Sabtu, 19 September 2015

Pengertian Perjanjian (Hukum, Judul Hukum, Konsultasi Skripsi, SKRIPSI)

 Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari suatu istilah dalam bahasa Belanda yaitu overeenkomst. Di kalangan ahli hukum masih terjadi perbedaan pendapat tenntang istilah dan pengertian overeenkomst. Sebagian ahli hukum menerjemahkan overeenkomst dengan istilah perjanjian, sementara sebagian ahli hukum yang lain menterjemahkan dengan istilah persetujuan.Istilah overeenkomst diterjemahkan menjadi persetujuan oleh Wirjono Prodjodikoro.  Setiawan sependapat dengan Wirjono Prodjodikoro berkaitan dengan penggunaan istilah persetujuan untuk menterjemahkan overeenkomst. [1]
Menurut Setiawan overeenkomst berasal dari kata kerja overeenkomen yang artinya setuju atau sepakat, jadi overeenkomst mengandung kata sepakat sesuai dengan asas konsensualisme yang dianut oleh KUH Perdata. Oleh karena itu istilah terjemahannyapun harus dapat mencerminkan asas kata sepakat tersebut. Berdasarkan istilah itu  beliau lebih menyetujui penggunaan istilah persetujuan.  Subekti cenderung menggunakan istilah perjanjian sebagai terjemahan dari overeenkomst, meskipun beliau berpendapat bahwa antara perjanjian dan persetujuan adalah sama karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu.  Sementara itu Sudikno Mertokusumo menerjemahkan overeenkomst dengan istilah perjanjian. Penerjemahan demikian karena salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya toesteming yang dapat diterjemahkan sebagai persetujuan, kata sepakat, persetujuan kehendak atau konsensus. Kata sepakat, persesuaian kehendak atau konsesnsus. Apabila overeenkomst diterjemahkan sebagai persetujuan, maka akan menimbulkan istilah perjanjian sebagai terjemahan dari overeenkomst. Dari uraian tersebut menunjukan sampai saat ini masih belum ada kesamaan pendapat mengenai istilah tersebut, namun di dalam kenyataannya lebih banyak menerjemahkan dengan perjanjian, misalnya perjanjian jual-beli, perjanjian sewa-menyewa dan lain sebagainya. Oleh sebab itu dalam penulisan ini digunakan istilah perjanjian yang merupakan terjemahan dari overeenkomst. [2]
Pasal 1313 KUH Perdata memberikan pengertian perjanjian” merupakan suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Definisi tersebut mengundang kritik dari para sarjana hukum yang menganggap perumusan itu mengandung banyak kelemahan, kelemahan tersebut antara lain Pasal 1313 tersebut disatu sisi kurang lengkap disisi lain terlalu luas. Pengertian tersebut kurang lengkap karena: kalimat “….suatu perbuatan…” seolah-oleh mencakup juga tindakan-tindakan seperti zaakwarneming (pengurusan kepentingan orang lain dengan sukarela), onrechtmatigedaad (perbuatan melawan hukum). Perbuatan-perbuatan itu memang menimbulkan perikatan, tetapi perikatan tersebut timbul dari undang-undang bukan dari perjanjian. Selain hal itu kalimat “…dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Seolah-olah menganggap perjanjian itu sebagai perjanjian sepihak, karena yang mengikatkan diri hanya satu pihak sedangka pihak yang lain pasif.
Pengertian perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata terlalu luas sebab pengertian tersebut juga mencakup perjanjian di lapangan hukum lain, seperti perjanjian kawin. Berdasarkan alasan tersebut maka Vollmar mengusulkan agar rumusan Pasal 1313 KUH Perdata itu diubah menjadi “ perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”[3]
Subekti mengartikan perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk  melakukan suatu hal.  Sudikno Mertokusumo mendefinisikan perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.  Dari beberapa pendapat tersebut kiranya lebih baik menggunakan pengertian dari Sudikno Mertokusumo karena lebih lengkap dan jelas.[4]
Perjanjian diatur di dalam Buku III KUH Perdata dibawah judul tentang Perikatan. Buku III KUH Perdata tersebut terdiri dari 18 bab yang dapat dibagi dalam dua bagian yaitu bagian umum (Bab I sampai dengan Bab IV). Bagian umum memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan pada umumnya. Ketentuan pada bagian umum ini dapat diberlakukan pada semua perjanjian baik yang diatur di dalam KUH Perdata maupun perjanjian yang belum diatur di dalam KUH Perdata yang merupakan perjanjian jenis baru.
Ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Buku III  KUH Perdata bersifat terbuka, artinya memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian apa saja asalkan tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum maupun kesusilaan. Selain bersifat terbuka, ketentuan di dalam Buku III KUH Perdata juga sebagai hukum pelengkap, artinya melengkapi apabila perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak lengkap, demikian pula para pihak dapat menyimpangi ketentuan di dalam Buku III KUH Perdata dan membuat ketentuan sendiri dalam perjanjian yang mereka buat.


[1] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Hal 11
[2] Subekti, Hukum Perjanjian, PT.Citra Aditya Bakti,Bandung, 1989hal.1
[3] Subekti, ibid, hal.1
[4] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, hal 97

Tidak ada komentar: