Rabu, 16 November 2016

Pengaturan perlindungan konsumen dalam Undang-undang No.8 tahun 1999 (skripsi dan tesis)


           Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dibentuk dan diberlakukan di masyarakat sebagai wujud keperdulian pemerintah terhadap kepentingan konsumen yang kerap kali diperlakukan secara tidak adil oleh para pelaku usaha. Pasal 1 angka 1 Undang-undang Perlindungan Konsumen memberikan batasan pengertian perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.  Dalam kasus mengenai adanya tagihan atas transaksi yang tidak dilakukan konsumen / pemegang kartu kredit atau permasalahan lain yang sejenis dengan hal ini tidak diatur secara jelas dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu adanya kesulitan dalam hal pembuktian kebenaran pihak konsumen juga menjadi kendala yang mempersulit kedudukan konsumen karena tidak adanya akses terhadap teknologi yang dipakai dalam bisnis kartu kredit ini.
           Pihak bank tetap berpegang pada adanya bukti transaksi dari penjual untuk menagih pada konsumen / pemegang kartu kredit.  Hanya saja pada pasal 28 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah ditetapkan mengenai beban pembuktian terhadap adanya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha yang dalam hal ini adalah pihak penerbit kartu kredit tersebut.  Demikian pula dalam pasal 4 huruf e Undang-undang No. 8 Tahun 1999 yang mengatur tentang hak konsumen untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Serta pada pasal 4 huruf g yang mengatur tentang hak konsumen untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
             Satu-satunya yang bisa digunakan sebagai landasan hukum mengenai hubungan hukum yang timbul akibat dari penggunaan kartu kedit ini adalah perjanjian-perjanjian para pihak yang terkait dengan penggunaan kartu kredit tersebut. Sistem hukum di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak (sebagaimana terdapat dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata), pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata tersebut menyebutkan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Dengan demikian perjanjian yang dibuat berkaitan dengan penggunaan kartu kredit, selama tidak bertentangan dengan hukum atau kebiasaan yang berlaku maka perjanjian tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang terkait.
           Sekalipun asas kebebasan berkontrak yang diakui oleh KUH Perdata hakekatnya banyak dibatasi oleh KUH Perdata itu sendiri, tetapi daya kerjanya masih sangat longgar.  Kelonggaran ini telah menimbulkan ketimpangan -ketimpangan dan ketidakadilan bila para pihak yang membuat perjanjian tidak sama kuat kedudukannya atau mempunyai bargaining position yang sama ( Sutan Remy Sjahdeini, 1993:49 ).

Tidak ada komentar: