Menurut Gentile & Lalley, mengemukakan bahwa
kompetensi yang harus dicapai peserta didik dirumuskan dengan urutan yang
hirarkis, Penilaian acuan patokan, dan setiap kompetensi harus diberikan
feedback , Pemberian pembelajaran remedial serta bimbingan yang diperlukan,
Pemberian program pengayaan bagi peserta didik yang mencapai ketuntasan belajar
lebih awal (dalam Suprawoto , 2007:
7).
Menurut Kindsvatter, pembelajaran tuntas, metode
pembelajaran yang sangat ditekankan adalah pembelajaran individual,
pembelajaran dengan teman atau sejawat, dan bekerja dalam kelompok kecil.
Berbagai jenis metode (multi metode) pembelajaran harus digunakan untuk kelas
atau kelompok. Pembelajaran tuntas lebih efektif menggunakan pendekatan
tutorial dengan sesion-sesion kelompok kecil, tutorial orang perorang,
pembelajaran terprogram, buku-buku kerja, permainan dan pembelajaran berbasis
komputer (dalam Suprawoto, 2007: 7).
Peran Peserta Didik sebagai subjek didik, fokus pada
`Peserta didik dan yang akan dikerjakannya, kemajuannya bertumpu pada usaha
serta ketekunannya secara individual, sedangkan peran guru pada pembelajaran
tuntas, antara lain : menjabarkan KD (Kompetensi Dasar) ke dalam satuan-satuan
(unit-unit) yang lebih kecil dengan memperhatikan pengetahuan prasyarat, menata
indikator berdasarkan cakupan serta urutan unit, menyajikan materi dengan
metode dan media yang sesuai, memonitor seluruh pekerjaan peserta didik,
menilai perkembangan peserta didik dalam pencapaian kompetensi (kognitif,
psikomotor, dan afektif), menggunakan teknik diagnostik, menyediakan sejumlah
alternatif strategi pembelajaran bagi peserta didik yang mengalami kesulitan.
Sistem penilaian menggunakan ulangan/ujian
berkelanjutan, yang ciri-cirinya adalah: ulangan dilaksanakan untuk melihat
ketuntasan setiap Kompetensi Dasar, ulangan dapat dilaksanakan untuk satu atau
lebih Kompetensi Dasar, hasil ulangan dianalisis dan ditindaklanjuti melalui
program remedial, program pengayaan, ulangan mencakup aspek kognitif dan
psikomotor, aspek afektif diukur melalui kegiatan inventori afektif
seperti:pengamatan, kuesioner, dan sebagainya
(Suprawoto, 2007:
7).
Pendekatan belajar tuntas (mastery learning)
dapat dilaksanakan dan mempunyai efek meningkatkan motivasi belajar intrinsik.
Pendekatan ini mengakui dan mengakomodasi semua siswa yang mempunyai berbagai
tingkat kemampuan, minat, dan bakat tadi asal diberikan kondisi-kondisi belajar
yang sesuai. Adanya alokasi waktu khusus untuk remedial dan pengayaan dalam
penerapan KTSP di sekolah-sekolah memberikan kesempatan kepada semua siswa
untuk menuntaskan belajarnya pada suatu kajian (Suhadi, 2009 : 1).
Pada pembelajaran yang menggunakan pendekatan
belajar tuntas (mastery learning), siswa-siswa yang mengalami kesulitan
mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan akan mendapatkan pelajaran
tambahan agar mereka juga bisa sukses melewati kajian itu. Sedangkan bagi siswa
yang berhasil tuntas menguasai kajian tersebut dapat diberikan program
pengayaan. Satu hal penting yang harus diingat dalam penerapan pendekatan
belajar ini adalah: Penggunaan komunikasi yang tepat memegang peranan sangat
penting. Ini berkaitan dengan upaya agar siswa yang lamban tidak merasa rendah
diri, dan siswa yang cepat menguasai suatu kajian tidak menjadi tinggi hati.
Juga, kemungkinan efek bahwa mengulang-ulang suatu kajian dan kebutuhan waktu
yang banyak untuk menguasai suatu materi ajar bagi siswa yang lamban sebagai
sesuatu yang memalukan harus dihindarkan. Efek pendekatan belajar tuntas
(mastery learning) justru harus dan dapat diarahkan oleh guru agar menumbuhkan
rasa percaya diri dalam diri siswa. Guru harus dapat meyakinkan bahwa semua
siswa bisa menguasai suatu materi ajar, walaupun beberapa memerlukan alokasi
waktu yang lebih banyak dan upaya yang lebih keras. Kebutuhan alokasi waktu
yang berbeda-beda, dan upaya keras atau mudah yang diperlukan masing-masing
siswa adalah suatu hal yang sangat alamiah dan lumrah (Suhadi, 2009 : 2).
Pembelajaran tuntas (mastery learning) dalam
proses pembelajaran berbasis kompetensi dimaksudkan adalah pendekatan dalam
pembelajaran yang mempersyaratkan peserta didik menguasai secara tuntas seluruh
standar kompetensi maupun kompetensi dasar mata pelajaran tertentu. Dalam model
yang paling sederhana, dikemukakan bahwa jika setiap peserta didik diberikan
waktu sesuai dengan yang diperlukan untuk mencapai suatu tingkat penguasaan,
dan jika dia menghabiskan waktu yang diperlukan, maka besar kemungkinan peserta
didik akan mencapai tingkat penguasaan kompetensi. Tetapi jika peserta didik
tidak diberi cukup waktu atau dia tidak dapat menggunakan waktu yang diperlukan
secara penuh, maka tingkat penguasaan kompetensi peserta didik tersebut belum
optimal (Purnomo, 2009: 2).
Menurut Block (Purnomo,, 2009: 3), menyatakan
tingkat penguasaan kompetensi peserta didik sebagai berikut : Model ini
menggambarkan bahwa tingkat penguasaan kompetensi (degree of learning)
ditentukan oleh seberapa banyak waktu yang benar-benar digunakan (time
actually spent) untuk belajar dibagi dengan waktu yang diperlukan (time
needed) untuk menguasai kompetensi tertentu.
Konsep belajar tuntas mendasarkan pengembangan
pengajarannya pada prinsip-prinsip sebagai berikut: Sebagian besar siswa dalam
situasi dan kondisi belajar yang normal dapat menguasai sebagian terbesar bahan
yang diajarkan. Tugas guru untuk merancang pengajarannya sedemikian rupa
sehingga sebagian besar siswa dapat menguasai hampir seluruh bahan ajaran, guru
menyusun strategi pengajaran tuntan mulai dengan merumuskan tujuan-tujuan
khusus yang hendak dikuasai oleh siswa, wesuai dengan tujuan-tujuan khusus
tersebut guru merinci bahan ajar menjadi satuan-satuan bahan ajaran yang kecil
yang medukung pencapaian sekelompok tujuan tersebut, selain disediakan bahan
ajaran untuk kegiatan belajar utama, juga disusun bahan ajaran untuk kegiatan
perbaikan dan pengayaan. Konsep belajar tuntas sangat menekankan pentingnya
peranan umpan balik, penilaian hasil belajar tidak menggunakan acuan norma,
tetapi menggunakan acuan patokan., konsep belajar tuntas juga memperhatikan
adanya perbedaan-perbedaan individual. Prinsip ini direalisasikan dengan
memberikan keleluasaan waktu, yaitu siswayang pandai atau cepat belajar bisa
maju lebih dahulu pada satuan pelajaran berikutnya, sedang siswa yang lambat
dapat menggunakan waktu lebih banyak atau lama sampai menguasai secara tuntas
bahan yang diberikan (Hikmah, 2009: 2).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar