Manusia adalah makhluk yang terus-menerus mencari dirinya sendiri dan yang setiap saat harus menguji dan mengkaji secara cermat kondisi-kondisi eksistensinya. Apa yang berarti dalam eksistensi manusia bukan semata-mata nasib yang menantikan kita, tapi cara bagaimana kita menantikan nasib itu atau melakukan pemahaman terhadap makna hidup. Pemahaman makna hidup individu adalah cara individu memandang dan mengerti akan segala sesuatu dan menentukan garis pembatas yang membentuk sebuah pigura di mana individu berada di dalamnya. Ruangan yang diluar garis pembatas tersebut adalah dunia dan isinya. Bagaimana individu memahami segala sesuatu tergantung sepenuhnya dengan ukuran pigura tersebut dibuat. Keterbatasan yang individu pahami sebagai takdir atau bukan takdir pada prakteknya lebih mengisyaratkan adanya keterbatasan individu memahami sesuatu yang individu ciptakan sendiri. (Frankl dalam Schultz, 1991) Memahami bagaimana dunia dan isinya ini bekerja memiliki implikasi langsung pada situasi konkrit tertentu di dalam hidup individu, terutama berhubungan dengan kemajuan dan kemunduran atau kesuksesan dan kegagalan. Oleh karena itu pemahaman perlu disempurnakan atau didinamiskan menurut perkembangan situasi yang individu hadapi. Kuncinya adalah menerima perubahan dunia dari satu titik ke titik berikutnya sebagai materi untuk mengembangkan diri alias memperluas ukuran pigura individu. (Hewitt, 1994)
Alasannya sangat mendasar ketika pemahaman individu tentang obyek kehidupan ini stagnant sementara realitas eksternal itu berdifat dinamis maka pemahaman individu mandul alias tidak bekerja menciptakan kemajuan melainkan jalan di tempat. Dari sinilah awal dari semua yang individu namakan problem, yaitu ketika pemahaman konseptual tidak lagi sejalan dengan realitas eksternal. Gap tersebut menciptakan sikap yang membenarkan kenyataan secara pasif atau sikap menyatakan kebenaran yang bertentangan dengan kebenaran lain. (Allport, 1955).
Dalam rangka menciptakan pemahaman yang sinergis dengan perkembangan situasi, maka terlebih dahulu individu perlu mengetahui sumber-sumber pemahaman dan memahami bagaimana cara kerjanya, maka jalan untuk mengauditnya akan terbuka lebar. Berikut adalah sebagian dari sumber dominan di mana individu memperoleh pemahaman hidup dan bagaimana individu dapat mengaplikasikannya ke dalam situasi konkrit. (Dollard, 1950)
1. Hukum Universal
Hukum Universal mengandung kebenaran yang diartikulasikan ke dalam pesan-pesan moral yang sifatnya berlaku umum. Selain itu, hukum tersebut juga merupakan kebenaran mutlak yang tidak memberi hak kepada siapa pun untuk mengubahnya. Institusi yang paling banyak mengungkapkan kebenaran tersebut adalah agama-agama, kepercayaan, tradisi, atau sebagian dari adat istiadat. Kebenaran mutlak jelas berupa kebenaran dari langit dan supaya dapat didistribusikan ke bumi ia membutuhkan tool atau alat bantu agar bisa menciptakan penafsiran, pemahaman, persepesi, paradigma mental, dan karakter behavioral seperti ajaran agama.
Namun jika alat bantu yang dipilih seseorang seolah sangat jauh dari realitas, bahkan terjadi seakan-akan missing-link dengan realitas, sehingga misi kebenaran langit yang mestinya untuk memperbaiki manusia justru membelenggunya maka seseorang tersebut biasanya akan mencari alat bantu lain untuk memahami kebenaran . Contohnya terjadi fenomena di mana seseorang menggunakan ajaran agama saat beribadah tetapi ketika mencari makan ia menggunakan ajaran komunisme atau atheisme. Agama, ajaran moral dipahami individu tersebut tidak mendukungnya untuk menjadi kaya.
2. Hukum Personal
Di dalam diri individu sebagai “the person” yang utuh telah diciptakan dua kekuatan yang berlomba merebut posisi kepemimpinan atas kehidupan individu. Kekuatan pertama berupa The Self dan kedua berupa The Ego. The Self adalah kekuatan yang memberi instruksi agar individu memahami diri, menjadi diri dan menjadi master bagi diri individu: "To Know, To become, dan Tobe”. Dialah yang menciptakan pemahaman bahwa kehidupan eksternal ditentukan sepenuhnya oleh kekuatan internal. The Self berbicara tentang sesuatu yang sebenarnya individu kehendaki dan menjadi hak sehingga dalam banyak redaksi doa, The Self adalah permohonan tentang kehidupan surga.
Tidak demikian halnya dengan The Ego. Kekuatannya berupa instruksi untuk mendorong individu menyerahkan naskah hidup asli kepada pihak lain dengan kompensasi individu menggunakan naskah hidup mereka. Kekuatan inilah yang menyuntikkan drug bahwa kehidupan eksternal tidak dipandu oleh kekuatan internal sehingga pada gilirannya sang diri hilang, lenyap tanpa kekuatan dan suara. The Ego adalah bentuk ketergantungan terhadap kekuatan eksternal. Ia adalah bentuk penghindaran yang sering individu ucapkan dalam doa-doa.
Mayoritas dari individu hanya menggunakan kekuatan minimal ketika urusannya berupa ‘menginginkan sesuatu’ dan baru bisa mengeluarkan secara maksimal ketika ‘menghindar dari sesuatu’, apalagi jika konsekuensinya hidup – mati. Dari temuan tersebut disimpulkan bahwa pembeda antara orang genius dengan orang biasa bukan terletak pada kadar potensi atau kemampuan yang diturunkan sejak lahir, tetapi bagaimana menggunakan kemampuan atau potensi tersebut dengan cara-cara tertentu dan maksimal
Contoh nyata individu yang dapat dijadikan contoh dalam menggunakan potensi secara maksimal dengan cara-caranya yang khusus adalah Thomas A. Edison. Mungkin individu bertanya-tanya apakah makhluk seperti Edison atau para avatar lainnya sudah dicetak untuk berbeda dengan individu? Awalnya adalah sama. Ia tetap memiliki fluktuasi emosi antara kecewa dengan kegagalan dan bahagia dengan kesuksesan bahkan mungkin sempat putus asa. Bahkan sekolahnya Edison dikenal sebagai siswa yang tidak memiliki prestasi gemilang sehingga akhirnya sang guru bosan merawatnya. Lalu kekuatan apakah yang terus mendorongnya sehingga rintangan apapun tidak bisa menghambatnya? Kuncinya adalah menemukan cara bagaimana menggunakan mengeluarkan kekuatan The Self sebanding dengan kekuatan The Ego. Apa diraih Edison, tidak mustahil dapat juga diraih oleh individu seindividuinya etos kerja atau motivasi individu belajar menggunakan energi yang individu gunakan untuk bercinta? Jika ini yang terjadi maka pastilah akan muncul kegigihan yang tidak sanggup dibendung oleh diri individu sendiri. (Dennis Fox dan Isaac Prilleltensky, 2005)
3. Hukum Lingkungan
Lingkungan diversikan ke dalam berbagai ungkapan bahasa mulai dari keluarga, saudara, relasi, persahabatan dan lain-lain di mana masing-masing memiliki instruksi berupa instruksi psikologis dan instruksi keadaan yang sifatnya ditawarkan. Individulah yang pada akhirnya menentukan keputusan itu meskipun sayangnya keputusan individu adalah keputusan dengan tidak memutuskan apapun. Di samping memiliki pengaruh di mana semua manusia tidak bisa melepaskannya, lingkungan juga memiliki individu asumsi, persepsi atau penilaian tentang bagaimana lingkungan tersebut melihat dunia. Pemahaman individu tentang hukum lingkungan punya hubungan kausalitas dengan bagaimana individu ingin diperlakukan dan bagaimana individu memperlakukan orang lain. Jika levelnya keinginan, tentu saja individu menginginkan bentuk perlakuan terhormat atau sesuai dengan yang individu inginkan. Semua manusia bahkan hewan pun sama tetapi kuncinya terdapat pada pemahaman individu terhadap instruksi psikologis dan keadaan yang menciptakan perbedaam diametral antara individu dimanfaatkan dan dihormati; antara individu menjadi korban lingkungan dan menciptakan adaptasi.
Kenyataan yang sulit dipungkiri adalah bahwa individu membutuhkan lingkungan untuk menciptakan kemajuan hidup. Tetapi di sisi lain, individu memerlukan upaya membersihkan diri dari pengaruh yang diciptakan oleh pembawaan umum lingkungan yang bisa menjadi penghambat bagi kemajuan hidup individu. Pembawaan umum itulah yang oleh Samuel A. Malone dalam Mind Skill for Manager disebut Conformity yang menjadi ancaman kreativitas untuk merealisasikan keunggulan individu. Menurut Advance Dictionary, Conformity adalah "Action or behavior in agreement with what is usual, accepted or required by custom". Dengan kata lain, konformitas adalah ketakutan untuk menjadi diri sendiri yang berbeda dengan orang lain karena didorong oleh oleh keinginan untuk diterima oleh lingkungan.
Kualitas pemahaman instruksi lingkungan dengan begitu sebanding dengan kualitas kecerdasan bersikap saat individu menjatuhkan kartu hidup. Ketika individu larut ke dalam konformitas, maka bukan penghormatan yang akan individu terima, melainkan pemanfaatan. Saat itulah kebaikan yang individu berikan bisa jadi kebodohan yang individu lakukan. Bahkan lingkungan tidak memiliki makna kualitas apapun ketika individu tidak menemukan peluang belajar mengisi muatan pikiran sukses dari orang yang lebih atas; atau ketika individu tidak menemukan celah mengukur kemajuan dari orang yang sepadan; atau ketika individu tidak bisa membangun empati dari orang yang lebih rendah.
Dalam bagian pertama buku Man's Seach for Meaning (Frankl dalam Schultz, 1991), Frankl mengisahkan pengalamanya selama menjadi tawanan Yahudi di Auschwitz dan beberapa kamp konsentrasi Nazi lainnya. Kehidupannya selama tiga tahun di kamp konsentrasi adalah kehidupan yang mengerikan secara kejam. Setiap hari, ia menyaksikan tindakan-tindakan kejam, penyiksaan, penembakan, pembunuhan masal di kamar gaas atau eksekusi dengan aliran listrik. Pada saat yang sama, ia juga melihat peristiwa-peristiwa yang sangat mengharukan; berkorban untuk rekan, kesabaran yang luar biasa, dan daya hidup yang perkasa. Di samping para tahanan yang berputus asa yang mengeluh, "mengapa semua ini terjadi pada kita? "mengapa aku harus menanggung derita ini?" ada juga para tahanan yang berpikir "apa yang harus kulakukan dalam keadaan seperti ini?". Yang pertama umumnya berakhir dengan kematian, dan yang kedua banyak yang lolos dari lubang jarum kematian.
Menurut Rakhmat (dalam Zohar & Marshall, 2002), hal yang membedakan keduanya adalah pemberian makna. Pada manusia ada kebebasan yang tidak bisa dihancurkan bahkan oleh pagar kawat berduri sekalipun. Itu adalah kebebasan untuk memilih makna. Sambil mengambil pemikiran Freud tentang efek berbahaya dari represi dan analisis mimpinya, Frankl menentang Freud ketika dia menganggap dimensi spiritual manusia sebagai sublimasi insting hewani. Dengan landasan fenomenologi, Frankl membantah dan menjelaskan bahwa perilaku manusia tidak hanya diakibatkan oleh proses psikis saja. Menurutnya, pemberian makna berada di luar semua proses psikologis. Dia mengembangkan teknik psikoterapi yang disebut dengan Logoterapi (berasal dari kata Yunani "Logos" yang berarti makna.
Logoterapi memandang manusia sebagai totalitas yang terdiri dari tiga dimensi; fisik, psikis, spiritual. Untuk memahami diri dan kesehatan, kita harus memperhitungkan ketiganya. Selama ini dimensi spiritual diserahkan pada agama, dan pada gilirannya agama tidak diajak bicara untuk urusan phisik dan psikilogis. Kedokteran, termasuk psikologi telah mengabaikan dimensi spiritual sebagai sumber kesehatan dan kebahagiaan ( Rahmat, 2004).
Frankl menyebut dimensi spiritual sebagai noos yang mengandung semua sifat khas manusia, seperti keinginan kita untuk memberi makna, orientasi-orientasi tujuan kita, kreativitas kita, imajinasi kita, intuisi kita, keimanan kita, visi kita akan menjadi apa, kemampuan kita untuk mencintai di luar kecintaan yang phisik psikologis, kemampuan mendengarkan hati nurani kita di luar kendali superego, secara humor kita. Di dalamnya juga terkandung pembebasa diri kita atau kemampuan untuk melangkah ke luar dan memandang diri kita, dan transendensi diri atau kemampuan untuk menggapai orang yang kita cintai atau mengejar tujuan yang kita yakini. Dalam dunia sp iritual, kita tidak dipandu, kita adalah pemandu, pengambil keputusan. Semuanya itu terdapat di alam tak sadar kita. Tugas seorang logoterapis adalah menyadarkan kita akan perbendaharaan kesehatan spiritual ini.
Dalam hidup ini ada beberapa ancaman sebagai penyebab "kecemasan eksistensial", hal ini merupakan aspek terpenting yang menentukan apakah hidup kita bermakna atau hanya kesia-siaan, adalah pertama, kematian: kita semua adalah makhluk yang fana', kematian sewaktu-waktu akan dating menjemput kita. Kedua, takdir, garis kehidupan kita mungkin suatu kesengsaraan atau malapetaka, semuanya tidak bisa diramalkan atau dikendalikan. Ketiga, keharusan untuk membuat pilihan mengandung kecemasan eksistensial melalui setidaknya dengan tiga cara; a). kadang-kadang kita mesti menjatuhkan suatu pilihan tanpa informasi yang cukup, b). ketika mengambil keputusan, manusia cenderung untuk mencari bimbingan dari sumber transcendental yang lebih tinggi, c). menjatuhkan pilihan berarti mengabaikan pilihan lainnya (Abidin, 2002).
Frankl (dalam Schultz, 1991) berpendapat bahwa cara paling baik untuk mencapai makna hidup adalah mulai berkomitmen pada hal-hal di luar diri. Seseorang akan berbalik fokus pada dirinya sendriri ketika tidak menemukan arti dan tugas mereka di dunia. Menjadi sehat secara psikologis adalah bergerak keluar dari fokus diri, mengatasinya, menyerapinya dalam arti dan tujuan seseorang. Maka dengan demikian diri akan dipenuhi dan diaktualisasikan secara sponyan dan wajar. Secara umum sifat sesorang yang dapat menemukan makna hidupnya menurut Frankl adalah:
a. Mampu secara bebas memilih langkah tindakan mereka
b. Mampu secara pribadi bertanggung jawab terhadap tingkah laku hidup dan sikap yang dianutnya terhadap nasib.
c. Dalam segala tindakannya tidak dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan di luar dirinya
d. Menemukan arti peranannya dalam kehidupan yang sesuai dengannya.
e. Mampu secara sadar mengontrol kehidupannya sendiri.
f. Mampu mengungkapkan nilai-nilai daya cipta, nilai-nilai pengalaman, atau nilai-nilai sikap.
g. Mampu mengorientasikan diri terhadap tujuan-tujuan dan tugas-tugas yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar