Selasa, 19 Agustus 2014

Judul Tesis Perencanaan Kota dan Daerah: Morfologi Kota (2)

Pendekatan untuk mengkaji perkembangan fisik kota, menurut Hagget, 1970 adalah mengacu pada teori difusi atau teori penyebaran/perjalanan yang mempunyai dua model yang masing-masing berbeda maksud. Model-model tersebut adalah model difusi ekspansi dan model difusi relokasi.
Difusi ekspansi adalah suatu proses dimana dalam informasi dan sebagainya menjalar melalui suatu populasi dari satu daerah ke daerah lain. Dalam proses difusi ekspansi terjadi penambahan jumlah penduduk baru dalam kurun waktu tertentu yang dibedakan dalam dua periode waktu. Dengan demikian dalam ekspansi ruang terdapat penambahan penduduk, material dan ruang hunian baru. Model difusi ekspansi dapat digambarkan dan dilihat pada Gambar 6 berikut ini:

 

Gambar 6. Model difusi ekspansi

Difusi relokasi adalah suatu proses yang sama dengan penyebaran keruangan dimana dalam informasi atau material yang didifusikan meninggalkan daerah yang lain dan berpindah ke daerah yang baru. Ini berarti anggota dari populasi pada waktu t1 berpindah letaknya pada waktu t2. Dalam proses difusi relokasi juga terjadi penambahan penduduk, material dan ruang hunian baru. Model difusi relokasi dapat digambarkan dan dilihat pada Gambar 7 berikut ini.



Gambar 7. Model difusi relokasi

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model difusi ekspansi, karena penelitian ini menekankan pada ekspansi ruang yaitu terutama untuk mengkaji kecenderungan perkembangan fisik melalui perubahan penggunaan lahan.
Perkembangan sosial dan kendala topografi mengakibatkan kota mengalami perkembangan dengan pola-pola tertentu yaitu:
1.      Pola menyebar (dispersed pattern), terjadi apabila kondisi fisik topografinya seragam dan ekonominya homogen. Bentuk kotanya seperti yang dikemukakan oleh Christaller dengan central place theorynya. Pusat-pusat pelayanan cenderung tersebar di dalam wilayah dengan pola heksagonal (segi enam). Pola tersebut merupakan pola pelayanan yang paling efisien.
2.      Pola sejajar (Linear pattern), ini terjadi karena perkembangan sepanjang jalan, lembah, sungai atau pantai. Jadi kondisi fisik (alam/buatan) mempunyai andil besar terhadap pola ini.
3.      Pola merumpun (clustered pattern), jika topografi agak datar tetapi terdapat beberapa relief yang nyata maka terjadi perumpunan kota-kota. Kota-kota ini terletak saling berdekatan dan tidak ada kota yang lebih penting dari yang lain. Tebaran kota semacam ini dianggap sebagai kota besar.
Menurut Yunus,1999 ada tiga model klasik yang menggambarkan perkembangan kota dalam memanfaatkan penggunaan tanah yaitu:
1.      Model Zona Sepusat (Concentric Zone Model) oleh Ernest W. Burgess (1925).
2.      Model Sektor (Sector Model) oleh Humer Hyot (1939).
3.      Model Pusat Lipat ganda (Multiple-nuclei Model) oleh Harris & Edward Ullman (1945) dalam Short (1984).
Menurut Burgess,1925 (dalam Yunus,1999) dalam teori zona sepusat, pola penggunaan lahan di kota berhubungan dengan nilai ekonomi. Untuk itu ada lima urutan zona dari pusat ke periphery: (1) Pusat kota (Central Business District) terdapat pada lingkaran dalam, terdiri dari: kantor, hotel, bank, bioskop, pasar dan pusat perbelanjaan; (2) Jalur alih (Zone of Transition) terdapat pada lingkaran tengah, terdiri dari: kawasan perumahan untuk tenaga kerja pabrik; (3) Jalur wisma buruh (Zone of Workingmens Home) terdapat pada lingkaran tengah kedua, terdiri dari: kawasan perumahan untuk tenaga kerja pabrik; (4) Jalur madyawisma   (Zone of Better Residence) terdapat pada lingkaran luar, terdiri dari: kawasan perumahan yang luas untuk tenaga kerja halus dan kaum madya; (5) Jalur penglaju (Commuters Zone) terdapat pada luar lingkaran, terdiri dari masyarakat golongan madya dan golongan atas disepanjang jalan besar.
Menurut Hoyt,1939 (dalam Yunus,1999) dalam teory sektor menjelaskan bahwa kota tersusun atas lima sektor: (1) Lingkaran pusat terdapat pusat kota (Central Business District); (2) Sektor tertentu terdapat kawasan industri ringan dan kawasan perdagangan (Wholesale and Light Manufacturing); (3) Dekat pusat kota dan sektor tersebut pada bagian sebelah menyebelahnya terdapat kawasan tempat tinggal kaum buruh (Low-class Residential); (4) Agak jauh dari pusat kota dan sektor industri serta perdagangan terdapat sektor madyawisma (Middle-class Residential); (5) Sedangkan yang lebih jauh lagi terdapat sektor adiwisma, kawasan tempat tinggal golongan atas (High-class Residential).
Harris dan Ullman,1945 (dalam Yunus,1999) teori lipat ganda menjelaskan bahwa kota tersusun dari ; (1) Pusat kota (Central Business District);  (2) Kawasan niaga atau industri ringan (Wholesale and Light Manufacturing); (3) Kawasan tempat tinggal berkualitas rendah (Low-class Residential); (4) Kawasan tempat tinggal berkualitas menengah (Middle-class Residential);  (5) Kawasan tempat tinggal berkualitas tinggi (High-class Residential); (6) Pusat industri berat (Heavy Manufacturing); (7) Pusat niaga/perbelanjaan lain dipinggiran (Outlying Business District); (8) Kawasan madyawisma dan adiwisma (Residential Suburb); dan           (9) Kawasan industri (Industri Suburb).
Model-model ini dapat digunakan pada kondisi tata guna lahan di Kota Tembilahan meskipun ada beberapa hal yang tidak sama. Jika ditelaah pada pusat Kota Tembilahan terdapat bangunan kantor, hotel, bank, pasar dan pusat perbelanjaan (super market). Agak keluar terdapat kawasan perumahan berkualitas rendah sampai menengah. Lebih keluar lagi terdapat kawasan industri rumah tangga sampai industri menengah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 8 berikut ini.


 Gambar 8. Teori lipat ganda

Northam,1975 (dalam Yunus,1994) membagi pola penjalaran kota berdasarkan ciri morfologinya menjadi tiga jenis, yakni: (1) Perkembangan konsentris (Concentric Development), yaitu penjalaran fisik kota yang mempunyai sifat rata pada bagian luar, cenderung lambat sehingga menunjukkan morfologi kota yang kompak; (2) Perkembangan memanjang (Ribbon/Linear/Axial Development), yaitu penjalaran fisik kota cenderung mengikuti pola jaringan jalan sehingga menunjukkan penjalaran yang tidak sama pada setiap bagian perkembangan kota; (3) Perkembangan meloncat (Leapfrog/Checherboard Development), yaitu penjalaran fisik kota yang tidak mengikuti pola tertentu.
Pendekatan morfologi ini menurut Herbert dalam Yunus (1994) tercermin pada bentuk-bentuk fisik lingkungan kota. Hal ini dapat diamati dari kenampakkan kota secara fisik, antara lain tercermin pada sistem jalan, blok-blok bangunan baik daerah pemukiman atau bukan seperti perdagangan dan daerah industri.
Berdasarkan pada kenampakkan morfologi ini serta jenis perembetannya, Hudson dalam Yunus (1994) memaparkan model-model kota yaitu:
1.      Model satelit dan pusat-pusat baru; adanya hubungan fungsional antara kota utama dan kota-kota kecil di sekitarnya sehingga lebih efektif dan efisien.
2.      Model stellar atau radial; model ini untuk perkembangan kota yang didominasi oleh “ribbon development”.
3.      Model cincin; biasanya terdiri dari beberapa kota yang berkembang di sepanjang jalan utama yang melingkar.
4.      Model linier bermanik; pertumbuhan kota hanya terbatas pada jalan utama dan dapat melebar ke samping tanpa kendala fisik.
5.      Model inti/kompak; biasanya perkembangan kota cenderung vertikal.
6.      Model memencar; karena adanya kesatuan morfologi yang besar dan kompak dengan beberapa “urban centers” dan masing-masing pusat mempunyai kelompok fungsi yang khusus dan berbeda.
Kondisi Kota yang sesuai dengan model stellar atau radial yang didominasi oleh transportasi dalam perkembangan kota dengan bentuk kota yang terbelah oleh sungai.  Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 9 berikut ini.

Gambar 9. Model perembetan kota

Tidak ada komentar: