Senin, 05 Desember 2016

Hubungan Diplomatik Taiwan-Cina (skripsi dan tesis)


Hubungan politik antara Cina-Taiwan banyak dipengaruhi oleh upaya reunifikasi oleh Pemerintah Cina dan upaya dari Taiwan sendiri untuk mendapatkan pengakuan sebagai negara berdaulat. Reunifikasi merupakan prioritas strategi komunis Cina dan dalam perkembangan upaya tersebut, Cina meskipun telah mengajukan kebijaksanaan mengenai “penyatuan kembali secara aman” dan “satu negara, dua sistem” namun melalui Undang-Undang Anti Pemisahan Cina tetap saja menegaskan bahwa mereka tidak akan menghapus penggunaan kekerasan militer untuk memperlancar upaya reunifikasi. Kenyataan tersebut dapat dilihat dari persiapan Cina mengadakan invasi ke Taiwan. Cina tidak hanya mengatur rencana akan invasi tersebut melainkan juga merencanakan kembali ragam cara yang digunakan serta memperlengkapi pasukan mereka sebagai persiapan invasi sehingga secara bersamaan waktu dengan penerapan kebijakan sasaran di bidang politik, diplomatik serta ekonomi.
Sejarah panjang hubungan diplomatik Cina-Taiwan dimulai ketika wilayah Taiwan terlepas dari kekuasaan Jepang yang sebelumnya menduduki Cina dan menghasilkan Perjanjian San Francisco 8 September 1951 di mana Jepang mengembalikan wilayah jajahannya kepada Taiwan. Jepang sebelumnya telah menduduki kepulauan Taiwan sejak 1895 hingga 1945. Pemerintah Cina kemudian mengambil alih Taiwan sejak tahun 1949 melalui perang sipil dan mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayah Cina[1]. Wilayah Taiwan sekarang secara de facto merupakan wilayah Republik Cina atau Taiwan.
Setelah Perang Dunia II, Perang Saudara Cina antara Partai Komunis Cina dan Kuomintang (KMT) berakhir pada 1949 dengan pihak komunis menguasai Cina Daratan dan Kuomintang menguasai Taiwan dan beberapa pulau-pulau lepas pantai di Fujian. Pada 1 Oktober 1949, Mao Zedong mendeklarasikan Republik Rakyat Cina dan mendirikan sebuah negara komunis sedangkan pemerintahan nasionalis KMT berpindah dari Cina karena telah kalah perang dari pasukan komunis. Ketika pemerintahan nasionalis KMT berpindah dari Cina karena kalah perang terhadap pasukan komunis, maka Chiang Kai Shek menerapkan sistem pemerintahan darurat dengan asas tunggal satu partai Kuomintang (KMT). Keadaan darurat ini guna mempersiapkan diri dalam merebut kembali daratan Tiongkok. Dalam situasi ini, terjadi pembatasan kegiatan pers politik dan pembungkaman kaum oposisi yang justru banyak berpengaruh di kalangan penduduk Taiwan asli. Keadaan ini berlaku sampai Chiang Kai Shek wafat.
Setelah Chiang Kai Shek wafat maka bentuk hubungan bilateral antara Cina-Taiwan juga mengalami perubahan seiring dengan pergantian pemimpin di Taiwan. Pada masa digantikannya Chiang Kai Shek oleh putranya yaitu Chiang Ching Kuo dan di bulan Juli 1987 pada masa pemerintahan Chiang Ching Kuo tersebut terjadi peristiwa yang menjadi dasar bagi kelangsungan demokrasi politik hingga sekarang yaitu dikeluarkannya keputusan yang menghapus semua larangan atas pendaftaran surat kabar baru serta memberikan iklim baru bagi kebebasan politik sehingga pada masa ini kebebasan pers, politik dan mengemukakan pendapat dibuka secara perlahan-lahan. Hal ini didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang luar biasa yang terjadi pada masa pemerintahan itu dan keputusan itu dibuat untuk menanggapi perubahan sosial yang terjadi akibat pertumbuhan ekonomi Taiwan yang sangat pesat  tersebut. Meskipun masih membawa kebijakan dari penguasa sebelumnya, Chiang Ching Kuo telah berusaha bersikap lebih realistis dengan situasi yang ada. Dia tidak ingin mewarisi pemerintahan yang otoriter.[2]
Pergantian kebijaksanaan ini telah menghasilkan bagian dari sederetan bentuk perubahan utama di negara Cina atas Taiwan. Pertumbuhan ekonomi yang luar biasa pada masa pemerintahan Chiang Ching Kuo ini memungkinkan Taiwan menjalin hubungan perdagangan termasuk dengan Cina sebagai salah satu cara menjalin hubungan luar negeri. Hubungan dagang yang dilakukan Taiwan dengan Cina sebelumnya yaitu pada sepanjang tahun 1970-an adalah di luar hukum dan berada dalam ukuran kecil tetapi seiring dengan diberikannya kemudahan serta apresiasi atas mata uang Taiwan maka perdagangan antara ke dua negara inipun berkembang dengan pesat hingga mencapai nilai 5 milyar dolar AS di tahun 1990 atau 142 kali nilai perdagangan pada tahun 1979[3].
Perubahan lainnya adalah terbentuknya pandangan baru mengenai Cina oleh masyarakat Taiwan. Beberapa bagian dari masyarakat Taiwan mengecilkan ancaman Cina sedangkan bagi beberapa bagian masyarakat lain menyadari bagaimana keluarga mereka menderita di bawah kekuasaan komunis Cina mendukung diadakan jarak terhadap anti upaya reunifikasi Cina.
Pemerintahan selanjutnya yaitu Lee Teng Hui (1988-2000) dari partai KMT memulai diwacanakannya kemerdekaan dengan nama Taiwan yang selama ini menggunakan nama Republik Cina dan menimbulkan ketegangan baru dengan Cina. Pemerintahan Lee Teng Hui juga mengeluarkan empat kebijaksanaan baru terhadap hubungan dengan Cina selain membentuk Komisi Masalah Daratan (Mainland Affairs Council). Keempat kebijaksanaan tersebut adalah; Pertama Taiwan mendorong partai komunis Cina untuk mengadakan perubahan menuju demokrasi politik. Kedua, Taiwan mendorong Cina mengembangkan sistem ekonomi liberal. Ketiga untuk menciptakan masyarakat Cina yang majemuk maka pemerintah Taiwan memberi semangat bagi kebebasan baik kebebasan berbicara, pers dan mimbar bagi masyarakat Cina dan keempat, Taiwan mendorong rakyat Cina untuk menggantikan ajaran Marxis-Lenin dengan ke tiga butir dasar pokok untuk rakyat seperti yang digariskan oleh Dr Sun Yat Sen. Perubahan ideologi ini justru semakin mendorong jarak antara Taiwan-Cina. Agar menjaga terhadap pergeseran ini, maka pemerintahan juga membentuk komisi tingkat kabinet agar upaya untuk memajukan demokrasi dan kebebasan di Cina semakin kondusif. Upaya pemerintahan ini menegaskan pula bahwa reunifikasi dimungkinkan berhasil jika ke empat kebijaksanaan Taiwan dapat dijalankan di Cina.
Upaya mendorong Cina melaksanakan empat kebijaksanaan baru termasuk untuk mendekati perantauan Cina di luar negeri. Perantauan Cina dianggap Taiwan sebagai salah satu kekuatan utama yang dapat diandalkan Taiwan[4]. Kedekatan ikatan antara perantauan Cina yang umumnya masih memelihara ikatan tanah tumpah darah dengan mengadakan kunjungan kembali kepada keluarga dan sahabat serta melakukan perdagangan merupakan kekuatan yang mampu mendorong Cina menuju perubahan ideologi, ekonomi dan semangat kebebasan.  Pendekatan Taiwan terhadap perantau Cina dilakukan dengan membentuk Komisi Masalah perantauan Cina yang salah satu tugasnya memberikan bantuan kepada organisasi dan kelompok Cina di seluruh dunia. Organisasi perantauan Cina ini dapat bersifat sosial, wilayah, keluarga atas dasar marga dan mereka yang merasa berkepentingan dengan masalah umum, masalah industri dan komersil, persoalan gender, anti komunis dan patriotis, kesehjateraaan umum, diplomasi antar rakyat atau budaya.
Dalam pemerintahan selanjutnya dijabat oleh Chen Shui-Bian perwakilan partai DPP. Chen Shui-bian membawa isu kemerdekaan Taiwan yang menghasilkan kemenangan sekaligus juga mencerminkan keinginan mayoritas rakyat Taiwan untuk menginginkan kemerdekaan. Kemenangan Chen Shui-bian diantisipasi pemerintah Cina dengan mengambil jalan tengah berupa kebijakan Satu Cina dengan dua sistem dimana seluruh wilayah Cina yang menyangkut Cina Daratan, Taiwan, Hongkong dan Macau hendak diintegrasikan dalam kesatuan wilayah sedangkan secara ekonomi menggunakan sistem sosialisme dan kapitalisme. Namun inti persoalan Taiwan-Cina yang tidak hanya menyangkut masalah penyatuan ke dua wilayah dalam satu pemerintahan Cina (Satu Negara Dua Sistem) namun juga menyangkut masalah ideologi, sosial dan politik selain faktor sejarah bahwa kaum Kuomintang di Taiwan merasa masih menjadi pemegang kekuasaan yang seharusnya di Cina namun terpaksa menyingkir dan melarikan diri ke Taiwan akibat kudeta komunis[5]. Sehingga upaya Cina dengan Satu Negara Dua Sistem pada akhirnya tidak menimbulkan perubahan yang berarti.
Langkah lain yang akan diambil Cina dalam menghadapi usaha pemisahan diri Taiwan diantaranya adalah memboikot keikutsertaan Taiwan sebagai tempat penyelenggaraan Olimpiade 2008 yang akan digelar di Beijing, menurunkan jumlah investasi luar negeri dan menurunkan derajat hubungan luar negara[6]
Isu kemerdekaan Taiwan dan mengadakan referendum yang dikampanyekan Chen Shui-Bian pada pemilihan umum 2004 kembali menghasilkan kemenangan tipis kembali  terhadap lawannya Lien Chan dari partai oposisi, Namun partai Chen, DPP kalah dalam perolehan suara di Parlemen oleh KMT sehingga partai oposisi memegang mayoritas.
Pada masa pemerintahan Chen Shui-bian inilah kekhawatiran Cina bahwa Taiwan benar-benar akan mewujudkan kemerdekaannya makin memuncak sehingga pemerintah Cina mengesahkan UU anti pemisahan. Pengesahan UU anti pemisahan oleh Kongres Rakyat Cina didukung keseluruhan suara yang ada (total suara yang ada sebanyak 2.896).
UU anti pemisahan ini berisikan bahwa hanya terdapat satu Cina sebagai satu kesatuan wilayah sehingga Cina menentang upaya Taiwan untuk memerdekakan diri. Penduduk Taiwan diharuskan ikut mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayah sesuai dengan tugas utama seperti penduduk Cina lainnya. Upaya reunifikasi Taiwan-Cina diupayakan tanpa konfrontasi demi menjaga stabilitas dan perdamaian di wilayah Taiwan-Cina. Setelah reunifikasi dapat dilangsungkan maka Taiwan dapat membentuk kembali sistem pemerintahan otonom. Namun apabila reunifikasi mengalami kegagalan maka Cina akan tetap mempertahankan kesatuan wilayah termasuk dengan penggunaan kekuatan militer bila memang diperlukan.
Presiden Chen Shui-bian menganggap bahwa pemberlakuan sepihak pemerintah Cina terhadap UU anti pemisahan Cina sebagai agresi. Dengan adanya UU ini maka Cina mengubah status quo Taiwan serta meningkatkan ketegangan kawasan selat Taiwan[7]. Tanggapan muncul dari rakyat Taiwan dengan menggelar unjuk rasa menentang UU anti pemisahan Cina. Masyarakat Taiwan memang mayoritas mendukung kemerdekaan sekaligus berupaya menghindarkan segala bentuk konfrontasi yang mengarah pengunaan militer sebagai jalan menuju reunifikasi.
Tanggapan parlemen Taiwan setelah dikeluarkannya formulasi Undang-Undang Anti Pemisahan adalah mengesahkan rancangan UU yang menginginkan pelaksanaan referendum, termasuk mengubah konsitusi dan sistem pertahanan Parlemen Taiwan mengesahkan rancangan UU ini pada tanggal 27 November 2005. Namun akhirnya parlemen terpaksa mengeluarkan klausul tentang kemungkinan untuk mengubah nama negara, bendera, dan simbol kenegaraan lainnya dan dicabutnya klausul yang menyangkut referendum karena dianggap provokatif dan memicu ketegangan yang lebih terhadap Cina.[8] 
Disisi lain Lien Chan serta kalangan oposisi lainnya, James Soong justru melakukan pendekatan diplomatik dengan RRC. Upaya ini dilakukan untuk mengurangi ketegangan Taiwan-Cina sehubungan dengan pengesahan UU anti pemisahan oleh Cina. Sejumlah pengamat dari Taiwan mengatakan bahwa kunjungan ini sebenarnya kunjungan yang sensitif, apalagi kunjungan dilakukan hanya dua hari setelah unjuk rasa menentang UU anti pemisahan dilakukan di Taiwan (26 Maret 2005)[9]. Namun tanpa dukungan pemerintahan Chen Sui Bian, kunjungan ini sebenarnya tidak memberikan hasil apapun bagi menurunnya ketegangan Taiwan-Cina.
Penggunaan senjata sebagai cara untuk melancarkan upaya reunifikasi Cina sebenarnya telah berlangsung sebelum pengesahan UU anti pemisahan. Pada tanggal 8 dan 13 Maret 1996 bertepatan dengan proses pemilihan presiden pada pemilu 1996, Cina mempersiapkan angkatan bersenjata dalam latihan perang persiapan menduduki Taiwan dan meluncurkan rudal dari wilayah Keelung dan Kaphsiung yang berada 55 kilometer dari perbatasan Cina-Taiwan. Intimidasi menggunakan latihan perang sebagai unjuk kekuatan bersenjata juga dilakukan Cina selama pemilihan presiden tahun 2000 dan 2004. Latihan-latihan perang ini makin memicu memanasnya hubungan Cina-Taiwan disetiap periodenya karena pemerintah Taiwan menganggap latihan perang ini tidak hanya sebagai upaya intimidasi terhadap wilayah Taiwan namun juga pada proses demokrasi.



Tidak ada komentar: