Semenjak
berdirinya pada tahun 1959 kelompok ETA tidak pernah melakukan aksi-aksi
kekerasannya didaratan Perancis. Mereka hanya menjadikan wilayah Basque di
Perancis sebagai tempat pelarian dari buruan otoritas keaman Spanyol selain itu
mereka juga menjadikan wilayah tersebut sebagai markas sebelum melakukan
aksi-aksi kekerasan di Spanyol.
Dalam
kurun waktu 1959 sampai menjelang akhir tahun 1980, kelompok ETA tidak
sekalipun melakukan aksi kekerasan mereka di wilayah Basque yang terletak di
Perancis. Namun hal ini kemudian mengalami perubahan setelah memasuki tahun
1990 -an. Pada 1990 polisi menggunakan gas air mata untuk membubarkan kerumunan
1500 nasionalis Basque setelah membakar bendera Perancis dan Spanyol dalam
perayaan nasional tahunan Basque. Selain itu di tahun yang sama kelompok
teroris IK (Ipartarrak) yang juga merupakan bagian dari ETA mencoba
mengintensifkan aksi kekerasannya. Ditahun 1991 IK mengklaim bertanggung jawab
atas serangkaian bom di tempat wisata di barat daya Perancis, selain itu pada
September 1991 dan oktober 1999 IK berturut-turt melakukan aksi serangan bom di
wilayah Bayonne.[1]
Pada
tahun 1992 IK kemudian mendapatkan pukulan telak menyusul ditangkapnya beberapa
anggota mereka dan kemudian dilarang memasuki wilayah Basque Perancis selama 2
tahun, selain itu pemimpin IK yang yang ditangkap kemudian dijatuhi hukuman
penjara seumur hidup. Menanggapai hal tersebut ratusan warga Basque di Perancis
kemudian memprotes keputusan tersebut meskipun otoritas Perancis pada akhirnya
tidak mengubah keputusannya.
Pemberian
hukuman penjara seumur hidup terhadap pimpinan IK membuat anggotanya kemudian
melancarkan aksi kekerasannya dengan melakukan serangkaian aksi serangan bom
diantaranya, serangan bom di paris pada awal 1993, peledakan pipa gas yang
menghubungkan Spanyol dan Perancis, pengeboman sebuah kereta dan kantor pos
didekat perbatasan Spanyol-Perancis. Sebagai imbas dari serangkaian aksi
kekerasan tersebut kepolisian Perancis sedikitnya menangkap 20 orang anggota
kelompok IK.
Pasca
penangkapan beberapa anggota kelompok IK ditahun 1993, aksi-aksi kekerasan yang
terjadi di perbatasan antara Perancis dan Spanyol diwilayah Basque mengalami
peningkatan. Dalam kurun waktu 1994 sampai 1999 setidaknya terjadi ± 7 kali aksi serangan bom serta ± 200 anggota
ETA dan IK ditangkap oleh otoritas kepolisian Perancis. Memasuki awal abad ke
-21 pergerakan kelompok IK dan ETA di Perancis seolah-olah lenyap, hal ini
dipengaruhi besar atas kerjasama kontra-teroris yang dilakukan oleh Spanyol dan
Perancis. Sejak adanya kerjasama kontra-teroris antara Spanyol dan Perancis,
kepolisian Perancis setidaknya telah menangkap 37 anggota kelompok ETA yang
berada di wilayah Basque Perancis.
Rentetan
sejarah panjang perlawanan kelompok ETA dalam memperjuangkan Basque Country
pada akhirnya membuat stabilitas keamanan di Spanyol pada khususnya semakin
mengkhawatirkan karena memecah konflik yang kemudian menjadi beberapa aktor
yang memiliki kepentingan berbeda. Setidaknya ada tiga pihak dalam konflik
Basque ini; Kelompok ETA, Spanyol dan Perancis. Dimana ketiga pihak ini
memiliki mempunyai tujuan yang berbeda dalam melihat konflik tersebut. Kelompok
ETA lebih melihat konflik ini sebagai suatu perjuangan nasionalisme untuk
mendapatkan kemerdekaan bangsa Basque sedangkan Spanyol dan Perancis lebih
melihat bagaimana cara mereka untuk mempertahankan kedaulatan mereka agar
provinsi Basque di masing-masing negara tetap berada dibawah wilayah
territorial mereka.[2]
Jika
ditelaah lebih dalam rentetan aksi-aksi teror yang dilakukan oleh kelompok ETA
dalam rangka mencapai tujuan politik mereka, ada semacam penggunaan logika
terbalik dalam politik pencitraannya, antara lain : Pertama, Memperoleh
konsesi-konsesi tertentu, seperti uang tebusan, pembebasan tahanan (politik)
serta penyebarluasan pesan. Kedua, Memperoleh publisitas luas. Teroris ingin
menarik perhatian masyarakat luas kepada aspirasi perjuangan dan pengakuan
terhadap eksistensinya sebagai pihak yang bersengketa. Ketiga, Menimbulkan
kekacauan luas, demoralisasi, dan disfungsi sistem sosial. Keempat, Memancing
kontrateror dari pemerintah sehingga menimbulkan situasi yang akan dapat
menguntungkan teroris tersebut sehingga semakin mempermudah untuk mencapai
tujuan politik teroris tersebut. Kelima, memaksakan suatu kondisi yang
seolah-olah pemerintah melakukan aksi teror terhadap masyarakatnya sendiri guna
untuk memberantas aksi-aksi teror mereka.[3]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar