Istilah penjara
menurut Poernomo dalam Nasution dinyatakan bahwa penjara sebagai tempat
(lembaga) memidana seorang terpidana yang sudah dikenal di Indonesia sejak
tahun 1873. Dinyatakan pula bahwa penjara dianggap kejam dan ganas karena
sistem pemidanaan yang dilaksanakan mencakup pula pidana kerja paksa dan pidana
fisik. Para terpidana dan narapidana tersebut sekaligus juga mengalami
pengasingan dari lingkungan masyarakat, sehingga mengalami isolasi sosial
secara total (Poerwadarminto. 1985).
Dalam hal
pendekatan yang digunakan, pelaksanaan pidana penjara menggunakan pendekatan
pains of imprisonment sebagai method of punishment, sehingga terpidana
dijadikan obyek dari pembalasan masyarakat agar jera dan tidak melanggar hukum
lagi.
Sistem
kepenjaraan bukan hanya penyiksaan fisik saja, namun juga terdapat lima
kehilangan, yang dikenal dengan lima macam kesakitan yang tidak manusiawi yang mengakibatkan hal yang
lebih buruk dibanding seseorang sebelum masuk penjara. Kelima kesakitan
tersebut adalah kehilangan kemerdekaan sebagai manusia bebas (loss of liberty), kehilangan otonomi
untuk menentukan ruang gerak (loss of
outonomy), kehilangan memiliki rasa aman (loss of security), dan kehilangan hubungan bergaul dengan lawan
jenis (loss of heterosexual and
relationship), serta kehilangan pekerjaan dan pilihan pelayanan (loss of goods and sevices) (Bambang.
1986).
Sejak tahun 1964
terjadi perubahan sistem yang diterapkan di Penjara, dimana sebelumnya dikenal
dengan nama penjara dengan menggunakan sistem kepenjaraan, dan sejak tahun
tersebut berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan, dengan perubahan seluruh
sistem pembinaan terhadap narapidana. Sistem baru tersebut dikenal dengan
sistem pemasyarakatan.
Sistem pemasyarakatan
adalah merupakan rangkaian penegakan hukum yang bertujuan agar supaya WBP
menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana,
sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif
berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang
baik dan bertanggung jawab. Sistem pemasyarakatan berfungsi untuk menyiapkan WBP
agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan
kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.
Dengan demikian
terdapat perbedaan pelaksanaan antara system pemasyarakatan dengan sistem
kepenjaraan. Sistem kepenjaraan menekankan pada unsur balas dendam dan
penjeraan terhadap individu yang melakukakan pelanggaran hukum serta bukan
hanya merampas hilang kemerdekaannya tetapi juga merampas semua hak-haknya
sebagai individu manusia dan menggunakan sistem tertutup yaitu menjauhkan
narapidana dari masyarakat luar dan memutuskan hubungan dengan masyarakat.
Pemikiran-pemikiran baru yang mencegah pengulangan tindak kejahatan dan
memperbaiki pelaku kejahatan, maka lahirilah suatu sistem pembinaan yang
dikenal dengan Sistem Pemasyarakatan
(Has Sanusi. 1994 ).
Pemasyarakatan
adalah suatu proses therapeutics yang sejak itu narapidana lalu mengalami
pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan asas kemanusiaan. Pemasyarakatan
didefinisikan sebagai kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan
Pemasyarakatan (WBP) berdasarkan sistem kelembagaan dan cara pembinaan yang
merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana
Adapun
pemasyarakatan sebagai suatu sistem dinyatakan oleh Muladi yaitu bahwa istilah
pemasyarakatan dapat dilihat sebagai sistem, dalam arti metode atau sistem
yaitu kerjasama antara bagian-bagian sistem (sub sistem) dalam rangka
pencapaian tujuan tertentu. Dalam sistem
pemasyarakatan terdapat unsur-unsur yang berperan di dalamnya, unsur-unsur
tersebut dikemukakan oleh Atmasasmita dan Ahmad yaitu petugas lembaga,
narapidana (klien pemasyarakatan) dan masyarakat. Selanjutnya dikatakan bahwa ketiga unsur
tersebut merupakan suatu hubungan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu
sama lainnya. Sistem Pemayarakatan merupakan sekumpulan dari beberapa sub
sistem dalam pembinaan individu pelanggar hukum dimana unsur-unsur tersebut merupakan
satu kesatuan yang saling berpengaruh dan tidak dapat dipisahkan, unsur-unsur
tersebut yaitu : 31
a. Narapidana
haruslah diupayakan untuk secara iklhlas dan terbuka untuk menerima pengaruh
dari proses pembinaan yang dilakukan, bahwa pembinaan adalah untuk kebaikan dan
kepentingan mereka sendiri, keluarga, dan masyarakat , serta demi masa
depannya.
b. Petugas
pemasyarakatan dituntut mempunyai kesadaran yang tugas pembinaan tinggi atas
tanggungjawab dan juga kesadaran moral terhadap narapidana.
c. Masyarakat
mempunyai peranan penting dalam mengadakan kerjasama pembinaan karena
masyarakat bagian dari pada kehidupan individu berinteraksi setelah setelah
hidup bebas, sehingga dapat menerima terpidana sebagai anggota warga masyarakat
dengan baik (Muladi. 1994).
Dalam hal
pelaksanaan pidana penjara dengan system pemasyarakatan, Purnomo menyatakan
bahwa pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan adalah proses
konversi yang merupakan salah satu bagian dalam kegiatan tata usaha negara dan
terdiri atas komponen bahan masukan, hasil keluaran, instrumen proses,
lingkungan proses dan umpan balik yang mengadakan interrelasi serta interaksi
satu sama lain.
Jadi Sistem
pemasyarakatan adalah proses konversi yang merupakan salah satu bagian dalam
kegiatan tata usaha negara dan terdiri atas komponen bahan masukan, instrumen
proses, hasil keluaran, lingkungan proses dan umpan balik yang mengadakan
interrelasi serta interaksi satu sama lain.
Sistem
pemasyarakatan melaksanakan pembinaan dengan system terbuka dengan melibatkan
masyarakat dalam pembinaannya maka Sistem pemasyarakatan berfungsi untuk
menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat
dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat
yang bebas dan bertanggung jawab.
Sedangkan
Saharjo dalam Hamzah dan Rahayu mengemukakan pemikiran pembinaan narapidana
maupun anak didik berdasarkan system pemasyarakatan yang tertuang ke dalam
Sepuluh butir Prinsip Pemasyarakatan yaitu
:
1.
Ayomi dan berikan bekal hidup agar
mereka dapat menjalankan peranan sebagai warga masyarakat yang baik dan
berguna.
2.
Penjatuhan pidana tidak lagi didasari
oleh latar belakang pembalasan.
3.
Berikan bimbingan bukan penyiksaan
supaya mereka bertobat.
4.
Negara tidak berhak membuat mereka
menjadi lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum dijatuhi pidana.
5.
Selama kehilangan (dibatasi) kemerdekaan
bergeraknya para narapidana dan anak didik tidak boleh diasingkan dari
masyarakat.
6.
Pekerjaan yang diberikan kepada
narapidana anak didik tidak boleh bersifat sekedar pengisi waktu.
7.
Pembinaan dan bimbingan yang diberikan
kepada narapidana dan anak didik adalah berdasarkan Pancasila.
8.
Narapidana dan anak didik bagaikan orang
sakit perlu diobati agar mereka sadar bahwa pelanggaran hukum yang pernah
dilakukannya adalah merusak dirinya, keluarga dan lingkungannya, kemudian
dibina dan dibimbing ke jalan yang benar.
9.
Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi
pidana berupa membatasi kemerdekaannya dalam jangka waktu tertentu.
10. Untuk
pembinaan dan bimbingan para narapidana dan anak didik, maka disediakan sarana
yang diperlukan Hamzah, A. dan Siti Rahayu. 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar