Sabtu, 19 September 2015

Syarat Sahnya Perjanjian Asuransi Jiwa (Hukum, Judul Hukum, Konsultasi Skripsi, SKRIPSI)

Secara umum, sahnya suatu perjanjian diatur dan harus memenuhi ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata (Subekti dan Tjitrosudibio, 2001:339).
Setiap perjanjian, termasuk perjanjian asuransi harus memenuhi syarat-syarat umum sebagai berikut :
a.    Sepakat yang mengikatkan dirinya
b.    Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
c.    Suatu hal tertentu
d.   Suatu sebab yang halal
Berikut ini akan penulis uraikan satu persatu secara lebih rinci.
Ad 1. Sepakat yang Mengikatkan Dirinya
Syarat ini disebut syarat subyektif karena langsung mengenai subyek pemnbuat perjanjian. Apabila syarat ini tidak terpebuhi maka perjanjian dapat dibatalkan oleh hakim atas permohonan dari yang bersangkutan. Persetujuan kehendak adalah kesepakatan antara pihak mengenai pokok perjanjian yang dibuat itu. Pokok perjanjian itu berupa obyek perjanjian dan syarat-syarat perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Dengan demikian persetujuan disini sifatnya sudah mantap.
Persetujuan kehendak itu sifatnya harus bebas, artinya betul-betul atas kemauan sukarela para pihak, dalam hal ini bebas berarti tiada paksaan sama sekali dari pihak manapun.
Ad.2  Kecakapan untuk Membuat Perjanjian
Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk mengadakan perjanjian, jika oleh Undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Jadi pada asasnya setiap orang itu cakap membuat perjanjian. Sebagai pengecualian, ada beberapa golongan orang yang oleh Undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum. Mereka itu seperti di bawah umur, orang di bawah pengawasan atau pengampunan. Syarat ini disebut juga subyektif, karena langsung mengenai subyek yang membuat perjanjian.jika syarat ini tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan oleh Hakim tas tidak terpenuhi,maka perjanjian dapat dibatalkan oleh hakim atas permohonan yang bersangkutan, jadi kedua belah pihak harus cakap menurut hukum.
Ad. 3 Suatu Hal Tertentu
Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas, tertentu atau setidaknya dapat ditentukan. Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang harus dipenuhi, yang terdiri dari :
1)         Benda-benda yang sudah ada
2)         Benda-benda yang masih akan ada di masa mendatang, baik dalam arti mutlak, yaitu pada saat tertentu benda itu sama sekali belum ada, maupun dalam arti relatif yang bendanya sudah ada, tapi bagi pihak tertentu masih merupakan harapan-harapan untuk memilikinya.
Syarat ini merupakan obyektif, yaitu syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian. Bila syarat ini tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum dan dianggap tidak pernah ada dari semula. Pentingnya syarat ini untuk dapat mnentukan kewajibannya jika terjadi perselisihan.
Ad. 4 Ada Suatu Sebab yang Halal
Undang-undang menghendaki untuk sahnya suatu perjanjian harus ada sebab atau causa yang halal atau diperbolehkan. Secara harfiah kuasa berarti “sebab”, tetapi menurut riwayatnya yang dimaksud dengan kuasa adalah “tujuan” yaitu apa yang dikehendaki oleh para pihak dengan mengadakan perjanjian itu.
Menurut Pasal 1335 KUH Perdata, suatu perjanjian yang tidak memakai kuasa atau dibuat dengan kuasa yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan. Dari apa yang diterangkan diatas, jelaslah bahwa praktis tidak ada perjanjian yang tidak mempunyai kuasa, adapun suatu kuasa yang tidak diperbolehkan adalah yang bertentangan dengan Undang-undang; kesusilaan dan ketertiban umum. Bertentangan dengan Undang-undang misalnya suatu perjanjian dimana satu pihak harus meninggalkan agamanya untuk memeluk suatu agama lain. Dalam hal semacam ini, perjanjian ini dianggap dari semula sudah batal dan hakim diberi wewenang karena jabatannya mengucapkan pembatalan lain, meskipun tidak diminta oleh salah satu pihak (batal secara mutlak), sedangkan untuk perjanjian asuransi atau pertanggungan syarat-syarat diatas tetap diberlakukan hanya saja ditambah dengan syarat khusus yaitu kewajiban pemberitahuan dilakukan pada saat mengadakan asuransi. Apbila tertanggung lalai, maka akibat hukumnya, asuransi menjadi batal. Kewajiban pemberitahuan ini berlaku juga apabila diadakan asuransi terjadi pemberataan risiko atas obyek asuransi.
Sesuai dengan karakteristik yang dimiliki oleh perjanjian asuransi, meskipun perjanjian sudah sah diadakan dan sudah berjalan, tidak selalu berakhir dengan pemenuhan prestasi yang sempurna, belum tentu ia pasti mendapatkan ganti rugi. Apabila ia tidak secara nyata memang menderita kerugian. Meskipun penanggung secara keseluruhan tidak memberikan ganti rugi kerugian, tidak berarti penanggung tidak bertanggung jawab. Dalam perjanjian asuransi diperjanjikan apabila tertanggung menderita kerugian secara keseluruhan, penanggung akan membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi. Perlindungan yang dijanjikan kepada tertanggung akan dipenuhi oleh penanggung perjanjian asuransi apabila syarat-syarat terpenuhi.

Tidak ada komentar: