Implementasi
Agreed Framework sejak tahun 1994 mengalami kemunduran sejak tahun 2002. Hal
ini terjadi seiring dengan memburuknya hubungan diantara Korea Utara dan
Amerika Serikat, serta permasalahan-permasalahan lain terkait dengan program
nuklir Korea Utara. Implikasi dari kemunduran pelaksanaan kesepakatan ini
membawa akibat kepada kembali pecahnya krisis nuklir di Semenanjung Korea untuk
yang kedua kali pada tahun 2003. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya krisis nuklir tahun 2003. [1]
Pertama,
Hubungan antara Korea Utara dengan Amerika Serikat yang bersengketa tentang
permasalahan nuklir. Terganggunya hubungan antara Korea Utara dengan Amerika
Serikat dimulai ketika pada tanggal 6 Oktober 2002 kementrian luar negeri
Amerika Serikat mengeluarkan pernyataan bahwa Korea Utara memiliki program
rahasia pengayaan uranium untuk digunakan sebagai senjata nuklir. Pernyataan
ini ditindaklanjuti dengan dilakukannya pertemuan antara deputi Perdana Menteri
Luar Negeri Korea Utara, Kang Suk Joo, dengan asisten Menteri Luar Negeri
Amerika Serikat untuk Asia Timur dan Pasifik, James A. Kelly, di Pyongyang pada
tanggal 3-5 Oktober 2002. Dalan kunjungannya, James A. Kelly menginformasikan
kepada pemerintah Korea Utara bahwa Amerika Serikat telah mengetahui tentang
program rahasia pengayaan uranium Korea Utara. Menurutnya program rahasia Korea
Utara merupakan pelanggaran dari semangat perjanjian Agreed Framework yang
disetujui oleh Korea Utara dan Amerika Serikat pada tahun 1994.
Berdasarkan
perjanjian Agreed Framework tahun 1994, Korea Utara seharusnya membekukan
program nuklirnya dan sebagai kompensasi atas tindakan Korea Utara, maka
Amerika Serikat mengirim 500 ribu ton BBM ke Korea Utara sebagai pengganti
energi nuklir yang dibekukan. Pernyataan asisten Menlu Amerika Serikat dijawab
oleh utusan Korea Utara dengan mengatakan bahwa Korea Utara akan menghentikan
program pengayaan uraniumnya dengan syarat bahwa Amerika Serikat berjanji tidak
akan menyerang Korea Utara dan berkomitmen untuk melakukan normalisasi hubungan
kedua negara. Kang Suk Joo jugavmenambahkan bahwa Korea Utara berhak melakukan
penggembangan senjata nuklir. [2]
Munculnya
permasalahan program rahasia yang dilakukan oleh Korea Utara menimbulkan reaksi
dari KEDO. Berdasarkan kesepakatan bersama Dewan Eksekutif KEDO (Uni Eropa,
Jepang, Korea Selatan dan Amerika Serikat) mengeluarkan keputusan bahwa
pengiriman minyak ke Korea Utara akan ditundak sejak bulan Desember 2002. Kedua,
Munculnya insiden pencegatan kapal Sonsan milik Korea Utara oleh angkatan laut
Spanyol yang mengangkut paket rudal scud ke Yaman pada Desember 2002. Isu
nuklir Korea Utara semakin memanas ketika terjadi insiden pencegatan terhadap
kapal Sonsan milik Korea Utara oleh angkatan laut Spanyol ketika melakukan
pengiriman rudal scud ke Yaman.[3]
Pengiriman
rudal scud dari Korea Utara ke Yaman merupakan fakta bahwa Korea Utara melakukan
ekspor baik rudal balistik maupun teknologi pengembangan rudal terutama ke negara-negara
di Timur Tengah. Korea Utara telah melakukan ekspor rudal, komponen rudal dan teknologi
rudal ke Mesir, Iran, Libya, Pakistan, Suriah dan Yaman. Ketiga, Korea Utara
menyatakan keluarnya negara tersebut dari kesepakatan NPT pada Januari 2003.
Paska kunjungan asisten Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dan keputusan KEDO
untuk menghentikan pengiriman minyak ke Korea Utara, Korea Utara merespon
dengan tindakan yang tidak terduga. Korea Utara menanggapi situasi tersebut
dengan mengumumkan bahwa Korea Utara akan mengaktifkan kembali program
nuklirnya yang dibekukan pada tahun 1994. Pada tanggal 12 Desember 2002, Direktur
Jendral Departemen Energi Atom Korea Utara, Re Ji Son, mengirimkan surat kepada
Direktur Jendral IAEA, Mohammed El Baradi, yang berisi informasi bahwa Korea
Utara memutuskan untuk mengaktifkan dan menormalisasi kembali fasilitas nuklir
miliknya yang sempat di bekukan.
Pada
Desember 2002, Korea Utara mulai mengaktifkan kembali kompleks fasilitas nuklir
Yongbyon. Pada 22 Desember 2002, IAEA melaporkan bahwa Korea Utara melakukan pembukaan
kembali atas fasilitas nuklir, membuka segel dan kamera pengawas yang dipasang oleh
IAEA. Tanggal 23-24 Desember 2002, Korea Utara memindahkan semua peralatan monitoring
di komplek fasilitas Yongbyon. Tanggal 27 Desember 2002, Korea Utara memberitahukan
kepada IAEA melalui surat untuk menarik tim pengawasnya dari Korea Utara. Berdasarkan
keterangan Kementrian Luar Negeri Korea Utara, pengaktifan kembali fasilitas
nuklir adalah demi pemenuhan kebutuhan listrik setelah pengiriman minyak mentah
untuk kepentingan listrik dihentikan. Puncak dari krisis nuklir kedua di
Semenanjung Korea adalah ketika Korea Utara mengumumkan penarikan dirinya dari
NPT pada tanggal 10 Januari 2003. [4]
1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar