Menurut
Sudikno mertokusumo asas hukum bukanlah kaedah hukum yang kongkrit, melainkan
merupakan latar belakang peraturan yang kongkrit dan bersifat umum atau
abstrak. Adapun asas hukum perjanjian tersebut adalah[1]:
a.
Asas Kepribadian
Asas kepribadian ini berkenaan
dengan subyek hukum yang terikat pada perjanjian. Asas ini termuat dalam Pasal
1315 dan 1340 KUH Perdata. Dinyatakan di dalam Pasal 1315 bahwa”pada umumnya
tidak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau minta
ditetapkan suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri”. Ketentuan tersebut
lebih dipertegas oleh Pasal 1340 ayat (1) dan (2). Pasal 1340 ayat (1)
dinyatakan ”perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”, ayat (2) “ suatu perjanjian tidak dapat
membawa rugi kepada pihak ketiga, tak dapat pihak ketiga mendapat manfaat karenanya
selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317” dari ketentuan tersebut
menunjukkan bahwa pada umumnya tidak seorangpun dapat mengadakan perjanjian
kecuali untuk dirinya sendiri, sehingga apabila para pihak mengadakan
perjanjian maka perjanjian itu hanya mengikat dan berlaku bagi para pihak yang
membuatnya. Pihak ketiga tidak akan memperoleh manfaat.ataupun menderita
kerugian karena perjanjian itu. Pengecualian asas kepribadian terdapat dalam
Pasal 1317 KUH Perdata mengenai janji untuk kepentingan pihak ketiga atau
derden beding. Di dalam Pasal 1317 tersebut mengandung maksud bahwa suatu janji
yang memuat suatu hak untuk pihak ketiga tidak dapat ditarik kembali apabila
pihak ketiga tersebut menyatakan kehendaknya untuk mempergunakan hak tersebut[2].
Perluasan
terhadap asas kepribadian tersebut terdapat dalam Pasal 1318 KUH Perdata
mengenai pihak-pihak yang menadakan perjanjian yaitu meliputi ahli warisnya dan
orang-orang yang memperoleh hak dari padanya, namun hal tersebut tergantung
pada sifat perjanjian yang diadakan oleh para pihak baik yang secara tegas
ditetapkan maupun yang hanya disimpulkan bahwa tidak demikian yang dimaksud.
b.
Asas Konsensualisme
Asas
konsensualime berasal dari bahasa latin consensus yang berarti sepakat. Sepakat
yang dimaksud adalah adanya persesuaian kehendak antara phak-pihak yang
mengadakan perjanjian. Asas konsensualime ini berkaitan erat denan saat
lahirnya perjanjian. Di dalam Pasal 1320 KUH Perdata dinyatakan bahwa salah atu
syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata sepakat, berdasarkan asas
konsensualisme, maka pada dasarnya suatu perjanjian itu lahir sejak tejadinya
kata sepakat mengenai hal-hal pokok, misalnya dalam perjanjian jual-beli, hal
yang pokok adalah mengenai barang dan harga, oleh karena itu jika sudah sepakat
mengenai barang dan harga tersebut, maka perjanjian jual-beli telah lahir,
sehingga tidak diperlukan formalitas lain[3].
Pengecualian
asas konsensualisme adalah apabila undang-undang mensyaratkan adanya formalitas
tertentu yang apabila tidak dipenuhi maka perjanjian dianggap tidak ada. Contoh
adalah perjanjian perdamaian, perjanjian jual-beli tanah, kedua perjanjian
tersebut memerlukan formalitas tertentu, yaitu perjanjian perdamaian harus
dalam bentuk tertulis, dan perjanjian jual-beli tanah harus dengan akta yang
dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pengecualian yang lain terhadap
asas konsensualisme adalah terhadap perjanjian riil, perjanjian ini baru lahir
jika yang menjadi obyek perjanjian tersebut telah diserahkan, sebagai contoh
perjanjian penitipan barang, perjanjian ini baru lahir jika barang yang
dititipkan diserahkan.
c.
Asas Kebebasan Berkontrak
Asas
kebebasan berkontrak ini dapat disipulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1)
KUH Perdata yang dinyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dari kata “semua
perjanjian” itulah terkandung asas kebebasan berkontrak, isi kebebasan
berkontark tersebut adalah[4]:
a.
bebas mengadakan perjanjian atau tidak.
b.
bebas mengadakan perjanjian kepada siapapun yang dikehendaki.
c.
bebas menentukan isi dan syarat-syarat perjanjian yang dibuat.
d.
bebas menentukan bentuk perjanjian yang akan dibuat.
e.
bebas menentukan hukum mana yang akan diberlakukan.
Menurut
asas kebebasan berkontrak ini hukum perjanjian memberikan kebebasan yang
seluas-luasnya kepada masyarakat untuk membuat ketentuan sendiri atau
mengadakan perjanjian apa saja, dengan siapa saja asal tidak bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan maupun ketertiban umum. Pengecualian terhadap
asas ini adalah:
1)
Adanya standarisasi
dalam perjanjian atau adanya perjanjian standar. Hal ini disebabkan
perkembangan ekonomi yang menghendaki segala serba cepat, yang pada umumnya
salah satu pihak ada yang mempunyai kedudukan secara ekonomi lebih kuat di
dalam membuat perjanjian tersebut. Perjanjian standar tersebut merupakan
perjanjian yang isinya dibakukan dalam bentuk formulir, sehingga yang dibakukan
adalah bentuk , isi dan syarat-syarat perjanjian.
2)
Woeker Ordonantie 1938,
atau dikenal dengan undang-undang riba. Ini merupakan bentuk campur tangan
pemerintah guna melindungi pihak-pihak yang secara ekonomi lemah kedudukannya.
Jika dalam suatu perjanjian kewaajiban para pihak yang bersifat timbal balik
ternyata terdapat ketimpangan yang sedemikian rupa, sehingga melampaui batas
yang layak maka perjanjian itu dapat dibatalkan baik atas permintaan para pihak
maupun oleh hakim karena jabatannya, kecuali jika dapat dibuktikan bahwa:
a.
Pihak yang dirugikan
telah menginsyafi akibat yang timbul dari perjanjian yang dibuatnya;
b.
Pihak yang dirugikan
tidak bertindak secara bodoh atau kurang pengalaman.
d.
Asas kekuatan Mengikat
(Pacta Sunt Servanda)
Asas
ini berkaitan erat dengan akibat perjanjian, ini berarti kedua belah pihak
terikat denan adanya kesepakatan dalam perjanjian yang telah mereka buat, dan
terikat dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian tersebut. Asas
kekuatan mengikat ini dapat tersimpul di dalam Pasal 1338 ayat (1) yang
dinyatakan “ semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya’. Dari ketentuan tersebut dapat
diketahui bahwa kekuatan mengikat suatu perjanjian tersebut baru ada apabila
perjanjian yang dibuat tersebut sah menurut hukum, hal tersebut dapat diketahui
dari anak kalimat “secara sah”. Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuatnya
harus memenuhi persyaratan sebagaimana ditentkan di dalam Pasal 1320 KUH
Perdata tentang syarat sahnya perjanjian. Anak kalimat selanjutnya ‘…berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Ini mengandung arti bahwa
perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut mempunyai kekuatan mengikat dan
memaksa sehingga para pihak dalam perjanjian seolah-olah membuat undang-undang
yang pada akhirnya ia harus melaksanakan undang-undang yang dibuatnya itu,
pelanggaran terhadap undang-undang yang telah dibuatnya mengandung konskuensi
untuk mempertanggung jawabkannya.[5]
Asas
pacta sunt servanda ini menjamin adanya
kepastian hukum, para pihak tidak dapat semaunya melepaskan diri secara
sepihak terhadap perjanjian yang dibuatnya tanpa ksepakatan dari pihak yang
lain. Hal tersebut ditegaskan di dalam Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata yang dinyatakan bahwa “perjanjian tidak dapat ditarik kembali
selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan yang oleh
undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.” Adanya ketentuan tersebut, maka para
pihak harus mentaati dan melaksanakan apa yang telah mereka sepakati bersama.
Pihak ketiga termasuk hakim wajib menghormati perjanjian yang dibuat oleh para
pihak tersebut, dalam arti:
a.
mengakui keberadaan perjanjian yang dibuatnya;
b.
tidak mencampuri isi perjanjian tersebut , tidak menambah, mengurangi ataupun
menghilangkan kewajiban kontraktual yang ada dalam perjanjian tersebut.
e.
Asas Itikad Baik
Asas
ini berkaian dengan pelaksanaan suatu perjanjian yang harus dilaksanakan dengan
itikad baik, hal tersebut dapat diketemukan dalam Pasal 1338 ayat (3), yang
dinyatakan bahwa “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
Itikad baik tersebut mengandung dua pengertian yaitu[6]:
i. itikad
baik dalam pengertian subyektif
Hal ini merupakan sikap batin seseorang
pada saat dimulainya suatu hubungan hukum yang berupa perkiraan bahwa
syarat-syarat yang diperlukan telah terpenuhi, ini berarti adanya sikap jujur
atau bersih dan tidak bermaksud menyembunyikan sesuatu yang buruk dan dapat
merugikan pihak lain, oleh karena itu itikat baik dalam pengertian ini
merupakan kejujuran.
ii. Itikad
baik dalam pengertian obyektif
Hal ini merupakan tindakan seseorang di
dalam melaksanakan suatu perjanjian, yaitu dalam melaksanakan hak dan kewajiban
harus berjalan sesuai dengan ketentuan dan mengindahkan norma kepatutan dan
kesusilaan.
Apabila
terjadi perselisihan dalam pelaksanaan itikad baik ini, hakim diberi kewenangan
oleh undang-undang untuk mengawasi dan menilai pelaksanaan perjanjian ada
tidaknya pelanggaran terhadap norma kepatutan dan norma kesusilaan. Di dalam
melaksanakan suatu perjanjian dengan itikad baik, para pihak mempunyai
keharusan untuk tidak melakukan segala sesuatu yang bertentangan dengan norma
kesusilaan dan kepatutan, sehingga diharapkan tercapai keadilan bagi kedua
belah pihak.
1. Syarat
Sahnya Perjanjian
Berdasarkan
ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata ditentukan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian
harus memenuhi 4 syarat, keempat syarat tersebut adalah[7]:
a.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b.
Kecakapan untuk membuat perjanjian.
c.
Mengenai hal tertentu.
d.
Suatu sebab yang khalal.
Keempat
syarat tersebut merupakan suatu keharusan di dalam suatu perjanjian, maka tidak
terpenuhi salah satu syarat dapat mengakibatkan perjanjian tersebut tidak sah,
dengan ancaman batal atau dapat dibatalkan. Dari keempat syarat tersebut dapat
digolongkan menjadi dua yaitu:
a.
Syarat subyektif.
b.
Syarat obyektif.
Syarat
subyektif merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh para subyek di dalam
perjanjian tersebut, yang meliputi adanya kesepakatan dan adanya kecakapan
untuk membuat suatu perjanjian, sedangkan syarat obyektif adalah syarat yang
harus dipenuhi oleh obyek perjanjian yang dibuatnya, yaitu mengenai hal
tertentu dan suatu sebab yang khalal.
Pembedaan
syarat subyektif dan syarat obyektif tersebut sangat penting artinya untuk
melihat akibat hukum yang timbul apabila syarat tersebut tidak terpenuhi. Tidak
terpenuhinya syarat subyektif akan menimbulkan akibat hukum yang berbeda dengan
tidak terpenuhinya syarat obyektif. Jika tidak terpenuhi syarat subyektif, maka
perjanjian yang dibuatnya dapat dimintakan pembatalan atau dapat dibatalkan
(vernietigbaarheid atau viodable). Pihak yang dapat memintakan pembatalan
adalah pihak yang tidak memberikan sepakat, atau sepakat yang diberikan tidak
bebas, atau pihak yang tidak cakap, dalam hal ini orang tua, wali atau
pengampu. Sebelum ada permohonan pembatalan dari pihak yang bersangkutan, maka
perjanjian tersebut berjalan terus sebagaimana halnya sebagai suatu perjanjian
yang tidak mempunyai cacat hukum. Pasal 1454 KUH Perdata membatasi jangka waktu
untuk mengajukan permohonan pembatalan suatu perjanjian yang dibuatnya, yaitu
dalam kurun waktu 5 tahun. Jangka waktu itu dihitung sejak hari kedewasaan
dalam hal belum dewasa, sejak hari pencabutan pengampuan dalam hal orang
tersebut di bawah pengampuan, atau sejak diketahuinya adanya kekilafan atau
adanya penipuan dalam hal ada kekilafan atau adanya penipuan oleh salah satu
pihak dalam perjanjian tersebut.
Apabila
syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak
tersebut adalah batal demi hukum atau nietig, namun demikian yang berhak menentukan perjanjian tersebut
batal demi hukum tetap harus diajukan di muka pengadilan. Selanjutnya 4 syarat
sahnya perjanjian diuraikan satu persatu yaitu:
1.
Sepakat untuk mengikatkan diri
Syarat pertama untuk sahnya perjanjian adalah
adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri. Sepakat merupakan apa
yang dikehendaki pihak yang satu dikehendaki pula oleh pihak yang lain dalam
kebalikan, kesepakatan ini mengenai hal-hal yang esensial atau pokok, sehingga
dalam perjanjian jual beli misalnya hal yang pokok adalah mengenai barang dan
harga, maka dalam hal ini sepakat pihak yang satu menghendaki barang dan pihak
yang lainnya menghendaki uang.
Kesepakatan
atau kata sepakat tersebut harus diberikan secara bebas, dan untuk menentukan
ada kebebasan dalam kesepakatan atau tidak, di dalam KUH Perdata menentukan
bahwa ada 3 hal yang menentukan bahwa kesepakatan tersebut benar-benar bebas
yaitu tidak ada paksaan, tidak ada kekilafan dan tidak terjadi penipuan. Hal
tersebut dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 1321 KUH Perdata “tiada sepakat
yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekilafan, atau diperoleh dengan
paksaan atau penipuan”
Kekilafan
(dwaling) atau kesesatan terjadi apabila salah satu pihak memberikan suatu
persetujuan tetapi ternyata ia telah kilaf mengenai hal-hal yang pokok dari apa
yang diperjanjikan atau sifat-sifat penting dari barang yang menjadi obyek
perjanjian atau juga mengenai orang dengan siapa ia mengadakan perjanjian Kekilafan berdasarkan ketentuan Pasal 1322
KUH Perdata, dapat berupa 2 hal yaitu:
1.
Kekilafan tentang orang
dengan siapa seseorang mengikatkan diri
(error in persona)
2.
Kekilafan mengenai
hakekat benda yang menjadi obyek perjanjian (error in substantia).
3.
Apabila terjadi
keklafan maka perjanjian dapat dimintakan pembatalan, namun untuk terkabulnya
pembatalan tersebut harus memenuhi 2 syarat yaitu:
4.
Pihak lawan mengetahui
atau seharusnya mengetahui bahwa orang yang mengadakan perjanjian justru
menyetujui berdasarkan ciri-ciri dan keadaan yang salah tersebut
5.
Dengan memperhatikan
semua keadaan, pihak yang melakukan kekhilafan tersebut seharusnya secara wajar
dapat dan boleh mempunyai gambaran seperti itu.
Mengenai
paksaan berdasarkan ketentuan Pasal 1324 KUH Perdata dinyatakan merupakan suatu
perbuatan yang sedemikian rupa sehingga menimbulkan ketakutan pada seseorang
bahwa dirinya atau hartanya terancam oleh suatu kerugian yang terang dan nyata.
Paksaan berdasarkan ketentuan pasal tersebut bukanlah paksaan dalam arti pisik
namun physikis yang dapat berupa ketakutan. Akibat adanya paksaan tersebut maka
perjanjian yang telah dibuatnya dapat dimintakan pembatalan.
Untuk penipun, ini terjadi apabila salah satu pihak
dengan sengaja memberikan keterangan yang palsu atau dipalsukan atau tidak
benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinkannya. Dari ketentuan
tersebut menunjukan bahwa keterangan-keterangan palsu saja bukan merupakan
penipuan, misalnya Yamaha nomor satu di dunia, suatu obat dapat menyembuhkan
berbagai macam penyakit, tetapi kalau disertai dengan tipu muslihat, baru dapat
dikategorikan sebagai penipuan. Apabila terjadi hal semacam itu, maka
perjanjian yang telah disepakati dapat dimintakan pembatalan.Kekhilafan,
paksaan dan penipuan ketiga hal tersebut bukan menimbulkan perjanjian menjadi
tidak sah, namun hanya menimbulkan bahwa perjanjian tersebut sewaktu-waktu dapat dimintakan
pembatalan, karena sepakat yang diberikan mengandung cacat.
Selain
cacat dalam memberikan sepakat seperti yang dikemukakan, merupakan cacat yang
di atur di dalam KUH Perdata, namun di luar itu masih ada penyebab sepakat
menjadi cacat yaitu dikenal sebagai penyalahgunaan keadaan (undue influence) yang dikenal dalam sistem hukum Anglo
Amerika. Penyalah gunaan keadaan ini terjadi apabila salah satu pihak mempunyai
kedudukan yang lebih unggul secara ekonomis atau status sosial sehingga pihak
tersebut melakukan penekanan sedemikian rupa kepada pihak lain dan menyalahgunakan
kedudukannya itu dalam perjanjian. Hal ini sering terjadi dalam perjanjian
standar yang isinya telah disiapkan oleh salah satu pihak dalam bentuk formulir
yang mempunyai kedudukan lebih unggul, sehingga pihak lawan tinggal meyetujui
isi perjanjian yang dimaksud
2. Kecakapan
untuk membuat perjanjian.
Berdasarkan
KUH Perdata seseorang yang dinyatakan cakap untuk melakukan perbuatan hukum
adalah mereka yang telah berusia 21 tahun atau telah kawin sebelumnya. Pasal
1329 KUH Perdata disebutkan bahwa “setiap orang adalah cakap untuk membuat
perjanjian jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”. Lebih
lanjut oleh undang-undang ditentukan golongan orang-orang yang dianggap tidak
cakap untuk membuat suatu perjanjian. Mereka yang dianggap tidak cakap telah
disebutkan dalam Pasal 1330 KUH Perdata, yaitu:
a.
Mereka yang belum dewasa;
b.
Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
c.
orang perempuan dalam hal –hal yang ditetapkan undang-undang.
Adanya
ketentuan mengenai orang-orang yang tidak cakap melakukan suatu perbuatan hukum
memang sudah selayaknya karena orang yang membuat perjanjian akan terikat oleh
perjanjian itu sendiri, sehingga ia harus menyadari akan tanggung jawab yang
harus diembannya. Orang yang belum dewasa jika akan melakukan perbuatan hukum
harus diwakili oleh orang tua atau walinya, sedangkan bagi seseorang yang di
bawah pengampuan, jika melakukan perbuatan hukum dilakukan oleh pengampunya.
Untuk seorang isteri yang berdasarkan KUH Perdata, jika melakukan perbuatan
hukum harus mendapatkan izin dari saminya, namun setelah dikeluarkannya SEMA
Nomor 3 tahun 1963, maka sejak saat itu , seorang wanita yang bersuami jika
melakukan suatu perbuatan hukum tidak diperlukan lagi izin dari suaminya,
dengan kata lain dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
3.
Suatu hal tertentu
Pasal
1333 KUH Perdata dinyatakan bahwa “suatu perjanjian harus mempunyai sebagai
pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya”. Dari ketentuan
pasal tersebut menunjukkan bahwa suatu perjanjian harus ada obyek, dan obyek
tersebut harus dapat ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya boleh tidak
disebutkan asalkan dapat dihitung atau ditetapkan.
Hal
tertentu di dalam suatu perjanjian merupakan pokok perjanjian yang berupa
prestasi yang harus dipenuhi. Pentingnya prestasi ini harus ditentukan atau
dapat ditentukan adalah berguna untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah
pihak, terutama jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Apabila
suatu perjanjian tidak dapat dilaksanakan karena prestasinya tidak jelas, maka
dianggap tidak ada obyek perjanjian, akibat tidak dipenuhinya syarat ini maka
perjanjian yang dibuat oleh para pihak batal demi hukum.
4 Suatu sebab yang khalal.
Sebab
atau causa di dalam suatu perjanjian adalah suatu hal yang dimaksudkan oleh
para pihak dengan pembuatan suatu perjanjian, atau tujuan dari perjanjian
tersebut. Pasal 1335 KUH Perdata disebutkan bahwa “suatu perjanjian tanpa sebab
atau telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai
kekuatan”, kemudian di dalam Pasal 1337 KUH Perdata dinyatakan bahwa “suatu
sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau berlawanan
dengan kesusilaan dan ketertiban umum.” Dalam hal ada perjanjian dengan
sebab yang tidak khalal, maka perjanjian
tersebut batal demi hukum, sehingga penuntutan pemenuhan perjanjian di
pengadilan menjadi tidak ada, karena perjanjian yang batal demi hukum (meskipun
harus dilakukan oleh hakim), dianggap perjanjian tersebut tidak pernah ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar