Jumat, 02 Juli 2021
Desentralisasi Fiskal Terminologi (skripsi dan tesis)
desentralisasi ternyata tidak hanya memiliki satu makna. Ia dapat
diterjemahkan ke dalam sejumlah arti, tergantung pada konteks penggunaannya.
Parson dalam Hidayat (2005) mendefinisikan desentralisasi sebagai berbagi
(sharing) kekuasaan pemerintah antara kelompok pemegang kekuasaan di pusat
dengan kelompok-kelompok lainnya, di mana masing-masing kelompok tersebut
memiliki otoritas untuk mengatur bidang-bidang tertentu dalam lingkup teritorial
suatu negara. Sedangkan Mawhood (1987) dengan tegas mengatakan bahwa
desentralisasi adalah penyerahan (devolution) kekuasaan dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah. Sementara itu, Smith juga merumuskan definisi
desentralisasi sebagai penyerahan kekuasaan dari tingkatan (organisasi) lebih atas
ke tingkatan lebih rendah, dalam suatu hierarki teritorial, yang dapat saja berlaku
pada organisasi pemerintah dalam suatu negara, maupun pada organisasiorganisasi besar lainnya (organisasi non pemerintah) (Hidayat, 2005).
Di Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam UU Nomor 33 tahun 2004,
pengertian desentralisasi dinyatakan sebagai penyerahan wewenang pemerintah
oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (Kuncoro,
2009). Ini berarti desentralisasi merupakan pelimpahan kewenangan dan tanggung
22
jawab (akan fungsi-fungsi publik) dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah. Desentralisasi sesungguhnya merupakan alat atau instrumen yang dapat
digunakan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang efektif dan
partisipatif (Tanzi, 2002). Sebagai suatu alat, desentralisasi dapat digunakan
pemerintah untuk mendekatkan diri dengan rakyatnya, baik untuk memenuhi
tujuan demokratisasi atau demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Secara garis besar, kebijakan desentralisasi dibedakan atas 3 jenis (Litvack, 1999):
1). Desentralisasi politik yaitu pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada
daerah yang menyangkut berbagai aspek pengambilan keputusan, termasuk
penetapan standar dan berbagai peraturan.
2). Desentralisasi administrasi yaitu merupakan pelimpahan kewenangan,
tanggung jawab, dan sumber daya antar berbagai tingkat pemerintahan.
3). Desentralisasi fiskal yaitu merupakan pemberian kewenangan kepada daerah
untuk menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer
dari pemerintahan yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin maupun
investasi.
Ketiga jenis desentralisasi ini memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya dan
merupakan prasyarat untuk mencapai tujuan dilaksanakannya desentralisasi, yaitu
untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Mardiasmo (2009) menjelaskan bahwa
desentralisasi politik merupakan ujung tombak terwujudnya demokratisasi dan
peningkatan partisipasi rakyat dalam tataran pemerintahan. Sementara itu,
desentralisasi administrasi merupakan instrumen untuk melaksanakan pelayanan
kepada masyarakat, dan desentralisasi fiskal memiliki fungsi untuk mewujudkan pelaksanaan desentralisasi politik dan administratif melalui pemberian
kewenangan di bidang keuangan.
Secara konseptual, desentralisasi fiskal juga dapat didefinisikan sebagai suatu
proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada
pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas
pemerintahan yang dilimpahkan (Khusaini, 2006). Dalam pelaksanaannya, konsep
desentralisasi fiskal yang dikenal selama ini sebagai money follows function
mensyaratkan bahwa pemberian tugas dan kewenangan kepada pemerintah daerah
(expenditure assignment) akan diiringi oleh pembagian kewenangan kepada
daerah dalam hal penerimaan/pendanaan (revenue assignment). Dengan kata lain,
penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintah akan membawa konsekuensi
anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Hal ini
berarti bahwa hubungan keuangan pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan
sedemikian rupa sehingga kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab
daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada (Rahmawati,
2008). Prosesnya dapat dilakukan melalui mekanisme dana perimbangan, yaitu
pembagian penerimaan antar tingkatan pemerintahan guna menjalankan fungsifungsi pemerintahan dalam kerangka desentralisasi.
Berdasarkan prinsip money follows function Mahi (2002) menjelaskan bahwa
kajian dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal pada dasarnya dapat menggunakan
dua pendekatan, yaitu pendekatan expenditure assignment dan revenue
assignment. Pendekatan expenditure assignment menyatakan bahwa terjadi
perubahan tanggung jawab pelayanan publik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, sehingga peran lokal public goods meningkat. Sedangkan dalam
pendekatan revenue assignment dijelaskan peningkatan kemampuan keuangan
melalui alih sumber pembiayaan pusat kepada daerah, dalam rangka membiayai
fungsi yang didesentralisasikan.
Dalam membahas desentralisasi fiskal, umumnya terdapat tiga variabel yang
sering digunakan sebagai representasi desentralisasi fiskal, yaitu (Khusaini, 2006);
1). Desentralisasi Pengeluaran
Variabel ini didefinisikan sebagai rasio pengeluaran total masing-masing
kabupaten/kota terhadap total pengeluaran pemerintah (APBN) [Zhang dan Zou,
1998]. Selain itu Phillip dan Woller (1997) menggunakan rasio pengeluaran
daerah terhadap total pengeluaran pemerintah (tidak termasuk pertahanan dan
tunjangan sosial). Variabel ini menunjukkan ukuran relatif pengeluaran
pemerintah antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.
2). Desentralisasi Pengeluaran Pembangunan
Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total pengeluaran pembangunan
masing-masing kabupaten/kota terhadap total pengeluaran pembangunan nasional
(APBN) (Zhang dan Zou, 1998). Variabel ini menunjukkan besaran relatif
pengeluaran pemerintah dalam pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah.
Disamping itu, variabel ini juga mengekspresikan besarnya alokasi pengeluaran
pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah. Dari rasio ini juga diketahui
apakah pemerintah daerah dalam posisi yang baik untuk melaksanakan investasi
sektor publik atau tidak. Jika terdapat hubungan positif antara variabel ini terhadap pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah lokal dalam posisi yang baik
untuk melakukan investasi di sektor publik.
3). Desentralisasi Penerimaan
Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total penerimaan masing-masing
kabupaten/kota (APBD) terhadap total penerimaan pemerintah (Philips dan
Woller, 1997). Variabel ini menjelaskan besaran relatif antara penerimaan
pemerintah daerah terhadap penerimaan pemerintah pusat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar