Bahasa
Jawa merupakan bahasa pertama penduduk Jawa yang tinggal di Propinsi Jawa
Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Lampung, sekitar Medan,
daerah-daerah transmigrasi di Indonesia diantaranya sebagian Propinsi Tiau,
Jambi, Kalimantan Tengah dan beberapa tempat di luar negeri yaitu Suriname,
Belanda, New Caledonia dan Pantai Barat Johor. Jumlah penuturnya sekarang
sekitar 75,5 juta. Di dunia terdapat 6.703 bahasa dan Bahasa Jawa menempati
urutan ke 11 dalam hal jumlah penutur terbanyak (Wedhawati, dkk. 2006)
Bahasa
Jawa secara diankronis berkembang dari Bahasa Jawa Kuno sementara Bahasa Jawa
Kuno sendiri berkembang dari Bahasa Jawa Kuno Purbo. Bahasa Jawa yang sekarang
umum digunakan adalah bahasa Jawa Baru/Modern. Mulai dipakai oleh masyarakat
Jawa sekitar abad 16 sampai sekarang. Rentang antara Bahasa Jawa Kuno ke Bahasa
Jawa Modern terdapat Bahasa Jawa pertengahan, namun pada saat ini baik Bahasa
Jawa Kuno maupun Bahasa Jawa Pertengahan tidak lagi digunakan di Jawa namun
masih digunakan di Bali pada acara-acara keagamaan.
Kurikulum
muatan lokal adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
belajar mengajar yang ditetapkan oleh daerah sesuai dengan keadaan dan
kebutuhan daerah masing-masing (Utomo, 1997:1). Muatan lokal memuat berbagai
materi seni dan budaya serta bahasa daerah untuk setiap daerah atau propinsi.
Masing-masing daerah diberi kebebasan untuk mengembangkan pembelajaran muatan
lokal ini. Hal itu, didasarkan pada potensi masing-masing daerah atau propinsi
yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, misalnya untuk daerah di propinsi
Jawa Timur, mayoritas mempelajari bahasa Jawa, walaupun ada beberapa daerah
yang mengembangkan pembelajaran bahasa daerah lain, seperti bahasa Osing di
daerah Banyuwangi dan bahasa Madura di daerah atau di pulau Madura.
Ruang
lingkup pembelajaran muatan lokal di sekolah mencangkup tiga hal. Tiga hal
tersebut, diantaranya pendidikan budaya daerah, pendidikan keterampilan, dan
pendidikan lingkungan (Utomo, 1997:2). Pendidikan budaya daerah mencangkup
bahasa daerah, kesenian daerah, adat istiadat, dan olah raga daerah. Untuk
pendidikan keterampilan mencangkup keterampilan daerah, kerajinan, dan
keterampilan lain yang diperlukan, bergantung kekayaan budaya daerah.
Sedangkan, pendidikan lingkungan mencangkup wawasan tentang lingkungan pendidikan
budi pekerti dan lain sebagainya.
Ketiga
hal pokok tersebut merupakan pedoman standar dalam pembelajaran muatan lokal di
sekolah-sekolah, mulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah
Pertama (SMP), bahkan pada daerah tertentu sampai Sekolah Menengah Atas (SMA).
Dalam kurikulum muatan lokal meliputi berbagai macam mata pelajaran. Hal itu
disesuaikan dengan bahan kajiannya, misalnya mata pelajaan bahasa daerah dengan
kajian bahasa daerah, mata pelajaran keterampilan dan kesenian dengan bahan
kajian keterampilan dan kesenian tertentu, mata pelajaran tata busana dengan
bahan kajian keterampilan dalam hal busana, dan mata pelajaran lainnya yang
pengembangannya berdasarkan kondisi sosial budaya masing-masing daerah.
Mata
pelajaran bahasa Jawa merupakan program pengajaran bahasa untuk mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan berbahasa Jawa serta sikap positif bahasa.
Pendekatan pengajaran bahasa Jawa lebih ditekankan pada penggunaan bahasa Jawa
yang baik dan benar terlebih ungggah-ungguhing basa untuk berkomunikasi
(Sumarto, 1986:4). Pembelajaran bahasa Jawa merupakan salah satu langkah yang
ditempuh untuk meningkatkan kecintaan terhadap budaya daerah, khususnya budaya
Jawa. Dalam nilai-nilai budaya Jawa, seseorang yang dapat menggunakan bahasa
Jawa dengan baik sesuai dengan tata aturan atau dalam teori bahasa Jawa disebut
undha usuk, akan mendapat penghormatan (status sosial) yang lebih baik.
Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya Jawa akan tetap terjaga dan
lestari, apabila dapat dipelajari dalam dunia pendidikan. Pembelajaran afektif
ini dapat memberikan manfaat yang banyak dan tidak ditemukan dalam mata
pelajaran lain.
Menurut
Utomo (1997:6) ada dua manfaat bagi siswa dalam mempelajari mata pelajaran
muatan lokal, seperti bahasa daerah maupun mata pelajaran lainnya. Manfaat
tersebut diantaranya, pengetahuan yang diperoleh siswa akan lengkap dan utuh.
Siswa bukan hanya menguasai materi dalam kurikulum nasional saja, melainkan
juga mengenal lingkungan milik mereka sendiri secara lebih mendalam, serta
manfaat yang kedua adalah siswa akan memiliki bekal keterampilan yang dapat
membantu orang tua dan diri mereka sendiri jika tidak melanjutkan pendidikan.
Pada
poin kedua penjabaran manfaat pembelajaran muatan lokal di atas, mengandung
arti bahwa pembelajaran muatan lokal, seperti bahasa daerah, keterampilan dan
kesenian daerah lainnya, dirancang sedemikian rupa untuk memberikan pengetahuan
secara teoritis dan juga
keterampilan-keterampilan yang bersifat aplikatif atau praktis kepada siswa.
Tujuan dari sistem pembelajaran tersebut adalah memberikan bekal keterampilan
kepada siswa untuk dikembangkan secara individu guna mendukung dalam kehidupan
sehari-hari siswa, baik bagi siswa yang melanjutkan pendidikan maupun bagi
siswa yang tidak melanjutkan pendidikan. Dengan keterampilan dan pengetahuan
yang pernah dipelajari di sekolah, khususnya untuk mata pelajaran muatan lokal,
siswa yang tidak melanjutkan sekolah diharapkan dapat menerapkan ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya tersebut untuk menunjang dan
membantu dalam hidup bermasyarakat.
Menulis
merupakan suatu proses. Dalam menulis memerlukan beberapa tahapan untuk menjadi
sebuah karya tulis akhir. Dari kegiatan pramenulis sampai pada tahap
pengakhiran atau penyelesaian (Parera, 1987:3). Mata pelajaran bahasa Jawa
mengajarkan keterampilan menulis ini dengan beberapa prinsip, yaitu dari yang
mudah ke yang sulit, dari sederhana ke yang kompleks, dan dari hal yang abstrak
ke hal yang konkret. Siswa akan mengalami beberapa tahapan dalam kegiatan
menulis. Kegiatan yang dilaksanakan siswa dari tahap yang paling mudah sampai
menuju ke tahap atau kegiatan menulis yang memiliki tingkat kesulitan yang
lebih tinggi. Misalnya, untuk siswa Sekolah Dasar (SD) yang dipelajari dalam
kegiatan menulis adalah dari menulis kosakata bahasa Jawa sampai pada kegiatan
menulis huruf Jawa. Sedangkan, pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP),
siswa akan lebih ditantang pada kegiatan menulis yang lebih rumit, misalnya
menulis karangan atau cerita berbahasa
Jawa sampai pada menulis gurit (puisi bahasa Jawa) dan bahkan sampai pada
menulis naskah drama bahasa Jawa.
Pembelajaran
menulis dalam muatan lokal bahasa Jawa juga tidak jauh dari konsep pembelajaran
kontekstual, sehingga dalam pembelajaran harus berpedoman pada pembelajaran
yang kreatif dan inovatif. Dalam hal ini, perlu adaya strategi pembelajaran
yang sesuai dengan konsep tersebut. Jadi, konsep pembelajaran kontekstual tidak
hanya dimiliki oleh mata pelajaran utama, seperti bahasa Indonesia, bahasa
Inggris, Matematika, dan mata pelajaran lain, tetapi juga dalam muatan lokal,
khususnya mata pelajaran bahasa Jawa.
Pembelajaran
keterampilan menulis dalam muatan lokal, terintegrasi dengan keterampilan
berbahasa lainnya, seperti membaca-menulis, mendengarkan menulis,
berbicara-menulis. Semua aspek ini dapat dipelajari secara terintegrasi dengan
tujuan untuk memudahkan siswa dalam belajar dan meningkatkan kemampuan siswa
dalam berbagai kompetensi berbahasa. Misalnya, dalam menulis geguritan atau
puisi bahasa Jawa yang sebelumnya siswa mendengarkan pembacaan geguritan untuk
merangsang siswa sebelum menulis gurit tersebut.
Diharapkan
dengan diperdengarkan pembacaan gurit tersebut, siswa dapat mencontoh atau
terinspirasi untuk menulis gurit dengan bahasa masing-masing siswa. Tidak
berhenti pada hal itu saja, kegiatan menulis juga harus mengarahkan siswa agar
mengetahui dan memahami kondisi riil di masyarakat. Hal ini bertujuan untuk
memberikan ilmu dan keterampilan, khususnya menulis bahasa Jawa, yang bersifat
praktis, sehingga keterampilan dan ilmu pengetahuan yang didapat dari bangku
sekolah tersebut dapat diaplikasikan kelak ketika siswa hidup dalam sebuah
komunitas dalam masyarakat.
Pembelajaran
menulis dalam mata pelajaran bahasa Jawa akan sangat bermakna apabila
pembelajaran tersebut sesuai dengan konteks kehidupan dan lingkungan siswa
berada. Menulis pengalaman pribadi dalam bentuk paragraf narasi merupakan suatu
kegiatan yang kontekstual dan dapat memanfaatkan lingkungan sekitar siswa dan
juga siswa itu sendiri dalam proses kegiatan belajar mengajarnya. Hal ini akan
dirasakan siswa sebagai kegiatan belajar yang menyenangkan dan dapat
membangkitkan motivasi belajar mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar