Departemen Kesehatan Republik
Indonesia melalui Direktorat Pengawasan Obat Tradisional membagi obat
tradisional menjadi Golongan Jamu dan Golongan Obat Fitoterapi. Selain itu terdapat
kelompok tumbuhan yang disebut TOGA (Taman Obat Keluarga) yang dulu disebut
Apotik Hidup. Terhadap obat tradisional (jamu), pemerintah belum mengeluarkan
persyaratan yang mantap, namun dalam pembinaan jamu, pemerintah telah
mengeluarkan beberapa pe-tunjuk yakni sebagai berikut (Santosa, 1989):
a. Kadar air tidak lebih dari 10%. Ini untuk mencegah ber-kembang biaknya
bakteri, kapang dan khamir (ragi).
b. Jumlah kapang dan khamir tidak lebih dari
10.000 (se-puluh ribu).
c. Jumlah bakteri nonpatogen tidak lebih dari
1.000.000 (1 juta).
d. Bebas dari bakteri patogen seperti
Salmonella.
e. Jamu yang berbentuk pil atau tablet, daya
hancur tidak lebih dari 15 menit (menurut Farmakope Indonesia). Toleransi
sampai 45 menit.
f. Tidak boleh tercemar atau diselundupi
bahan kimia ber-khasiat.
Meskipun penelitian Obat
Tradisional di Indonesia belum tuntas, namun sejak dulu masyarakat telah
menggunakan jamu dengan berbagai indikasi atau kegunaannya, oleh karena itu
jamu pun perlu diteliti manfaat dan mudaratnya. Sebagian bersifat sebagai
plasebo saja namun sebagian lagi mungkin mempunyai manfaat tertentu. Sebagai
ilmuwan hendaknya kita harus bersikap di tengah-tengah sampai secara obyektif
dapat dibuktikan bahwa suatu jamu memang benar mem-punyai manfaat atau
sebaliknya.
Masalah efek samping akibat
jamu harus selalu dipantau. Apakah hal ini akibat jamunya atau akibat zat kimia
yang dicemarkan atau dicampurkan ke dalam jamu supaya cepat terasa efeknya,
sebagai contoh misalnya androgen atau korti-kosteroid dalam jamu nafsu makan. Adanya
diazepam dalam jamu saraf atau HCT dalam jamu tekanan darah tinggi
(hiper-tensi) dapat saja menimbulkan efek samping yang mungkin serius karena
dipakai terus-menerus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar