Itikad baik menjadi asas yang sangat
penting dalam hukum kontrak dan telah diterima dalam berbagai hukum nasional
dan internasional, tetapi sampai sekarang permasalahan tentang definisi itikad
baik tetap sangat abstrak. Tidak ada pengertian itikad baik memiliki dua
dimensi. Dimensi yang pertama adalah dimensi subjektif, yang berarti itikad
baik mengarah kepada makna kejujuran. Dimensi yang kedua adalah dimensi yang
memaknai itikad baik sebagai kerasionalan dan kepatutan atau keadilan.
Kecenderungan dewasa ini dalam berbagai sistem hukum mengkaitkan itikad baik
pelaksanaan kontrak dengan kerasionalan dan kepatutan. Jadi, ini adalah itikad
baik yang bersifat objektif. Itikad baik dalam konteks Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata
harus didasarkan pada kerasionalan dan kepatutan. Itikad naik pra kontrak tetap
mengacu kepada itikad baik yang bersifat subjektif. Itikad baik yang bersifat
subjektif ini digantungkan pada kejujuran para pihak.
Dalam proses negosiasi dan
penyusunan kontrak, pihak kreditur memiliki kewajiban untuk menjelaskan fakta
material yang berkaitan dengan pokok yang dinegosiasikan sedangkan debitur
memiliki kewajiban untuk meneliti fakta material tersebut. Terciptanya itikad
baik dalam tahap pra kontrak ini sangat dipengaruhi ajaran culpa ini
contrahendo.
Standar itikad baik dalam pra
kontrak didasarkan prinsip kecermatan dalam berkontrak. Dengan asas ini, para
pihak masing-masing memiliki kewajiban untuk menjelaskan dan meneliti fakta
material yang berkaitan dengan kontrak tersebut. Standar itikad baik
pelaksanaan kontrak adalah standart objektif. Dengan standar ini, perilaku para
pihak dalam melaksanakan kontrak, dan penilaian terhadap isi kontrak harus
didasarkan pada prinsip kerasionalan dan kepatutan. Kontrak tidak hanya dilihat
dari apa yang secara tegas diperjanjikan, tetapi juga harus memperhatikan
faktor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi pelaksanaan kontrak.
Itikad baik dalam kontrak memiliki
tiga fungsi. Pertama, semua kontrak harus ditafsirkan dengan itikad baik.
Itikad juga memiliki fungsi menambah suatu kewajiban kontraktual. Selain itu,
itikad baik juga memiliki fungsi membatasi dan meniadakan suatu kewajiban
kontraktual. Dalam fungsi yang pertama, penafsiran kontak tidak hanya
didasarkan kepada apa yang secara jelas diperjanjikan atau kepada kehendak para
pihak, tetapi juga harus memperhatikan itikad baik. Bahkan, terhadap kontrak
yang sudah jelaspun masih dapat ditafsirkan dengan itikad baik. Dalam fungsinya
yang kedua, berdasarkan itikad baik, hakim dalam suatu perkara tertentu
menemukan isi kontrak yang bersangkutan sangat bertentangan dengan keadilan
atau kepatuhan, ia dapat mengurangi bahkan meniadakan suatu kewajiban
kontraktual. (Wery; Jakarta : 1990).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar