1. Pengertian Sekolah Ko Edukasi dan Non Edukasi
Sistem
pendidikan disekolah yang ada saat ini yang berhubungn dengan pembedaan jenis
kelamin siswa yang ada didalamnya disebut dengan istilah koedukasi dan non
koedukasi (Hidayat dalam Rumanti, 1996). Sedangkan menurut Kolesnik (1970)
lingkungan sekolah non ko-edukasi dimengerti sebagai lingkungan sekolah yang
didalamnya terdapat siswa yang terdiri dari satu jenis kelamin, yaitu pria atau
wanita. Menurut Alice Wood (dalam Deem 1985), mendefinisikan lingkungan sekolah
koedukasi adalah sebagai sistem pendidikan bagi remaja putra dan putri yang seharusnya
dari berbagai tahapan perkembangan dihubungkan dalam satu komunitas; dipisahkan
dalam suatu lingkungan belajar.
Sehingga dapat disimpulkan lingkungan sekolah ko edukasi
pada dasarnya adalah lingkungan sekolah dimana siswa-siswinya terdiri dari
siswa pria dan wanita sedangkan lingkungan sekolah non ko edukasi adalah
lingkungan sekolah dimana hanya siswa-siswinya terdiri hanya dari satu jenis
kelamin.
2.
Perbedaan Lingkungan Sekolah Ko Edukasi dan Non Ko Edukasi
Suasana dilingkungan sekolah koedukasi menurut
hasil penelitian Dale (1974), menunjukkkan bahwa siswa-siswa dari sekolah
koedukasi menganggap sekolah mereka sebagai temapat yang
menyenangkan.siswa-siswa dari sekolah koedukasi lebih menekannkan keapada tiga
hal yaitu:
a. Persahabatan dengan teman sebaya
dan kehiupan social yang baik
b. Hubungan yang positif antara guru dengan
siswa
c. Hubungan yang normal antara
siswa pria dan wanita
Dari segi penerapan disiplin dan kontrolnya, Dale (1971) mengatakan bahwa kehadiran teman
sebaya yang berlawanan jenis membaa pengaruh yang baik pada prilaku siswa-siswa
disekolah. Kemudian pada pelaksaan disiplin dan control pihak kepala sekolah maupun
guru memberikan sangsi yang lebih ringan karena lebih menjaga hubungan dan yang baik terhadap siswa-siswanya.
Hasil
penelitian Schneider dan Coutts (1982) siswa-soswa dari sitem koedukasi
mempunyai penerimaan diri yang lebih baik daripa siswa-siwa yang berada
disekolah nonkoedukasi. Harga diri yang tinggi juga diperoleh
siswa-siswa pria yang berhail dalam kegiatan-kegiatan disekolah koedukasi
(Rivai 1987)
Pengamatan di Indonesia diperoleh keterangan
bahwa sistem pendidikan koeduksi menciptakan kondisi belajar yang lebih baik daripada
sekolah non-koedukasi, karena kehadiran siswa pria dapat membuat siswa wanita
terpacu untuk belajar Kemudian dikatakan
pula bahwa system pendidkan koedukasi merupakan system pendidikan yang dapat memberikan kesempatan baik
siswa pria maupun wanita untuk mempelajari reaksi satu sama lain (Kompas 1990)
Sedangkan menurut rivai
(1987) usah-usaha mengelompokkan siswa berdasarkan perbedaaan jenis kelamin
maupun kematngan fisik,tingkat perkembangan mental dan status social unuk
mencoba menghindari keragaman yang timbul untuk mencapai efisiensi adalah
kurang tepat. Berdasarkan penyidikan
bahwa tidakmungnkin menghindari kenyataan-kenyataan akan adanya keragaman
manusia ini, maka dari itu sekolah koedkasi adalah wajar, dimana memungkinkan
terjadinya social learning yang sebaik-baiknya,
sehingga timbul kesadaran bahwa belajar menyesuikan diri dengan tepat dalam
segala bidang, penyesuaian terhadap kenyataan-kenyataan kemampauannya sendiri
atau hubungan dengan diri orang laindapat dicapai dengan lebih baik dalam suatu
kelompok campuran antara pria dan wanita. Kenyataan ini membawa petingnya peran
koedukasi
. Masalah disiplin dan control, siswa sekolah non-koeduasi
memegang teguh dan menerapkan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Hal inilah
yang menyebabkan siswa-siswa tersebut kurang menyukai lingkungan sekolahnya
karena teralalu banyak peraturan dan terlalu menekankan disiplin dalam segala
hal (Dale, 1971) Mengenai prestasi
akademiknya, siswa wanita lebih baik prestasi belajarnya bila berada
dilingkungan sekolah non-koedukasi.oleh karena itu tdak ada siswa pria
dilingkungan sekolah tersebut, maka tidak ada suatu hambatan untuk meraih
prestasi akademik disekolah, hal ini antara lain karena siswa-siswa wanita
umumnya mengalami fear of success (Horner, 1968 dalam Lee dan Bryk, 1986). Hal
tersebut disebabkab kerena prestasi akademik sering diasosiasikan dengan suatu
yang sifatnya maskulin. Oleh karena itu kalau anak wanita mencapai suatu
prestasi yang tinggi maka sifat feminine pada dirinya berkurang dan akan
dipandang sebagai seorang yang maskulin.
Hal itu dapat disimpulkan
bahwa lingkungan sekolah non-koedukasi hanya terdapat satu jenis kelamin dari
siswa-siswanya yaitu pria atau wanita. Dari definisi ini diperoleh satu
gambaran baik siswa wanita maupun pria memperoleh kesempatan yang sama dan
pendidikan yang tersedia disesuaikan menurut kebutuhan masing-masing jenis
kelamin, untuk siswa pria atau siswa
wanita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar