Secara umum, sahnya suatu perjanjian
diatur dan harus memenuhi ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata
(Subekti dan Tjitrosudibio, 2001:339).
Setiap perjanjian, termasuk
perjanjian asuransi harus memenuhi syarat-syarat umum sebagai berikut :
a.
Sepakat yang mengikatkan
dirinya
b.
Kecakapan untuk membuat suatu
perikatan
c.
Suatu hal tertentu
d.
Suatu sebab yang halal
Berikut ini akan penulis uraikan
satu persatu secara lebih rinci.
Ad 1. Sepakat yang Mengikatkan Dirinya
Syarat ini disebut syarat subyektif
karena langsung mengenai subyek pemnbuat perjanjian. Apabila syarat ini tidak
terpebuhi maka perjanjian dapat dibatalkan oleh hakim atas permohonan dari yang
bersangkutan. Persetujuan kehendak adalah kesepakatan antara pihak mengenai
pokok perjanjian yang dibuat itu. Pokok perjanjian itu berupa obyek perjanjian
dan syarat-syarat perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga
dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara
timbal balik. Dengan demikian persetujuan disini sifatnya sudah mantap.
Persetujuan kehendak itu sifatnya
harus bebas, artinya betul-betul atas kemauan sukarela para pihak, dalam hal
ini bebas berarti tiada paksaan sama sekali dari pihak manapun.
Ad.2 Kecakapan untuk Membuat Perjanjian
Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan
bahwa setiap orang adalah cakap untuk mengadakan perjanjian, jika oleh
Undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Jadi pada asasnya setiap orang itu
cakap membuat perjanjian. Sebagai pengecualian, ada beberapa golongan orang
yang oleh Undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan sendiri
perbuatan-perbuatan hukum. Mereka itu seperti di bawah umur, orang di bawah
pengawasan atau pengampunan. Syarat ini disebut juga subyektif, karena langsung
mengenai subyek yang membuat perjanjian.jika syarat ini tidak terpenuhi, maka
perjanjian dapat dibatalkan oleh Hakim tas tidak terpenuhi,maka perjanjian
dapat dibatalkan oleh hakim atas permohonan yang bersangkutan, jadi kedua belah
pihak harus cakap menurut hukum.
Ad. 3 Suatu Hal Tertentu
Yang diperjanjikan dalam suatu
perjanjian suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas, tertentu atau
setidaknya dapat ditentukan. Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian,
merupakan prestasi yang harus dipenuhi, yang terdiri dari :
1)
Benda-benda yang sudah ada
2)
Benda-benda yang masih akan ada
di masa mendatang, baik dalam arti mutlak, yaitu pada saat tertentu benda itu
sama sekali belum ada, maupun dalam arti relatif yang bendanya sudah ada, tapi
bagi pihak tertentu masih merupakan harapan-harapan untuk memilikinya.
Syarat ini merupakan obyektif, yaitu
syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian. Bila syarat ini tidak
dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum dan dianggap tidak pernah ada dari
semula. Pentingnya syarat ini untuk dapat mnentukan kewajibannya jika terjadi
perselisihan.
Ad. 4 Ada Suatu Sebab yang Halal
Undang-undang menghendaki untuk
sahnya suatu perjanjian harus ada sebab atau causa yang halal atau
diperbolehkan. Secara harfiah kuasa berarti “sebab”, tetapi menurut
riwayatnya yang dimaksud dengan kuasa adalah “tujuan” yaitu apa yang
dikehendaki oleh para pihak dengan mengadakan perjanjian itu.
Menurut Pasal 1335 KUH Perdata,
suatu perjanjian yang tidak memakai kuasa atau dibuat dengan kuasa yang palsu
atau terlarang tidak mempunyai kekuatan. Dari apa yang diterangkan diatas,
jelaslah bahwa praktis tidak ada perjanjian yang tidak mempunyai kuasa, adapun suatu
kuasa yang tidak diperbolehkan adalah yang bertentangan dengan Undang-undang;
kesusilaan dan ketertiban umum. Bertentangan dengan Undang-undang misalnya
suatu perjanjian dimana satu pihak harus meninggalkan agamanya untuk memeluk
suatu agama lain. Dalam hal semacam ini, perjanjian ini dianggap dari semula
sudah batal dan hakim diberi wewenang karena jabatannya mengucapkan pembatalan
lain, meskipun tidak diminta oleh salah satu pihak (batal secara mutlak),
sedangkan untuk perjanjian asuransi atau pertanggungan syarat-syarat diatas
tetap diberlakukan hanya saja ditambah dengan syarat khusus yaitu kewajiban
pemberitahuan dilakukan pada saat mengadakan asuransi. Apbila tertanggung
lalai, maka akibat hukumnya, asuransi menjadi batal. Kewajiban pemberitahuan
ini berlaku juga apabila diadakan asuransi terjadi pemberataan risiko atas
obyek asuransi.
Sesuai dengan karakteristik yang
dimiliki oleh perjanjian asuransi, meskipun perjanjian sudah sah diadakan dan
sudah berjalan, tidak selalu berakhir dengan pemenuhan prestasi yang sempurna,
belum tentu ia pasti mendapatkan ganti rugi. Apabila ia tidak secara nyata
memang menderita kerugian. Meskipun penanggung secara keseluruhan tidak
memberikan ganti rugi kerugian, tidak berarti penanggung tidak bertanggung
jawab. Dalam perjanjian asuransi diperjanjikan apabila tertanggung menderita
kerugian secara keseluruhan, penanggung akan membayar sejumlah uang sebagai
ganti rugi. Perlindungan yang dijanjikan kepada tertanggung akan dipenuhi oleh
penanggung perjanjian asuransi apabila syarat-syarat terpenuhi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar