Jumat, 02 Juli 2021
Dana Perimbangan (skripsi dan tesis)
Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN, yang
dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi. Menurut UU No. 25 Tahun 1999 pasal 6, dana
perimbangan terdiri dari ; 1) Bagian Daerah (Dana Bagi Hasil) dari PBB, BPHTB,
PPh orang pribadi dan sumber daya alam (SDA), 2) Dana Alokasi Umum (DAU),
dan 3) Dana Alokasi Khusus (DAK).
Untuk mengatasi kurangnya sumber pajak tersebut, UU 25 Tahun 1999
menyediakan dana bagi hasil yang dibagi berdasarkan persentase tertentu bagi
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pendapatan pemerintah pusat dari
eksploitasi sumber daya alam, seperti minyak dan gas, pertambangan, dan
kehutanan dibagi dalam proporsi yang bervariasi antara pemerintah pusat,
provinsi, kota, dan kabupaten.
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, muncul berbagai protes ketidak
setujuan atas isi undang-undang tersebut. Protes diajukan oleh daerah-daerah yang
kaya sumber daya alam, seperti Nangro Aceh Darussalam, Riau, dan Kalimantan
Timur. Mereka sangat tidak setuju dengan ketetapan dalam hal alokasi dana
perimbangan (DAU, DAK, DBH), dan menghendaki adanya revisi terhadap UU
tersebut. (Kuncoro, 2012).
31
1. Dana Alokasi Umum (DAU)
Diperkenalkannya DAU dan DAK berarti menghapus subsidi daerah otonom dan
dana inpres yang diperkenalkan pada era orde baru (Kuncoro, 2004). DAU
merupakan block grant yang diberikan pada semua kabupaten dan kota untuk
mengisi kesenjangan antara kapasitas dengan kebutuhan fiskalnya, dan
didistribusikan dengan formula berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang secara
umum mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima
lebih banyak daeripada daerah kaya. Dengan kata lain, tujuan penting alokasi
DAU adalah dalam kerangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan
publik antar pemerintah daerah di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Pasal 7 menggariskan bahwa pemerintah
pusat berkewajiban menyalurkan paling sedikit 25 % dari penerimaan dalam
negerinya dalam bentuk DAU. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 27
menggariskan bahwa jumlah DAU sekurang-kurangnya 26% dari penerimaan
dalam negeri netto yang ditetapkan dalam APBN.
Secara definisi, DAU dapat diartikan sebagai berikut (Sidik, 2003) : 1) Salah satu
komponen dari Dana Perimbangan pada APBN yang pengalokasiannya
didasarkan pada konsep kesenjangan fiskal atau celah fiskal (fiscal gap), yaitu
selisih antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal; 2) instrumen untuk
mengatasi horizontal imbalance yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan
kemampuan keuangan antardaerah di mana penggunannya ditetapkan sepenuhnya
oleh daerah; 3) equalization grant berfungsi menetralisasi ketimpangan kemampuan keuangan dengan adanya PAD, bagi hasil pajak, dan bagi hasil
sumber daya alam (SDA) yang diperoleh daerah.
Berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004, plafon DAU ditetapkan
sekurang-kurangnya 26 % dari penerimaan negara netto dalam APBN. Formulasi
DAU dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. DAU suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar.
b. Celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal
daerah, di mana kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan
daerah untuk melaksanakan fungsi pelayanan dasar umum. c. Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah.
d. DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah provinsi dihitung berdasarkan
perkalian bobot daerah provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU
seluruh provinsi. Bobot daerah provinsi merupakan perbandingan antara celah
fiskal daerah provinsi yang bersangkutan dengan total celah fiskal seluruh
daerah provinsi.
e. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan nol, menerima DAU
sebesar alokasi daerah. Daerah yang memiliki celah fiskal negatif dan nilai
negatif tersebut lebih kecil dari alokasi dasar, menerima DAU sebesar alokasi
dasar setelah dikurangi nilai celah fiskal. f. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut sama
atau lebih besar dari alokasi dasar tidak menerima DAU. Untuk
mengompensasi kekurangan, ditambahkan dana melalui dana penyeimbang.
Dengan asumsi bahwa terdapat tambahan dana untuk DAU melalui dana
penyeimbang, kebutuhan plafon DAU sebenarnya lebih besar dari 26 %
penerimaan dalam negeri netto dalam APBN.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar