Ada
pun unsur-unsur (elemen) suatu delik adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh
Vos) adalah sebagai berikut[1]:
a.
Elemen
(bahagian) perbuatan atau kelakuan orang dalam hal berbuat (aktif) atau tidak
berbuat (pasif).
b.
Elemen akibat dari perbuatan, yang
terjadi dari suatu delik yang selesai. Elemen akibat ini dianggap telah selesai
apabila telah nyata akibat dari suatu perbuatan. Dalam rumusan undang-undang,
kadang-kadang elemen akibat tidak dipentingkan dalam delik formal, akan tetapi kadang-kadang elemen
akibat dinyatakan dengan tegas secara terpisah dari suatu perbuatan dengan
tegas secara terpisah dari suatu perbuatan seperti di dalam delik materil.
c.
Elemen subyektif, yaitu
kesalahan yang diwujudkan dengan kata-kata sengaja atau culpa (tidak sengaja).
d.
Elemen melawan hukum.
Dari
sederetan elemen lainnya menurut rumusan undang-undang, dibedakan menjadi segi
obyektif, misalnya dalam Pasal 160 KUHP, diperlukan elemen di muka umum dan
segi subyektif misalnya Pasal 340 KUHP diperlukan unsur merencanakan terlebih
dahulu.
Bila
ditinjau dari segi ilmu hukum pidana, ada suatu ajaran yang memasukkan elemen
delik yaitu harus ada unsur-unsur bahaya/gangguan, merugikan atau disebut sub
socials sebagaimana yang dikemukakan oleh Pompe (Poernomo, 1981:99) yang
menyebutkan elemen suatu delik yaitu[2]
:
a.
Ada unsur melawan hukum
b.
Unsur kesalahan.
c.
Unsur bahaya/gangguan/merugikan.
Delik
dapat dibedakan alas dasar-dasar tertentu, yaitu sebagai berikut (Adami
Chazawi, 2005:121)[3]:
a. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven)
dimuat dalam Buku II dan pelanggaran (overtredingen) dimuat dalam
buku III.
b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara
tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materiel
delicten).
c. Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara
tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan
sengaja (culpose delicten).
d. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan
antara tindak pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana
pasif/negatif, disebut juga tindak pidana omisi (delicta omissionis).
e.
Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak
pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau
berlangsung lama/berlangsung terus.
f. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara
tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.
g. Dilihat dari sudut subjek hukumnya, dapat dibedakan
antara tindak pidana communica (delicta communica, yang dapat dilakukan
oleh siapa saja), dan tindak pidana propria (dapat dilakukan hanya oleh
memiliki kualitas pribadi tertentu).
h. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal
penuntutan, maka dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan
tindak pidana aduan (klacht delicten).
i.
Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan antara
tindak pidana pokok (eenvoudige delicten), tindak pidana yang diperberat
(gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligeerde
delicten).
j.
Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak
terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi, seperti
tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana
pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain
sebagainya.
Dari
sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan antara
tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) dan tindak pidana
berangkai (samengestelde delicten).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar