Hubungan politik antara Cina-Taiwan banyak
dipengaruhi oleh upaya reunifikasi oleh Pemerintah Cina dan upaya dari Taiwan sendiri
untuk mendapatkan pengakuan sebagai negara berdaulat. Reunifikasi merupakan
prioritas strategi komunis Cina dan dalam perkembangan upaya tersebut, Cina
meskipun telah mengajukan kebijaksanaan mengenai “penyatuan kembali secara
aman” dan “satu negara, dua sistem” namun melalui Undang-Undang Anti Pemisahan
Cina tetap saja menegaskan bahwa mereka tidak akan menghapus penggunaan
kekerasan militer untuk memperlancar upaya reunifikasi. Kenyataan tersebut
dapat dilihat dari persiapan Cina mengadakan invasi ke Taiwan . Cina
tidak hanya mengatur rencana akan invasi tersebut melainkan juga merencanakan
kembali ragam cara yang digunakan serta memperlengkapi pasukan mereka sebagai
persiapan invasi sehingga secara bersamaan waktu dengan penerapan kebijakan
sasaran di bidang politik, diplomatik serta ekonomi.
Sejarah panjang hubungan diplomatik
Cina-Taiwan dimulai ketika wilayah Taiwan terlepas dari kekuasaan
Jepang yang sebelumnya menduduki Cina dan menghasilkan Perjanjian San Francisco
8 September 1951 di mana Jepang mengembalikan wilayah jajahannya kepada Taiwan . Jepang
sebelumnya telah menduduki kepulauan Taiwan sejak 1895 hingga 1945.
Pemerintah Cina kemudian mengambil alih Taiwan sejak tahun 1949 melalui
perang sipil dan mengklaim Taiwan
sebagai bagian dari wilayah Cina[1].
Wilayah Taiwan
sekarang secara de facto merupakan
wilayah Republik Cina atau Taiwan .
Setelah Perang Dunia II, Perang
Saudara Cina antara Partai Komunis Cina dan Kuomintang (KMT) berakhir pada 1949
dengan pihak komunis menguasai Cina Daratan dan Kuomintang menguasai Taiwan dan
beberapa pulau-pulau lepas pantai di Fujian. Pada 1 Oktober 1949, Mao Zedong
mendeklarasikan Republik Rakyat Cina dan mendirikan sebuah negara komunis
sedangkan pemerintahan nasionalis KMT berpindah dari Cina karena telah kalah
perang dari pasukan komunis. Ketika pemerintahan nasionalis KMT berpindah dari Cina
karena kalah perang terhadap pasukan komunis, maka Chiang Kai Shek menerapkan
sistem pemerintahan darurat dengan asas tunggal satu partai Kuomintang (KMT).
Keadaan darurat ini guna mempersiapkan diri dalam merebut kembali daratan
Tiongkok. Dalam situasi ini, terjadi pembatasan kegiatan pers politik dan
pembungkaman kaum oposisi yang justru banyak berpengaruh di kalangan penduduk Taiwan asli.
Keadaan ini berlaku sampai Chiang Kai Shek wafat.
Setelah Chiang Kai Shek wafat maka
bentuk hubungan bilateral antara Cina-Taiwan juga mengalami perubahan seiring
dengan pergantian pemimpin di Taiwan .
Pada masa digantikannya Chiang Kai Shek oleh putranya yaitu Chiang Ching Kuo
dan di bulan Juli 1987 pada masa pemerintahan Chiang Ching Kuo tersebut terjadi
peristiwa yang menjadi dasar bagi kelangsungan demokrasi politik hingga
sekarang yaitu dikeluarkannya keputusan yang menghapus semua larangan atas
pendaftaran surat kabar baru serta memberikan iklim baru bagi kebebasan politik
sehingga pada masa ini kebebasan pers, politik dan mengemukakan pendapat dibuka
secara perlahan-lahan. Hal ini didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang luar
biasa yang terjadi pada masa pemerintahan itu dan keputusan itu dibuat untuk
menanggapi perubahan sosial yang terjadi akibat pertumbuhan ekonomi Taiwan yang
sangat pesat tersebut. Meskipun masih
membawa kebijakan dari penguasa sebelumnya, Chiang Ching Kuo telah berusaha
bersikap lebih realistis dengan situasi yang ada. Dia tidak ingin mewarisi
pemerintahan yang otoriter.[2]
Pergantian kebijaksanaan ini telah
menghasilkan bagian dari sederetan bentuk perubahan utama di negara Cina atas Taiwan .
Pertumbuhan ekonomi yang luar biasa pada masa pemerintahan Chiang Ching Kuo ini
memungkinkan Taiwan
menjalin hubungan perdagangan termasuk dengan Cina sebagai salah satu cara
menjalin hubungan luar negeri. Hubungan dagang yang dilakukan Taiwan dengan
Cina sebelumnya yaitu pada sepanjang tahun 1970-an adalah di luar hukum dan
berada dalam ukuran kecil tetapi seiring dengan diberikannya kemudahan serta
apresiasi atas mata uang Taiwan maka perdagangan antara ke dua negara inipun
berkembang dengan pesat hingga mencapai nilai 5 milyar dolar AS di tahun 1990
atau 142 kali nilai perdagangan pada tahun 1979[3].
Perubahan lainnya adalah terbentuknya
pandangan baru mengenai Cina oleh masyarakat Taiwan . Beberapa bagian dari
masyarakat Taiwan mengecilkan ancaman Cina sedangkan bagi beberapa bagian
masyarakat lain menyadari bagaimana keluarga mereka menderita di bawah
kekuasaan komunis Cina mendukung diadakan jarak terhadap anti upaya reunifikasi
Cina.
Pemerintahan selanjutnya yaitu Lee
Teng Hui (1988-2000) dari partai KMT memulai diwacanakannya kemerdekaan dengan
nama Taiwan
yang selama ini menggunakan nama Republik Cina dan menimbulkan ketegangan baru
dengan Cina. Pemerintahan Lee Teng Hui juga mengeluarkan empat kebijaksanaan
baru terhadap hubungan dengan Cina selain membentuk Komisi Masalah Daratan (Mainland Affairs Council). Keempat
kebijaksanaan tersebut adalah; Pertama Taiwan
mendorong partai komunis Cina untuk mengadakan perubahan menuju demokrasi
politik. Kedua , Taiwan
mendorong Cina mengembangkan sistem ekonomi liberal. Ketiga untuk menciptakan
masyarakat Cina yang majemuk maka pemerintah Taiwan memberi semangat bagi
kebebasan baik kebebasan berbicara, pers dan mimbar bagi masyarakat Cina dan
keempat, Taiwan mendorong rakyat Cina untuk menggantikan ajaran Marxis-Lenin
dengan ke tiga butir dasar pokok untuk rakyat seperti yang digariskan oleh Dr
Sun Yat Sen. Perubahan ideologi ini justru semakin mendorong jarak antara
Taiwan-Cina. Agar menjaga terhadap pergeseran ini, maka pemerintahan juga
membentuk komisi tingkat kabinet agar upaya untuk memajukan demokrasi dan
kebebasan di Cina semakin kondusif. Upaya pemerintahan ini menegaskan pula
bahwa reunifikasi dimungkinkan berhasil jika ke empat kebijaksanaan Taiwan dapat
dijalankan di Cina.
Upaya mendorong Cina melaksanakan
empat kebijaksanaan baru termasuk untuk mendekati perantauan Cina di luar
negeri. Perantauan Cina dianggap Taiwan sebagai salah satu kekuatan
utama yang dapat diandalkan Taiwan [4].
Kedekatan ikatan antara perantauan Cina yang umumnya masih memelihara ikatan
tanah tumpah darah dengan mengadakan kunjungan kembali kepada keluarga dan
sahabat serta melakukan perdagangan merupakan kekuatan yang mampu mendorong
Cina menuju perubahan ideologi, ekonomi dan semangat kebebasan. Pendekatan Taiwan terhadap perantau Cina
dilakukan dengan membentuk Komisi Masalah perantauan Cina yang salah satu
tugasnya memberikan bantuan kepada organisasi dan kelompok Cina di seluruh
dunia. Organisasi perantauan Cina ini dapat bersifat sosial, wilayah, keluarga
atas dasar marga dan mereka yang merasa berkepentingan dengan masalah umum,
masalah industri dan komersil, persoalan gender, anti komunis dan patriotis, kesehjateraaan
umum, diplomasi antar rakyat atau budaya.
Dalam pemerintahan selanjutnya dijabat
oleh Chen Shui-Bian perwakilan partai DPP. Chen Shui-bian membawa isu
kemerdekaan Taiwan yang menghasilkan kemenangan sekaligus juga mencerminkan
keinginan mayoritas rakyat Taiwan untuk menginginkan kemerdekaan. Kemenangan
Chen Shui-bian diantisipasi pemerintah Cina dengan mengambil jalan tengah berupa
kebijakan Satu Cina dengan dua sistem dimana seluruh wilayah Cina yang
menyangkut Cina Daratan, Taiwan, Hongkong dan Macau hendak diintegrasikan dalam
kesatuan wilayah sedangkan secara ekonomi menggunakan sistem sosialisme dan
kapitalisme. Namun inti persoalan Taiwan-Cina yang tidak hanya menyangkut
masalah penyatuan ke dua wilayah dalam satu pemerintahan Cina (Satu Negara Dua
Sistem) namun juga menyangkut masalah ideologi, sosial dan politik selain
faktor sejarah bahwa kaum Kuomintang di Taiwan merasa masih menjadi pemegang
kekuasaan yang seharusnya di Cina namun terpaksa menyingkir dan melarikan diri
ke Taiwan akibat kudeta komunis[5].
Sehingga upaya Cina dengan Satu Negara Dua Sistem pada akhirnya tidak
menimbulkan perubahan yang berarti.
Langkah lain yang akan diambil Cina
dalam menghadapi usaha pemisahan diri Taiwan diantaranya adalah memboikot
keikutsertaan Taiwan
sebagai tempat penyelenggaraan Olimpiade 2008 yang akan digelar di Beijing,
menurunkan jumlah investasi luar negeri dan menurunkan derajat hubungan luar
negara[6]
Isu kemerdekaan Taiwan dan mengadakan
referendum yang dikampanyekan Chen Shui-Bian pada pemilihan umum 2004 kembali menghasilkan
kemenangan tipis kembali terhadap
lawannya Lien Chan dari partai oposisi, Namun partai Chen, DPP kalah dalam
perolehan suara di Parlemen oleh KMT sehingga partai oposisi memegang
mayoritas.
Pada masa pemerintahan Chen Shui-bian
inilah kekhawatiran Cina bahwa Taiwan
benar-benar akan mewujudkan kemerdekaannya makin memuncak sehingga pemerintah
Cina mengesahkan UU anti pemisahan. Pengesahan UU anti pemisahan oleh Kongres Rakyat
Cina didukung keseluruhan suara yang ada (total suara yang ada sebanyak 2.896).
UU anti pemisahan ini berisikan bahwa
hanya terdapat satu Cina sebagai satu kesatuan wilayah sehingga Cina menentang
upaya Taiwan
untuk memerdekakan diri. Penduduk Taiwan diharuskan ikut mempertahankan
kedaulatan dan keutuhan wilayah sesuai dengan tugas utama seperti penduduk Cina
lainnya. Upaya reunifikasi Taiwan-Cina diupayakan tanpa konfrontasi demi
menjaga stabilitas dan perdamaian di wilayah Taiwan-Cina. Setelah reunifikasi
dapat dilangsungkan maka Taiwan
dapat membentuk kembali sistem pemerintahan otonom. Namun apabila reunifikasi
mengalami kegagalan maka Cina akan tetap mempertahankan kesatuan wilayah
termasuk dengan penggunaan kekuatan militer bila memang diperlukan.
Presiden Chen Shui-bian menganggap
bahwa pemberlakuan sepihak pemerintah Cina terhadap UU anti pemisahan Cina
sebagai agresi. Dengan adanya UU ini maka Cina mengubah status quo Taiwan serta
meningkatkan ketegangan kawasan selat Taiwan [7].
Tanggapan muncul dari rakyat Taiwan
dengan menggelar unjuk rasa menentang UU anti pemisahan Cina. Masyarakat Taiwan memang
mayoritas mendukung kemerdekaan sekaligus berupaya menghindarkan segala bentuk
konfrontasi yang mengarah pengunaan militer sebagai jalan menuju reunifikasi.
Tanggapan parlemen Taiwan setelah
dikeluarkannya formulasi Undang-Undang Anti Pemisahan adalah mengesahkan
rancangan UU yang menginginkan pelaksanaan referendum, termasuk mengubah konsitusi
dan sistem pertahanan Parlemen Taiwan mengesahkan rancangan UU ini pada tanggal
27 November 2005. Namun akhirnya parlemen terpaksa mengeluarkan klausul tentang
kemungkinan untuk mengubah nama negara, bendera, dan simbol kenegaraan lainnya
dan dicabutnya klausul yang menyangkut referendum karena dianggap provokatif
dan memicu ketegangan yang lebih terhadap Cina.[8]
Disisi lain Lien Chan serta kalangan
oposisi lainnya, James Soong justru melakukan pendekatan diplomatik dengan RRC.
Upaya ini dilakukan untuk mengurangi ketegangan Taiwan-Cina sehubungan dengan
pengesahan UU anti pemisahan oleh Cina. Sejumlah pengamat dari Taiwan mengatakan
bahwa kunjungan ini sebenarnya kunjungan yang sensitif, apalagi kunjungan
dilakukan hanya dua hari setelah unjuk rasa menentang UU anti pemisahan
dilakukan di Taiwan
(26 Maret 2005)[9]. Namun
tanpa dukungan pemerintahan Chen Sui Bian, kunjungan ini sebenarnya tidak
memberikan hasil apapun bagi menurunnya ketegangan Taiwan-Cina.
Penggunaan senjata sebagai cara untuk
melancarkan upaya reunifikasi Cina sebenarnya telah berlangsung sebelum
pengesahan UU anti pemisahan. Pada tanggal 8 dan 13 Maret 1996 bertepatan
dengan proses pemilihan presiden pada pemilu 1996, Cina mempersiapkan angkatan
bersenjata dalam latihan perang persiapan menduduki Taiwan dan meluncurkan rudal dari
wilayah Keelung
dan Kaphsiung yang berada 55 kilometer dari perbatasan Cina-Taiwan. Intimidasi
menggunakan latihan perang sebagai unjuk kekuatan bersenjata juga dilakukan
Cina selama pemilihan presiden tahun 2000 dan 2004. Latihan-latihan perang ini
makin memicu memanasnya hubungan Cina-Taiwan disetiap periodenya karena
pemerintah Taiwan
menganggap latihan perang ini tidak hanya sebagai upaya intimidasi terhadap
wilayah Taiwan
namun juga pada proses demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar