Sabtu, 19 September 2015

Asas-Asas Hukum Perjanjian (Judul Hukum, Hukum, Konsultasi Skripsi, SKRIPSI)

Menurut Sudikno mertokusumo asas hukum bukanlah kaedah hukum yang kongkrit, melainkan merupakan latar belakang peraturan yang kongkrit dan bersifat umum atau abstrak. Adapun asas hukum perjanjian tersebut adalah[1]:
a.         Asas Kepribadian
            Asas kepribadian ini berkenaan dengan subyek hukum yang terikat pada perjanjian. Asas ini termuat dalam Pasal 1315 dan 1340 KUH Perdata. Dinyatakan di dalam Pasal 1315 bahwa”pada umumnya tidak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau minta ditetapkan suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri”. Ketentuan tersebut lebih dipertegas oleh Pasal 1340 ayat (1) dan (2). Pasal 1340 ayat (1) dinyatakan ”perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”,  ayat (2) “ suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak ketiga, tak dapat pihak ketiga mendapat manfaat karenanya selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317” dari ketentuan tersebut menunjukkan bahwa pada umumnya tidak seorangpun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri, sehingga apabila para pihak mengadakan perjanjian maka perjanjian itu hanya mengikat dan berlaku bagi para pihak yang membuatnya. Pihak ketiga tidak akan memperoleh manfaat.ataupun menderita kerugian karena perjanjian itu. Pengecualian asas kepribadian terdapat dalam Pasal 1317 KUH Perdata mengenai janji untuk kepentingan pihak ketiga atau derden beding. Di dalam Pasal 1317 tersebut mengandung maksud bahwa suatu janji yang memuat suatu hak untuk pihak ketiga tidak dapat ditarik kembali apabila pihak ketiga tersebut menyatakan kehendaknya untuk mempergunakan hak tersebut[2].
Perluasan terhadap asas kepribadian tersebut terdapat dalam Pasal 1318 KUH Perdata mengenai pihak-pihak yang menadakan perjanjian yaitu meliputi ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari padanya, namun hal tersebut tergantung pada sifat perjanjian yang diadakan oleh para pihak baik yang secara tegas ditetapkan maupun yang hanya disimpulkan bahwa tidak demikian yang dimaksud.
b.         Asas Konsensualisme
Asas konsensualime berasal dari bahasa latin consensus yang berarti sepakat. Sepakat yang dimaksud adalah adanya persesuaian kehendak antara phak-pihak yang mengadakan perjanjian. Asas konsensualime ini berkaitan erat denan saat lahirnya perjanjian. Di dalam Pasal 1320 KUH Perdata dinyatakan bahwa salah atu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata sepakat, berdasarkan asas konsensualisme, maka pada dasarnya suatu perjanjian itu lahir sejak tejadinya kata sepakat mengenai hal-hal pokok, misalnya dalam perjanjian jual-beli, hal yang pokok adalah mengenai barang dan harga, oleh karena itu jika sudah sepakat mengenai barang dan harga tersebut, maka perjanjian jual-beli telah lahir, sehingga tidak diperlukan formalitas lain[3].
Pengecualian asas konsensualisme adalah apabila undang-undang mensyaratkan adanya formalitas tertentu yang apabila tidak dipenuhi maka perjanjian dianggap tidak ada. Contoh adalah perjanjian perdamaian, perjanjian jual-beli tanah, kedua perjanjian tersebut memerlukan formalitas tertentu, yaitu perjanjian perdamaian harus dalam bentuk tertulis, dan perjanjian jual-beli tanah harus dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pengecualian yang lain terhadap asas konsensualisme adalah terhadap perjanjian riil, perjanjian ini baru lahir jika yang menjadi obyek perjanjian tersebut telah diserahkan, sebagai contoh perjanjian penitipan barang, perjanjian ini baru lahir jika barang yang dititipkan diserahkan.
c.          Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak ini dapat disipulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang dinyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dari kata “semua perjanjian” itulah terkandung asas kebebasan berkontrak, isi kebebasan berkontark tersebut adalah[4]:
a. bebas mengadakan perjanjian atau tidak.
b. bebas mengadakan perjanjian kepada siapapun yang dikehendaki.
c. bebas menentukan isi dan syarat-syarat perjanjian yang dibuat.
d. bebas menentukan bentuk perjanjian yang akan dibuat.
e. bebas menentukan hukum mana yang akan diberlakukan.
Menurut asas kebebasan berkontrak ini hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk membuat ketentuan sendiri atau mengadakan perjanjian apa saja, dengan siapa saja asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan maupun ketertiban umum. Pengecualian terhadap asas ini adalah:
1)        Adanya standarisasi dalam perjanjian atau adanya perjanjian standar. Hal ini disebabkan perkembangan ekonomi yang menghendaki segala serba cepat, yang pada umumnya salah satu pihak ada yang mempunyai kedudukan secara ekonomi lebih kuat di dalam membuat perjanjian tersebut. Perjanjian standar tersebut merupakan perjanjian yang isinya dibakukan dalam bentuk formulir, sehingga yang dibakukan adalah bentuk , isi dan syarat-syarat perjanjian.
2)        Woeker Ordonantie 1938, atau dikenal dengan undang-undang riba. Ini merupakan bentuk campur tangan pemerintah guna melindungi pihak-pihak yang secara ekonomi lemah kedudukannya. Jika dalam suatu perjanjian kewaajiban para pihak yang bersifat timbal balik ternyata terdapat ketimpangan yang sedemikian rupa, sehingga melampaui batas yang layak maka perjanjian itu dapat dibatalkan baik atas permintaan para pihak maupun oleh hakim karena jabatannya, kecuali jika dapat dibuktikan bahwa:
a.         Pihak yang dirugikan telah menginsyafi akibat yang timbul dari perjanjian yang dibuatnya;
b.         Pihak yang dirugikan tidak bertindak secara bodoh atau kurang pengalaman.
d.        Asas kekuatan Mengikat (Pacta Sunt Servanda)
Asas ini berkaitan erat dengan akibat perjanjian, ini berarti kedua belah pihak terikat denan adanya kesepakatan dalam perjanjian yang telah mereka buat, dan terikat dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian tersebut. Asas kekuatan mengikat ini dapat tersimpul di dalam Pasal 1338 ayat (1) yang dinyatakan “ semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya’. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa kekuatan mengikat suatu perjanjian tersebut baru ada apabila perjanjian yang dibuat tersebut sah menurut hukum, hal tersebut dapat diketahui dari anak kalimat “secara sah”. Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuatnya harus memenuhi persyaratan sebagaimana ditentkan di dalam Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya perjanjian. Anak kalimat selanjutnya ‘…berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Ini mengandung arti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa sehingga para pihak dalam perjanjian seolah-olah membuat undang-undang yang pada akhirnya ia harus melaksanakan undang-undang yang dibuatnya itu, pelanggaran terhadap undang-undang yang telah dibuatnya mengandung konskuensi untuk mempertanggung jawabkannya.[5]
Asas pacta sunt servanda ini menjamin adanya  kepastian hukum, para pihak tidak dapat semaunya melepaskan diri secara sepihak terhadap perjanjian yang dibuatnya tanpa ksepakatan dari pihak yang lain. Hal tersebut ditegaskan di dalam Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata  yang dinyatakan bahwa  “perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.” Adanya ketentuan tersebut, maka para pihak harus mentaati dan melaksanakan apa yang telah mereka sepakati bersama. Pihak ketiga termasuk hakim wajib menghormati perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut, dalam arti:
a. mengakui keberadaan perjanjian yang dibuatnya;
b. tidak mencampuri isi perjanjian tersebut , tidak menambah, mengurangi ataupun menghilangkan kewajiban kontraktual yang ada dalam perjanjian tersebut.
e.         Asas Itikad Baik
Asas ini berkaian dengan pelaksanaan suatu perjanjian yang harus dilaksanakan dengan itikad baik, hal tersebut dapat diketemukan dalam Pasal 1338 ayat (3), yang dinyatakan bahwa “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Itikad baik tersebut mengandung dua pengertian yaitu[6]:
                         i.     itikad baik dalam pengertian subyektif
    Hal ini merupakan sikap batin seseorang pada saat dimulainya suatu hubungan hukum yang berupa perkiraan bahwa syarat-syarat yang diperlukan telah terpenuhi, ini berarti adanya sikap jujur atau bersih dan tidak bermaksud menyembunyikan sesuatu yang buruk dan dapat merugikan pihak lain, oleh karena itu itikat baik dalam pengertian ini merupakan kejujuran.
                       ii.     Itikad baik dalam pengertian obyektif
    Hal ini merupakan tindakan seseorang di dalam melaksanakan suatu perjanjian, yaitu dalam melaksanakan hak dan kewajiban harus berjalan sesuai dengan ketentuan dan mengindahkan norma kepatutan dan kesusilaan.
Apabila terjadi perselisihan dalam pelaksanaan itikad baik ini, hakim diberi kewenangan oleh undang-undang untuk mengawasi dan menilai pelaksanaan perjanjian ada tidaknya pelanggaran terhadap norma kepatutan dan norma kesusilaan. Di dalam melaksanakan suatu perjanjian dengan itikad baik, para pihak mempunyai keharusan untuk tidak melakukan segala sesuatu yang bertentangan dengan norma kesusilaan dan kepatutan, sehingga diharapkan tercapai keadilan bagi kedua belah pihak.
1.    Syarat Sahnya Perjanjian
Berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata ditentukan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 4 syarat, keempat syarat tersebut adalah[7]:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b. Kecakapan untuk membuat perjanjian.
c. Mengenai hal tertentu.
d. Suatu sebab yang khalal.
Keempat syarat tersebut merupakan suatu keharusan di dalam suatu perjanjian, maka tidak terpenuhi salah satu syarat dapat mengakibatkan perjanjian tersebut tidak sah, dengan ancaman batal atau dapat dibatalkan. Dari keempat syarat tersebut dapat digolongkan menjadi dua yaitu:
a. Syarat subyektif.
b. Syarat obyektif.
Syarat subyektif merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh para subyek di dalam perjanjian tersebut, yang meliputi adanya kesepakatan dan adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, sedangkan syarat obyektif adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian yang dibuatnya, yaitu mengenai hal tertentu dan suatu sebab yang khalal.
Pembedaan syarat subyektif dan syarat obyektif tersebut sangat penting artinya untuk melihat akibat hukum yang timbul apabila syarat tersebut tidak terpenuhi. Tidak terpenuhinya syarat subyektif akan menimbulkan akibat hukum yang berbeda dengan tidak terpenuhinya syarat obyektif. Jika tidak terpenuhi syarat subyektif, maka perjanjian yang dibuatnya dapat dimintakan pembatalan atau dapat dibatalkan (vernietigbaarheid atau viodable). Pihak yang dapat memintakan pembatalan adalah pihak yang tidak memberikan sepakat, atau sepakat yang diberikan tidak bebas, atau pihak yang tidak cakap, dalam hal ini orang tua, wali atau pengampu. Sebelum ada permohonan pembatalan dari pihak yang bersangkutan, maka perjanjian tersebut berjalan terus sebagaimana halnya sebagai suatu perjanjian yang tidak mempunyai cacat hukum. Pasal 1454 KUH Perdata membatasi jangka waktu untuk mengajukan permohonan pembatalan suatu perjanjian yang dibuatnya, yaitu dalam kurun waktu 5 tahun. Jangka waktu itu dihitung sejak hari kedewasaan dalam hal belum dewasa, sejak hari pencabutan pengampuan dalam hal orang tersebut di bawah pengampuan, atau sejak diketahuinya adanya kekilafan atau adanya penipuan dalam hal ada kekilafan atau adanya penipuan oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut.
Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut adalah batal demi hukum atau nietig, namun demikian  yang berhak menentukan perjanjian tersebut batal demi hukum tetap harus diajukan di muka pengadilan. Selanjutnya 4 syarat sahnya perjanjian diuraikan satu persatu yaitu:
1. Sepakat untuk mengikatkan diri
 Syarat pertama untuk sahnya perjanjian adalah adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri. Sepakat merupakan apa yang dikehendaki pihak yang satu dikehendaki pula oleh pihak yang lain dalam kebalikan, kesepakatan ini mengenai hal-hal yang esensial atau pokok, sehingga dalam perjanjian jual beli misalnya hal yang pokok adalah mengenai barang dan harga, maka dalam hal ini sepakat pihak yang satu menghendaki barang dan pihak yang lainnya menghendaki uang.
Kesepakatan atau kata sepakat tersebut harus diberikan secara bebas, dan untuk menentukan ada kebebasan dalam kesepakatan atau tidak, di dalam KUH Perdata menentukan bahwa ada 3 hal yang menentukan bahwa kesepakatan tersebut benar-benar bebas yaitu tidak ada paksaan, tidak ada kekilafan dan tidak terjadi penipuan. Hal tersebut dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 1321 KUH Perdata “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekilafan, atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”
Kekilafan (dwaling) atau kesesatan terjadi apabila salah satu pihak memberikan suatu persetujuan tetapi ternyata ia telah kilaf mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau sifat-sifat penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian atau juga mengenai orang dengan siapa ia mengadakan perjanjian  Kekilafan berdasarkan ketentuan Pasal 1322 KUH Perdata, dapat berupa 2 hal yaitu:
1.        Kekilafan tentang orang dengan siapa seseorang mengikatkan diri  (error in persona)  
2.        Kekilafan mengenai hakekat benda yang menjadi obyek perjanjian (error in substantia).
3.        Apabila terjadi keklafan maka perjanjian dapat dimintakan pembatalan, namun untuk terkabulnya pembatalan tersebut harus memenuhi 2 syarat yaitu:
4.        Pihak lawan mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa orang yang mengadakan perjanjian justru menyetujui berdasarkan ciri-ciri dan keadaan yang salah tersebut
5.        Dengan memperhatikan semua keadaan, pihak yang melakukan kekhilafan tersebut seharusnya secara wajar dapat dan boleh mempunyai gambaran seperti itu.
Mengenai paksaan berdasarkan ketentuan Pasal 1324 KUH Perdata dinyatakan merupakan suatu perbuatan yang sedemikian rupa sehingga menimbulkan ketakutan pada seseorang bahwa dirinya atau hartanya terancam oleh suatu kerugian yang terang dan nyata. Paksaan berdasarkan ketentuan pasal tersebut bukanlah paksaan dalam arti pisik namun physikis yang dapat berupa ketakutan. Akibat adanya paksaan tersebut maka perjanjian yang telah dibuatnya dapat dimintakan pembatalan.
Untuk  penipun, ini terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan yang palsu atau dipalsukan atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya  memberikan perizinkannya. Dari ketentuan tersebut menunjukan bahwa keterangan-keterangan palsu saja bukan merupakan penipuan, misalnya Yamaha nomor satu di dunia, suatu obat dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit, tetapi kalau disertai dengan tipu muslihat, baru dapat dikategorikan sebagai penipuan. Apabila terjadi hal semacam itu, maka perjanjian yang telah disepakati dapat dimintakan pembatalan.Kekhilafan, paksaan dan penipuan ketiga hal tersebut bukan menimbulkan perjanjian menjadi tidak sah, namun hanya menimbulkan bahwa perjanjian  tersebut sewaktu-waktu dapat dimintakan pembatalan, karena sepakat yang diberikan mengandung cacat.
Selain cacat dalam memberikan sepakat seperti yang dikemukakan, merupakan cacat yang di atur di dalam KUH Perdata, namun di luar itu masih ada penyebab sepakat menjadi cacat yaitu dikenal sebagai penyalahgunaan keadaan (undue influence)  yang dikenal dalam sistem hukum Anglo Amerika. Penyalah gunaan keadaan ini terjadi apabila salah satu pihak mempunyai kedudukan yang lebih unggul secara ekonomis atau status sosial sehingga pihak tersebut melakukan penekanan sedemikian rupa kepada pihak lain dan menyalahgunakan kedudukannya itu dalam perjanjian. Hal ini sering terjadi dalam perjanjian standar yang isinya telah disiapkan oleh salah satu pihak dalam bentuk formulir yang mempunyai kedudukan lebih unggul, sehingga pihak lawan tinggal meyetujui isi perjanjian yang dimaksud
2.    Kecakapan untuk membuat perjanjian.
Berdasarkan KUH Perdata seseorang yang dinyatakan cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah mereka yang telah berusia 21 tahun atau telah kawin sebelumnya. Pasal 1329 KUH Perdata disebutkan bahwa “setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”. Lebih lanjut oleh undang-undang ditentukan golongan orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian. Mereka yang dianggap tidak cakap telah disebutkan dalam Pasal 1330 KUH Perdata, yaitu:
a. Mereka yang belum dewasa;
b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
c. orang perempuan dalam hal –hal yang ditetapkan undang-undang.
Adanya ketentuan mengenai orang-orang yang tidak cakap melakukan suatu perbuatan hukum memang sudah selayaknya karena orang yang membuat perjanjian akan terikat oleh perjanjian itu sendiri, sehingga ia harus menyadari akan tanggung jawab yang harus diembannya. Orang yang belum dewasa jika akan melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh orang tua atau walinya, sedangkan bagi seseorang yang di bawah pengampuan, jika melakukan perbuatan hukum dilakukan oleh pengampunya. Untuk seorang isteri yang berdasarkan KUH Perdata, jika melakukan perbuatan hukum harus mendapatkan izin dari saminya, namun setelah dikeluarkannya SEMA Nomor 3 tahun 1963, maka sejak saat itu , seorang wanita yang bersuami jika melakukan suatu perbuatan hukum tidak diperlukan lagi izin dari suaminya, dengan kata lain dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
3. Suatu hal tertentu
Pasal 1333 KUH Perdata dinyatakan bahwa “suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya”. Dari ketentuan pasal tersebut menunjukkan bahwa suatu perjanjian harus ada obyek, dan obyek tersebut harus dapat ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya boleh tidak disebutkan asalkan dapat dihitung atau ditetapkan.
Hal tertentu di dalam suatu perjanjian merupakan pokok perjanjian yang berupa prestasi yang harus dipenuhi. Pentingnya prestasi ini harus ditentukan atau dapat ditentukan adalah berguna untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, terutama jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Apabila suatu perjanjian tidak dapat dilaksanakan karena prestasinya tidak jelas, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian, akibat tidak dipenuhinya syarat ini maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak batal demi hukum.
    4 Suatu sebab yang khalal.
Sebab atau causa di dalam suatu perjanjian adalah suatu hal yang dimaksudkan oleh para pihak dengan pembuatan suatu perjanjian, atau tujuan dari perjanjian tersebut. Pasal 1335 KUH Perdata disebutkan bahwa “suatu perjanjian tanpa sebab atau telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan”, kemudian di dalam Pasal 1337 KUH Perdata dinyatakan bahwa “suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.” Dalam hal ada perjanjian dengan sebab  yang tidak khalal, maka perjanjian tersebut batal demi hukum, sehingga penuntutan pemenuhan perjanjian di pengadilan menjadi tidak ada, karena perjanjian yang batal demi hukum (meskipun harus dilakukan oleh hakim), dianggap perjanjian tersebut tidak pernah ada.



Tidak ada komentar: