Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dibentuk
dan diberlakukan di masyarakat sebagai wujud keperdulian pemerintah terhadap
kepentingan konsumen yang kerap kali diperlakukan secara tidak adil oleh para
pelaku usaha. Pasal 1 angka 1 Undang-undang Perlindungan Konsumen memberikan
batasan pengertian perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Dalam kasus mengenai adanya tagihan atas
transaksi yang tidak dilakukan konsumen / pemegang kartu kredit atau
permasalahan lain yang sejenis dengan hal ini tidak diatur secara jelas dalam
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu adanya
kesulitan dalam hal pembuktian kebenaran pihak konsumen juga menjadi kendala
yang mempersulit kedudukan konsumen karena tidak adanya akses terhadap
teknologi yang dipakai dalam bisnis kartu kredit ini.
Pihak bank tetap berpegang pada adanya bukti transaksi dari penjual
untuk menagih pada konsumen / pemegang kartu kredit. Hanya saja pada pasal 28 Undang-undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah ditetapkan mengenai beban
pembuktian terhadap adanya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi merupakan
beban dan tanggung jawab pelaku usaha yang dalam hal ini adalah pihak penerbit
kartu kredit tersebut. Demikian pula
dalam pasal 4 huruf e Undang-undang No. 8 Tahun 1999 yang mengatur tentang hak
konsumen untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut. Serta pada pasal 4 huruf g yang
mengatur tentang hak konsumen untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif.
Satu-satunya
yang bisa digunakan sebagai landasan hukum mengenai hubungan hukum yang timbul
akibat dari penggunaan kartu kedit ini adalah perjanjian-perjanjian para pihak
yang terkait dengan penggunaan kartu kredit tersebut. Sistem hukum di Indonesia
menganut asas kebebasan berkontrak (sebagaimana terdapat dalam pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata), pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata tersebut menyebutkan bahwa
setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
yang membuatnya. Dengan demikian perjanjian yang dibuat berkaitan dengan
penggunaan kartu kredit, selama tidak bertentangan dengan hukum atau kebiasaan
yang berlaku maka perjanjian tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi para
pihak yang terkait.
Sekalipun asas kebebasan berkontrak yang diakui oleh KUH Perdata
hakekatnya banyak dibatasi oleh KUH Perdata itu sendiri, tetapi daya kerjanya
masih sangat longgar. Kelonggaran ini
telah menimbulkan ketimpangan -ketimpangan dan ketidakadilan bila para pihak
yang membuat perjanjian tidak sama kuat kedudukannya atau mempunyai bargaining position yang sama ( Sutan
Remy Sjahdeini, 1993:49 ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar