Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Pada
periode ini berbagai perubahan terjadi, baik perubahan hormonal, fisik, psikologis
maupun sosial (Tanner, 2004). Perubahan ini terjadi dengan sangat cepat dan
kadang tanpa disadari. Perubahan fisik yang menonjol adalah perkembangan
tanda-tanda seks sekunder, terjadinya pacu tumbuh, serta perubahan perilaku dan
hubungan sosial dengan lingkungannya (Styne, 2003).
Perubahan fisik dan psikologis pada remaja saling berkaitan. Otak remaja
yang semakin berkembang menyebabkan meningkatnya kemampuan berpikir
abstrak. Remaja masuk dalam pikirannya, menganalisis pikiran, perasaan, reaksi
mereka, dan reaksi orang lain (Brooks, 2011). Introspeksi, idealisme, dan
berbagai penilaian yang dibentuk remaja dengan situasi saat ini juga
mempengaruhi hubungan remaja dengan lingkungan sosialnya.
Perubahan psikososial pada remaja dibagi dalam tiga tahap yaitu remaja
awal (early adolescent), yaitu pada usia 12 sampai 14 tahun, pertengahan (middle
adolescent) yaitu usia 15 sampai 17 tahun, dan akhir (late adolescent) yaitu usia
18 sampai 20 tahun. Periode late adolescent ditandai oleh tercapainya maturitas
fisik secara sempurna. Perubahan psikososial yang menonjol pada periode ini
antara lain (Brooks, 2011):
34
1) Identitas diri menjadi lebih kuat
2) Mampu memikirkan ide
3) Mampu mengekspresikan perasaan dengan kata-kata
4) Lebih menghargai orang lain
5) Lebih konsisten terhadap minatnya
6) Bangga dengan hasil yang dicapai
7) Selera humor lebih berkembang
8) Emosi lebih stabil.
Pada fase ini remaja lebih memperhatikan masa depan, termasuk peran
yang diinginkan nantinya. Mulai serius dalam berhubungan dengan lawan jenis,
dan mulai dapat menerima tradisi dan kebiasaan lingkungan.
Meskipun berada dalam fase akhir, egosentrisme masih menjadi ciri khas
remaja. Periode penyerapan diri yang ekstrem menjadi penyebab sikap
egosentrisme terus muncul. Pola egosentrisme remaja menyebabkan munculnya
keyakinan bahwa apa yang mereka alami adalah sesuatu yang unik (Elkind,
1967). Remaja yang mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan (misalnya
perceraian orangtua) cenderung sampai pada pemikiran bahwa penderitaan yang
mereka alami tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Egosentrisme inilah yang
menyebabkan remaja tingkat akhir yang mengalami masalah emosional sering
mengkritik diri, merasa terisolasi, dan mengidentifikasi emosi secara berlebihan.
Remaja tingkat akhir juga cenderung mengembangkan teori pribadi
mengenai lingkungan sosialnya, dan teori ini sangat mempengaruhi pembelajaran
35
dan pemikiran mereka (Brooks, 2011). Pengalaman-pengalaman yang pernah
terjadi sepanjang kehidupan remaja menjadi dasar pembentukan teori mereka
mengenai penghayatan diri dan hubungan sosial yang dibentuk. Penghayatan diri
pada remaja tingkat akhir juga disebabkan karena mereka memiliki
kecenderungan untuk membanding-bandingkan keadaan dengan teman sebaya
(Brooks, 2011). Hal ini dikarenakan pertemanan dengan orang-orang berusia
sebaya masih menjadi hal penting bagi mereka.
Penghayatan diri yang negatif, kemampuan untuk mengembangkan teori
pribadi mengenai kehidupan sosial, dan kecenderungan untuk membandingkan
keadaan dengan teman sebaya menyebabkan timbulnya distorsi kognitif, sehingga
mempengaruhi mental dan sikap remaja. Penelitian oleh Cole (2005)
menunjukkan bahwa remaja yang orangtuanya bercerai merasa ditolak, tidak
berharga, dan tidak dicintai oleh orangtua, bahkan lingkungan sosialnya. Lebih
jauh, penelitian oleh Shehan (2003) menjelaskan bahwa remaja yang orangtuanya
bercerai merasa khawatir untuk menjalin komitmen karena bercermin dari
pengalaman orangtua mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar