Dalam kegiatan menjalankan usaha,
undang-undang memberikan sejumlah hak dan membebankan sejumlah kewajiban dan
larangan pada produsen. Pengaturan tentang hak, kewajiban dan larangan itu
dimaksudkan untuk menciptakan hubungan yang sehat antara produsen dan konsumen,
sekaligus menciptakan iklim berusaha yang kondusif bagi perkembangan usaha dan
perekonomian pada umumnya.
Adapun hak pelaku usaha yang diatur oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah:
1. Hak menerima pembayaran yang sesuai dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan atau jasa yang
diperdagangkan;
2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari
tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri
sepatutnya di dalam menyelesaikan hukum sengketa konsumen;
4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila
terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan
atau jasa yang diperdagangkan.
5. Hak-hak yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan lainnya.[1]
Hak pelaku usaha menerima pembayaran sesuai
kondisi dan nilai tukar barang dan atau jasa yang diberikannya kepada konsumen tidak
atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umunya atas barang dan/
atau jasa yang sama. Dalam praktek yang biasanya terjadi suatu barang dan/ atau
jasa yang kualitasnya lebih rendah dari pada barang yang serupa, maka para
pihak menyepakati harga yang lebih murah.
Dengan demikian yang dipentingkan dalam
hal ini adalah harga yang wajar. Menyangkut hak pelaku usaha yang tersebut di
atas pada angka 2,3,dan 4 sesungguhnya merupakan hak-hak yang lebih banyak
berhubungan dengan pihak aparat pemerintah dan/ atau badan
penyelesaian sengketa konsumen. Melalui hak-hak tersebut diharapkan
perlindungan konsumen secara berlebihan hingga mengabaikan kepentingan pelaku
usaha dapat dihindari.
Satu-satunya yang berhubungan dengan
kewajiban konsumen atas hak-hak pelaku usaha yang disebutkan pada angka 2 dan 3
tersebut adalah kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa
sebagaimana diuraikan sebelumnya.
Tampak bahwa pokok-pokok hak dari produsen
atau pelaku usaha adalah menerima pembayaran, mendapat perlindungan hukum,
melakukan pembelaan diri, rehabilitasi nama baik, dan hak-hak lainnya menurut
Undang-Undamg. Selain mengatur tentang hak pelaku usaha Undang-Undang Perlindungan
Konsumen juga mengatur tentang kewajiban bagi pelaku usaha. Adapun kewajiban
pelaku usaha dalam menjalankan usaha dan menjamin perlindungan konsumen adalah:
1.
Beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usaha;
2.
Memberikan
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/
atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
3.
Memperlakukan
atau melayani konsumen secara jujur dan benar serta tidak diskriminatif;
4.
Menjamin
mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan/ atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/ atau jasa yang berlaku;
5.
Memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/ atau mencoba barang dan/ atau
jasa tertentu serta memberi jaminan dan/ atau garansi atas barang yang dibuat
dan/ atau yang diperdagangkan.
6.
Memberi
kompensasi ganti rugi dan/ atau penggantian apabila barang dan/ atau jasa yang
diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai yang diperjanjikan.[2]
Dengan demikian pokok-pokok kewajiban
produsen atau pelaku usaha adalah itikad baik dalam menjalankan usahanya,
memberikan informasi, memperlakukan konsumen dengan cara yang sama, menjamin
produknya, memberi kesempatan bagi konsumen untuk menguji, dan memberi
kompensasi jika konsumen dirugikan.
Jika dibandingkan dengan hak dan kewajiban
konsumen yang diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, tampak bahwa hak dan kewajiban produsen bertimbal balik dengan hak
dan kewajiban konsumen. Artinya apa yang menjadi hak dan kewajiban dari konsumen
merupakan kewajiban produsen untuk memenuhinya, dan sebaliknya apa yang menjadi
hak produsen adalah kewajiban konsumen.
Kalau dibandingkan dengan hak dan
kewajiban penjual dalam jual beli menurut KUH Perdata sebagaimana diatur dalam
Pasal 1478 dan seterusnya, tampak bahwa ketentuan KUH Perdata itu lebih sempit
dari pada ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Ini tidak lain karena
Undang-Undang Perlindungan Konsumen memandang produsen atau pelaku usaha lebih
dari sekedar penjual. Produsen juga mempunyai kewajiban dalam menciptakan iklim
berusaha yang sehat yang pada akhirnya ikut bertanggung jawab dalam pembangunan
ekonomi secara umum.[3]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar