Hubungan keagenan terjadi ketika satu atau lebih individu yang disebut sebagai
prinsipal menyewa individu atau organisasi lain, yang disebut sebagai agen, untuk
melakukan sejumlah jasa dan mendelegasikan kewenangan untuk membuat
keputusan pada agen tersebut (Brigham dan Houston, 2006). Dalam mengkaitkan
antara struktur kepemilikan dengan kinerja perusahaan, terdapat satu hal yang
tidak dapat dipisahkan dari pencapaian sasaran organisasi perusahaan serta
kinerjanya, yaitu manajemen atau pengurus perusahaan. Pencapaian tujuan dan
kinerja perusahaan tidak terlepas dari kinerja manajemen itu sendiri.
Manajer sebagai orang dalam perusahaan memiliki keuntungan informasi
dibandingkan dengan investor yang merupakan orang luar perusahaan. Manajer
dapat mengeksploitasi keuntungan tersebut melalui pengelolaan informasi yang
disampaikan kepada investor. Kondisi ini dikenal dengan istilah adverse selection.
Jenis lain asimetri informasi adalah moral hazard. Pemisahan antara kepemilikan
dan pengendalian perusahaan mendorong manajer untuk tidak memaksimalkan
usahanya (Jensen dan Meckling, 1976).
9
Dalam konteks perusahaan, masalah keagenan yang dihadapi investor mengacu
pada kesulitan investor untuk memastikan bahwa dananya tidak disalahgunakan
oleh manajemen perusahaan untuk mendanai kegiatan yang tidak menguntungkan
(Wulandari, 2011).
Menurut Jensen dan Meckling (1976), penyebab konflik
antara manajer dan pemegang saham diantaranya adalah pembuatan keputusan
yang berkaitan dengan aktivitas pencarian dana dan bagaimana dana yang
diperoleh tersebut di investasikan.
Teori keagenan maka dapat menjelaskan fenomena masalah keagenan di Negaranegara ASEAN khususnya didalam struktur kepemilikan. Shleifer dan Vishny
(1997) menjelaskan bahwa manajer mengendalikan perusahaan dan masalah
keagenan yang terjadi antara pemegang saham dan manajer. Masalah ini disebut
sebagai Agency Problem I (Villalonga dan Amit, 2006) atau Type I Agency Costs
(Bozec dan Laurin, 2008). Berikutnya, pemegang saham mengelompokkan diri
menjadi pemegang saham pengendali untuk mengawasi manajer agar manajer
menjalankan perusahaan demi kepentingan terbaik para pemegang saham. Akan
tetapi, pemegang saham pengendali meminta manajer untuk membuat keputusan
yang menguntungkan diri sendiri seperti pembagian dividen khusus. Hal ini
merugikan pemegang saham nonpengendali. Hal demikian, masalah keagenan
yang terjadi antara pemegang saham pengendali dan pemegang saham
nonpengendali. Konflik seperti ini disebut Agency Problem II (Villalonga dan
Amit, 2006) atau Type II Agency Costs (Bozec dan Laurin, 2008).
Jensen dan Meckling (1976) berpendapat bahwa masalah agensi antara pemegang
saham dan manajer adalah berasal dari pemisahan kepemilikan dan pengawasan.
Meraka juga menyatakan masalah keagenanan dapat dikurangi dengan pemberian
insentif, melakukan pengawasan, meningkatkan kepemilikan manajerial dan
tindakan membatasi diri (bonding) oleh manajer. Konflik keagenan juga dapat
diminimalisasi dengan adanya kepemilikan manajerial, yaitu manajemen memiliki
beberapa saham perusahaan atau manajemen sekaligus pemegang saham
perusahaan. Kepemilikan manajerial ini bertujuan untuk menyelaraskan antara
kepentingan manajemen dan pemegang saham dengan alasan manajemen akan
mempunyai kepemilikan saham dalam perusahaan (Probohudono, 2016; Harjito,
2006). Dengan meningkatkan persentase kepemilikan, manajer akan termotivasi
untuk meningkatkan kinerja dan lebih bertanggung jawab untuk meningkatkan
kemakmuran pemegang saham (Puspito, 2011). Oleh karena itu, semakin besar
tingkat kepemilikan manajerial suatu perusahaan, maka semakin tinggi tingkat
keselarasan dan kemampuan kontrol terhadap kepentingan antara manajer dengan
pemegang saham (Jensen dan Meckling, 1976; Singh dan Davidson, 2003). Hasil
penelitian Harjito (2006) menemukan bahwa kepemilikan manajer dalam
perusahaan besar secara signifikan dapat mengurangi konfilk antara prinsipal dan
agen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar