Istilah burnout pertama kali dikemukakan kepada masyarakat pada tahun 1973
oleh seorang ahli psikologi klinis bernama Herbert Freudenberger (Sutjipto,
2003). Istilah ini didasarkan pada pengamatan terhadap perubahan perilaku para
sukarelawan setelah bertahun-tahun bekerja. Menurutnya, para relawan tersebut
mengalami kelelahan mental, kehilangan komitmen dan penurunan motivasi bekerja.
Selanjutnya Freudenberger memberikan ilustrasi tentang apa yang dirasakan orang
yang mengalami sindrom burnout
diibaratkan seperti gedung yang terbakar habis (burned-out), di mana setelah terbakar yang tampak hanyalah
kerangka luarnya saja. Seperti halnya dengan orang yang mengalami burnout, dari
luar segalanya masih tampak utuh, namun di dalamnya kosong dan penuh dengan
masalah.
Pines dan Aronson (Sutjipto, 2003) menyatakan burnout adalah kondisi emosional di mana seseorang merasa lelah dan jenuh secara mental ataupun fisik akibat tuntutan pekerjaan yang meningkat. Timbulnya kelelahan ini karena mereka bekerja keras, merasa bersalah, merasa tidak berdaya, merasa tidak ada harapan, dan merasa terus-menerus membentuk lingkaran yang menghasilkan perasaan lelah dan tidak nyaman, yang pada gilirannya meningkatkan rasa kesal yang terus berlanjut sehingga menimbulkan kelelahan fisik, kelelahan mental dan kelelahan emosional.
Senada dengan pendapat di atas, Cherniss (1980) menyatakan bahwa burnout merupakan proses perkembangan yang dihasilkan dari tahapan-tahapan stres yang berlebih dan terjadi dalam jangka waktu yang lama, yang kemudian menimbulkan kelelahan fisik dan emosional, perasaan tertekan, dan mudah marah, konsep diri dan sikap kerja yang negatif, serta kehilangan konsentrasi dengan siapapun ia bekerja. Pandangan Cherniss ini sejalan dengan pernyataan Freuddenberger (Sutjipto, 2003) bahwa seseorang memiliki sikap antusias yang tinggi dan tujuan yang hendak dicapai pada awal bekerja. Namun, stres yang dialami secara kronis menyebabkan mereka mengalami perubahan motivasi, mereka mengalami burnout
Tidak ada komentar:
Posting Komentar