakibatkan tidak ada pihak yang mampu dan diijinkan untuk mengawasi kegiatan yang dilakukan oleh Korea Utara. Ketiadaan pengawasan inilah yang membuat kondisi keamanan menjadi tidak menentu, apakah Korea Utara akan bertindak dengan rasional atau tidak dengan program nuklirnya. [4]
Kedua, adalah pasukan Korea Utara dalam kondisi siaga. Alasan untuk menyiagakan pasukan adalah sebagai bentuk protes terhadap latihan militer Amerika Serikat-Korea Selatan. Penempatan pasukan dalam kondisi siaga membuat kondisi krisis menjadi semakin panas. Di bagian Utara, Pyongyang menyiapkan pasukan, sedangkan dibagian Selatan pasukan Amerika Serikat dan Korea Selatan sedang berlatih dan bisa disiagakan untuk menghadapi Korea Utara. Potensi untuk kembali terjadi perang antara Korea Utara dan Korea Selatan terbuka lebar, mengingat perang Korea hanya diselesaikan dengan gencatan senjata, bukan perjanjian damai. dampak yang negatif bagi ketahanan ekonomi Korea Utara. [5]
Pada tahun 1994, dilaporkan bahwa Korea Utara mengalokasikan 22 persen dari GNP untuk keperluan pertahanan. Alokasi yang besar pada bidang pertahanan tidak sejalan dengan ketahanan dari kondisi perekonomian, terutama sejak krisis yang mulai melanda Korea Utara tahun 1990-an. Pada tahun 1990-an perekonomian Korea Utara mengalami kemerosotan dan diprediksi hal tersebut sulit untuk diatasi.83 Bukti kemerosotan perekonomian Korea Utara ditunjukkan dengan hasil penelitian (sejak tahun 1990-1993) yang memperlihatkan bahwa kondisi perekonomian Korea Utara mengalami penurunan, bahkan minus dari 3 persen sampai hampir 9 persen. [6]
Dalam perkembangannya, ekonomi Korea Utara setiap tahun mengalami penurunan pertumbuhan dikarenakan roda perekonomian Korea Utara tidak berjalan dengan baik. Perdagangan internasional Korea Utara dengan negara-negara komunis mengalami kemerosotan. Terutama dikarenakan pada pasca Perang Dingin, banyak negara komunis yang terpecah maupun sudah meninggalkan ideology komunis. Kondisi tersebut menyebabkan sulitnya Korea Utara melakukan perdagangan internasional. Selain itu, didalam negeri Korea Utara juga mengalami permasalahan berupa kelangkaan sumber daya energi (berupa bahan bakar dan listrik). Kondisi tersebut diperparah dengan kelangkaan pangan yang disebabkan oleh buruknya cuaca dan kelangkaan pupuk yang melanda Korea Utara. Kerentanan didalam negeri disebabkan oleh banyaknya rakyat Korea Utara yang harus menjadi korban kelaparan akibat buruknya pertanian di negara tersebut.
Korea Utara menjalankan kebijakan pertahanan keamanan berdasarkan ideologi Juche, dimana dituntut kemandirian negara dalam hal kemampuan militer. Tujuan untuk menjadi negara yang mandiri secara militer dilakukan dengan mengalokasikan anggaran pertahanan yang lebih besar disaat perekonomian Korea Utara tidak berada di kondisi yang baik. Kemandirian dalam bidang militer tidak seimbang dengan kemapanan dalam bidang ekonomi. Sehingga kemajuan di bidang militer tidak memberikan dampak langsung bagi kesejahteraan rakyat Korea Utara.[7]
Langkanya bahan bakar dan listrik serta kelangkaan pangan, menunjukkan bahwa Korea Utara memiliki masalah yang sangat berpotensi melemahkan rejim otoriter Korea Utara. Ketakutan dari para elit politik di Korea Utara adalah jika musuh-musuh Korea Utara mengharapkan keruntuhan Korea Utara yang disebabkan oleh lemahnya kondisi domestik. Rejim Korea Utara menghadapi permasalahan dari sisi domestik dan internasional. Secara domestik, walaupun tidak muncul upaya menggulingan atau protes terhadap ketidakberesan rejim Korea Utara menjalankan roda perekonomian oleh rakyatnya, namun kekhawatiran muncul justru kepada reaksi negara-negara luar yang menginginkan  runtuhnya rejim di Korea Utara.[8]
 Lemahnya perekonomian Korea Utara ditambah kelangkaan sumber daya energi ditakutkan oleh rejim di Pyongyang sebagai pemicu keruntuhan awal dari rejim yang berkuasa sejak tahun 1950-an. Dari sisi internasional, tindakan pengunduran diri sepihak yang dilakukan oleh Korea Utara dari NPT sebagai pemicu krisis menyebabkan perhatian dunia internasional tertuju kepada sikap selanjutnya dari Korea Utara, apakah Korea Utara akan membawa krisis nuklir tersebut menjadi semakin berlarut-larut dan bertindak tidak rasional atau menyelesaikan krisis tersebut dengan cara damai. Rejim Korea Utara menghadapi dilema apakah akan bersifat lebih bersahabat dalam menghadapi krisis nuklir di Semenanjung Korea atau semakin bersifat arogan dengan resiko ancaman keterpurukan ekonomi yang semakin dalam dan keruntuhan rejim.[9]
Oleh karenanya untuk untuk meredakan krisis nuklir yang muncul pada tahun 1994 di Semenanjung Korea maka jatuhlah pilihan untuk memberikan bantuan bagi Korea Utara. Sebenarnya bisa saja rejim di Pyongyang dibiarkan runtuh dengan sendirinya, mengingat kondisi  domestik Korea Utara yang menderita. Namun muncul kekhawatiran jika memang benar rejim di Korea Utara runtuh, maka bisa berakibat kepada melubernya arus pengungsian dari Korea Utara ke negara-negara sekitar.



Tidak ada komentar: