Dalam asas
kebebasan dan kepastian hukum dalamberkontrak tersebut tentu tidak bisa lepas
dari persyaratan yang harus dipenuhi para pihak dalambertransaksi. Dalam
konstruksi hukum perdata, setiap transaksi bisnis harus memenuhi persyaratan
yang telah lazim dan sudah lama dijadikan asas di berbagai negara. Tujuannya
ialah agar para pihak tidak ada yang dirugikan di kemudian hari. Selain itu,
persyaratan kontrak perlu sebagai batasan mana objek transaksi yang dibolehkan
dan mana objek yang dilarang oleh negara. Berdasarkan pasal 1320 KUHPdt atau
Burgerlijk Wetboek (BW), ada empat syarat sahnya suatu kontrak dalam kegiatan
bisnis, yaitu: (1) ada kata sepakat di antara para pihak yang bertransaksi; (2)
para pihak mampu atau cakap dalam bertindak; (3) mengenai hal/ objek tertentu,
dan (4) suatu sebab yang halal atau transaksi tidak bertentangan dengan
undang-undang atau norma kesusilaan. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat
subjektif karena terkait dengan subjek atau para pihak dalam transaksi[1]
Sedangkan
syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektif karena menyangkut
objek suatu transaksi atau perjanjian. Apabila syarat subjektif tidak ter-penuhi maka transaksi bisa dimintakan
untuk dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan ialah pihak yang menilai
dirinya tidak cakap atau tidak mampu bertindak atau pihak yang menilai dirinya
telah dipaksa untuk bertransaksi. Berbeda dengan syarat subjektif, apabila
syarat objektif tidak terpenuhi maka transaksi dinyatakan batal demi hukum.
Dengan kata lain, perjanjian atau transaksi
bisnis dianggap tidak pernah ada. Dalam transaksi pengambilan uang di
m-banking, para pihak ialah nasabah di satu pihak dan bank di pihak yang lain.
Dengan demikian, penentuan subjek dalam transaksi di mesin m-banking tidaklah
sulit. Persoalan baru timbul di saat transaksi berlangsung salah satu pihak
tidak hadir atau tidak eksis. Salah satu pihak (nasabah) dianggap
sungguh-sungguh menerima setelah ada tindakan nyata, yaitu memasuk-kan kartu
m-banking ke mesin m-banking dan menekan tombol perintah transaksi serta
keluarnya nota transaksi dari mesin. Namun tidak semua mesin m-banking menyedia-kan
nota transaksi, cukup mengandalkan data dalamtampilan layar m-banking.
Kelemahan acceptance theory ialah nasabah mau tidak mau harus menerima segala
konsekuensi yuridis yang tertera dalam kesepakatan walaupun nasabah sendiri
tidak memahami isi ketentuan baku dari bank. Sebagai contoh, penulis mengutip
ketentuan baku dalam sebuah kartu m-banking berikut ini:
By signing and / or using
this card, the holders agrees to be bound by terms and conditions specified in
the Bank Card Center Agreement and all future amandements thereto.”
Selain itu, di kartu m-banking juga
tercantum bahwa kartu tersebut adalah milik bank yang bersangkutan. Jadi, ada
kenyataan lain bahwa alat transaksi adalah milik salah satu pihak (bank) dan
nasabah bisa mengakses berdasarkan nomor rekening nasabah. Namun, alat transaksi tidak turut
menentukan kedudukan para pihak dalam transaksi. Apa pun sarana yang dipakai
tidak menjadi soal, yang penting ialah proses menuju kesepakatan bertransaksi[2]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar