Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari
suatu istilah dalam bahasa Belanda yaitu overeenkomst. Di kalangan ahli hukum
masih terjadi perbedaan pendapat tenntang istilah dan pengertian overeenkomst.
Sebagian ahli hukum menerjemahkan overeenkomst dengan istilah perjanjian,
sementara sebagian ahli hukum yang lain menterjemahkan dengan istilah
persetujuan.Istilah overeenkomst diterjemahkan menjadi persetujuan oleh Wirjono
Prodjodikoro. Setiawan sependapat dengan
Wirjono Prodjodikoro berkaitan dengan penggunaan istilah persetujuan untuk
menterjemahkan overeenkomst. [1]
Menurut
Setiawan overeenkomst berasal dari kata kerja overeenkomen yang artinya setuju
atau sepakat, jadi overeenkomst mengandung kata sepakat sesuai dengan asas
konsensualisme yang dianut oleh KUH Perdata. Oleh karena itu istilah
terjemahannyapun harus dapat mencerminkan asas kata sepakat tersebut.
Berdasarkan istilah itu beliau lebih
menyetujui penggunaan istilah persetujuan.
Subekti cenderung menggunakan istilah perjanjian sebagai terjemahan dari
overeenkomst, meskipun beliau berpendapat bahwa antara perjanjian dan
persetujuan adalah sama karena dua pihak itu setuju untuk melakukan
sesuatu. Sementara itu Sudikno
Mertokusumo menerjemahkan overeenkomst dengan istilah perjanjian. Penerjemahan demikian
karena salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya toesteming yang dapat
diterjemahkan sebagai persetujuan, kata sepakat, persetujuan kehendak atau
konsensus. Kata sepakat, persesuaian kehendak atau konsesnsus. Apabila
overeenkomst diterjemahkan sebagai persetujuan, maka akan menimbulkan istilah
perjanjian sebagai terjemahan dari overeenkomst. Dari uraian tersebut
menunjukan sampai saat ini masih belum ada kesamaan pendapat mengenai istilah
tersebut, namun di dalam kenyataannya lebih banyak menerjemahkan dengan
perjanjian, misalnya perjanjian jual-beli, perjanjian sewa-menyewa dan lain
sebagainya. Oleh sebab itu dalam penulisan ini digunakan istilah perjanjian
yang merupakan terjemahan dari overeenkomst. [2]
Pasal
1313 KUH Perdata memberikan pengertian perjanjian” merupakan suatu perbuatan di
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih”. Definisi tersebut mengundang kritik dari para sarjana hukum yang
menganggap perumusan itu mengandung banyak kelemahan, kelemahan tersebut antara
lain Pasal 1313 tersebut disatu sisi kurang lengkap disisi lain terlalu luas. Pengertian
tersebut kurang lengkap karena: kalimat “….suatu perbuatan…” seolah-oleh
mencakup juga tindakan-tindakan seperti zaakwarneming (pengurusan kepentingan
orang lain dengan sukarela), onrechtmatigedaad (perbuatan melawan hukum).
Perbuatan-perbuatan itu memang menimbulkan perikatan, tetapi perikatan tersebut
timbul dari undang-undang bukan dari perjanjian. Selain hal itu kalimat
“…dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang
lain atau lebih”. Seolah-olah menganggap perjanjian itu sebagai perjanjian
sepihak, karena yang mengikatkan diri hanya satu pihak sedangka pihak yang lain
pasif.
Pengertian
perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata terlalu luas sebab pengertian
tersebut juga mencakup perjanjian di lapangan hukum lain, seperti perjanjian
kawin. Berdasarkan alasan tersebut maka Vollmar mengusulkan agar rumusan Pasal
1313 KUH Perdata itu diubah menjadi “ perjanjian adalah suatu perbuatan hukum
dengan mana satu orang atau lebih saling mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih lainnya”[3]
Subekti
mengartikan perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada
orang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melakukan suatu hal. Sudikno Mertokusumo mendefinisikan perjanjian
adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat
untuk menimbulkan akibat hukum. Dari
beberapa pendapat tersebut kiranya lebih baik menggunakan pengertian dari
Sudikno Mertokusumo karena lebih lengkap dan jelas.[4]
Perjanjian
diatur di dalam Buku III KUH Perdata dibawah judul tentang Perikatan. Buku III
KUH Perdata tersebut terdiri dari 18 bab yang dapat dibagi dalam dua bagian
yaitu bagian umum (Bab I sampai dengan Bab IV). Bagian umum memuat
peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan pada umumnya. Ketentuan pada
bagian umum ini dapat diberlakukan pada semua perjanjian baik yang diatur di
dalam KUH Perdata maupun perjanjian yang belum diatur di dalam KUH Perdata yang
merupakan perjanjian jenis baru.
Ketentuan-ketentuan
yang terdapat di dalam Buku III KUH
Perdata bersifat terbuka, artinya memberikan kebebasan yang seluas-luasnya
kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian apa saja asalkan tidak melanggar
undang-undang, ketertiban umum maupun kesusilaan. Selain bersifat terbuka,
ketentuan di dalam Buku III KUH Perdata juga sebagai hukum pelengkap, artinya
melengkapi apabila perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak lengkap,
demikian pula para pihak dapat menyimpangi ketentuan di dalam Buku III KUH
Perdata dan membuat ketentuan sendiri dalam perjanjian yang mereka buat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar