Senin, 05 Desember 2016

Krisis Nuklir Korea UtaraTahun 2003 (skripsi dan tesis)


Implementasi Agreed Framework sejak tahun 1994 mengalami kemunduran sejak tahun 2002. Hal ini terjadi seiring dengan memburuknya hubungan diantara Korea Utara dan Amerika Serikat, serta permasalahan-permasalahan lain terkait dengan program nuklir Korea Utara. Implikasi dari kemunduran pelaksanaan kesepakatan ini membawa akibat kepada kembali pecahnya krisis nuklir di Semenanjung Korea untuk yang kedua kali pada tahun 2003. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya krisis nuklir tahun 2003. [1]
Pertama, Hubungan antara Korea Utara dengan Amerika Serikat yang bersengketa tentang permasalahan nuklir. Terganggunya hubungan antara Korea Utara dengan Amerika Serikat dimulai ketika pada tanggal 6 Oktober 2002 kementrian luar negeri Amerika Serikat mengeluarkan pernyataan bahwa Korea Utara memiliki program rahasia pengayaan uranium untuk digunakan sebagai senjata nuklir. Pernyataan ini ditindaklanjuti dengan dilakukannya pertemuan antara deputi Perdana Menteri Luar Negeri Korea Utara, Kang Suk Joo, dengan asisten Menteri Luar Negeri Amerika Serikat untuk Asia Timur dan Pasifik, James A. Kelly, di Pyongyang pada tanggal 3-5 Oktober 2002. Dalan kunjungannya, James A. Kelly menginformasikan kepada pemerintah Korea Utara bahwa Amerika Serikat telah mengetahui tentang program rahasia pengayaan uranium Korea Utara. Menurutnya program rahasia Korea Utara merupakan pelanggaran dari semangat perjanjian Agreed Framework yang disetujui oleh Korea Utara dan Amerika Serikat pada tahun 1994.
Berdasarkan perjanjian Agreed Framework tahun 1994, Korea Utara seharusnya membekukan program nuklirnya dan sebagai kompensasi atas tindakan Korea Utara, maka Amerika Serikat mengirim 500 ribu ton BBM ke Korea Utara sebagai pengganti energi nuklir yang dibekukan. Pernyataan asisten Menlu Amerika Serikat dijawab oleh utusan Korea Utara dengan mengatakan bahwa Korea Utara akan menghentikan program pengayaan uraniumnya dengan syarat bahwa Amerika Serikat berjanji tidak akan menyerang Korea Utara dan berkomitmen untuk melakukan normalisasi hubungan kedua negara. Kang Suk Joo jugavmenambahkan bahwa Korea Utara berhak melakukan penggembangan senjata nuklir. [2]
Munculnya permasalahan program rahasia yang dilakukan oleh Korea Utara menimbulkan reaksi dari KEDO. Berdasarkan kesepakatan bersama Dewan Eksekutif KEDO (Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan dan Amerika Serikat) mengeluarkan keputusan bahwa pengiriman minyak ke Korea Utara akan ditundak sejak bulan Desember 2002. Kedua, Munculnya insiden pencegatan kapal Sonsan milik Korea Utara oleh angkatan laut Spanyol yang mengangkut paket rudal scud ke Yaman pada Desember 2002. Isu nuklir Korea Utara semakin memanas ketika terjadi insiden pencegatan terhadap kapal Sonsan milik Korea Utara oleh angkatan laut Spanyol ketika melakukan pengiriman rudal scud ke Yaman.[3]
Pengiriman rudal scud dari Korea Utara ke Yaman merupakan fakta bahwa Korea Utara melakukan ekspor baik rudal balistik maupun teknologi pengembangan rudal terutama ke negara-negara di Timur Tengah. Korea Utara telah melakukan ekspor rudal, komponen rudal dan teknologi rudal ke Mesir, Iran, Libya, Pakistan, Suriah dan Yaman. Ketiga, Korea Utara menyatakan keluarnya negara tersebut dari kesepakatan NPT pada Januari 2003. Paska kunjungan asisten Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dan keputusan KEDO untuk menghentikan pengiriman minyak ke Korea Utara, Korea Utara merespon dengan tindakan yang tidak terduga. Korea Utara menanggapi situasi tersebut dengan mengumumkan bahwa Korea Utara akan mengaktifkan kembali program nuklirnya yang dibekukan pada tahun 1994. Pada tanggal 12 Desember 2002, Direktur Jendral Departemen Energi Atom Korea Utara, Re Ji Son, mengirimkan surat kepada Direktur Jendral IAEA, Mohammed El Baradi, yang berisi informasi bahwa Korea Utara memutuskan untuk mengaktifkan dan menormalisasi kembali fasilitas nuklir miliknya yang sempat di bekukan.
Pada Desember 2002, Korea Utara mulai mengaktifkan kembali kompleks fasilitas nuklir Yongbyon. Pada 22 Desember 2002, IAEA melaporkan bahwa Korea Utara melakukan pembukaan kembali atas fasilitas nuklir, membuka segel dan kamera pengawas yang dipasang oleh IAEA. Tanggal 23-24 Desember 2002, Korea Utara memindahkan semua peralatan monitoring di komplek fasilitas Yongbyon. Tanggal 27 Desember 2002, Korea Utara memberitahukan kepada IAEA melalui surat untuk menarik tim pengawasnya dari Korea Utara. Berdasarkan keterangan Kementrian Luar Negeri Korea Utara, pengaktifan kembali fasilitas nuklir adalah demi pemenuhan kebutuhan listrik setelah pengiriman minyak mentah untuk kepentingan listrik dihentikan. Puncak dari krisis nuklir kedua di Semenanjung Korea adalah ketika Korea Utara mengumumkan penarikan dirinya dari NPT pada tanggal 10 Januari 2003. [4]


1

Tidak ada komentar: