Untuk
menciptakan kenyamanan dalam berusaha dan untuk menciptakan pola hubungan yang
seimbang antara (pelaku usaha) dan konsumen maka perlu adanya hak dan kewajiban
masing-masing pihak. Hal tersebut lebih lanjut diatur dalam Undang-Undang Nomor
8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor
8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, meliputi [1]:
a.
Hak
untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
b.
Hak
untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik.
c.
Hak
untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen.
d.
Hak
untuk merehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang/jasa yang diperdagangkan.
Sedangkan
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur
mengenai Kewajiban (Pelaku Usaha) yang meliputi[2]:
a.
Beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
b.
Memberikan
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa
serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikkan, dan pemeliharaan.
c.
Memperlakukan atau melayani konsumen secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif
d.
Menjamin mutu barang/jasa yang diproduksi
dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku.
e.
Memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang/jasa tertentu
serta member jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan.
f.
Memberi
kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatanbarang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
g.
Memberi
kompensasi dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Bagi
(pelaku usaha), selain dibebani kewajiban sebagaimana disebutkan di atas,
ternyata dikenakan larangan-larangan yang diatur dalam Pasal 8 sampai dengan 17
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 8
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur larangan
bagi pelaku usaha yang sifatnya umum dan secara garis besar dapat dibedakan
menjadi 2 (dua), yaitu :
a.
Larangan
mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak
untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen.
b.
Larangan
mengenai ketersediaan informasi yag tidak benar, tidak akurat, dan yang
menyesatkan konsumen.
Di
samping adanya hak dan kewajiban yang perlu diperhatikan oleh developer (pelaku
usaha), ada tanggung jawab (Product Liability) yang harus dipikul oleh
developer (pelaku usaha) sebagai bagian dari kewajiban yang mengikat
kegiatannya dalam berusaha. Sehingga diharapkan adanya kewajiban dari developer
(pelaku usaha) untuk selalu bersikap hati-hati dalam memproduksi barang/jasa
yang dihasilkannya
Tanggung
jawab (Product Liability) dapat didefinisikan sebagai suatu tanggung jawab
secara hukum dari orang/badan yang menghasilkan suatu produk (producer,
manufacturer), dari orang/badan yang bergerak dalam suatu proses untuk
menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau mendistribusikan (seller,
distributor) produk tersebut.
Berbicara
mengenai tanggung jawab, maka tidak lepas dari prinsip-prinsip sebuah tanggung
jawab, karena prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat
penting dalam perlindungan konsumen. Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab
dalam hukum dapat dibedakan, yaitu[3]
:
a.
Prinsip
tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault), yaitu prinsip
yang menyatakan bahwa seseorang baru dapat diminta pertanggungjawabannya secara
hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya;
b.
Prinsip
praduga untuk selalu bertanggungjawab (Presumption of libility), yaitu prinsip
yang menyatakan tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat
membuktikan, bahwa ia tidak bersalah, jadi beban pembuktian ada pada tergugat.
c.
Prinsip
praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (Presump of nonliability), yaitu
prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu bertanggung
jawab, di mana tergugat selalu dianggap tidak bertanggung jawab sampai
dibuktikan, bahwa ia bersalah.
d.
Prinsip
tanggung jawab mutlak (Strict libility), dalam prinsip ini menetapkan kesalahan
tidak sebagai faktor yang menentukan, nemun ada pengecualian-pengecualian yang
memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force
majeur.
e.
Prinsip
tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability), dengan adanya
prinsip tanggung jawab ini, pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan
klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung
jawabnya. Jika ada pembatasan, maka harus berdasarkan pada perundang-undangan
yang berlaku.
Tanggung
jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, diatur khusus dalam BAB VI, mulai dari
Pasal 19 sampai dengan Pasal 28, Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1)
Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dapat diketahui bahwa
tanggung jawab pelaku usaha meliputi :
a.
Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan,
b.
Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran,
c.
Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.
Berdasarkan
hal ini, maka adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat bukan merupakan
satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini berarti, bahwa
tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen.
Penerapan konsep product liability ternyata tidak mudah, dalam system
pertanggungjawaban secara konvensional, tanggung gugat produk didasarkan adanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar