Dalam pandangan Islam pasar merupakan wahana transaksi
ekonomi yang ideal. tetapi
memiliki berbagai kelemahan yang tidak cukup memadahi pencapai ekonomi yang
Islami. Secara teoritik maupun praktikal pasar memiliki beberapa kelemahan,
misalnya: mengabaikan distribusi pendapatan dan keadilan, tidak selalu
selarasnya antara prioritas individu dengan sosial atau antara berbagai
kebutuhan, adanya kegagalan pasar, ketidaksempurnaan persaingan, dan lain-lain.
Oleh karenanya, kita harus menerapkan pasar secara proposional dalam
perekonomian dan kemudian memperbaiki dan melengkapi kekurangan-kekurangannya.
(Anto, 2003)
Ajaran Islam berusaha untuk menciptakan suatu keadaan
pasar yang dibingkai oleh nilai-nilai syariah, meskipun tetap dalam suasana
yang bersaing. Dengan kata lain konsep Islam tentang pasar yang ideal adalah perfect competition market plus, yaitu plus nilai-nilai
syariah Islam. Implementasi nilai-nilai syariah yang sebagainya merupakan concern
masyarakat di luar Islam sekalipun (misalnya keadilan, keterbukaan, kejujuran,
bersaing sehat) – bukan hanya menjadi kewajiban individu dalam pelaku pasar,
tetapi juga butuh intervensi pemerintah. Untuk inilah maka pemerintah memiliki
peranan yang penting dan besar dalam menciptakan pasar yang Islami, sebagaimana
telah ditunjukkan oleh adanya Al Hisbah pada masa Rasulullah dan sesudahnya.
Dalam
kapitalisme pasar dianggap sebagai mekanisme yang dapat menyelesaikan semua
persoalan ekonomi. Pertanyaan-partanyaan inti dalam perekonomian, yaitu apa
yang harus diproduksi (what),
bagaimana cara memproduksi (how) dan
untuk siapa (for whom) barang dan
jasa diproduksi dianggap dapat dijawab dengan baik oleh pasar. Dalam konsep
dasarnya pasar tidak boleh diganggu atau diintervensi oleh siapapun, termasuk
oleh pemerintah. Dengan kekuatan invisible
hand-nya, pasar secara otomatis akan
menjawab dan mengatur semua persoalan ekonomis dengan harmonis.
Sosialisme
berpandangan sebaliknya, yaitu peranan pasar harus di tiadakan. Sebagai
gantinya maka pemerintah harus berperan aktif dalam menyelesaikan dan mengatur
seluruh persoalan perekonomian. Pertanyaan what,
how, dan for whom akan dijawab
dengan kebijakan pemerintah, bukan oleh pelaku pasar swasta. Pemerintah harus
merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi sendiri seluruh kebijakan ekonomi.
Tidak ada tempat bagi pasar, sebab ia hanya akan menjadi alat bagi pemilik
modal (borjuasi) untuk mengekploitasikan para buruh. Pasar hanya akan
mengalokasikan sumber daya ekonomi pada sektor-sektor yang memberikan rente
ekonomi (economic rent) besar bagi
para pemilik modal ini, bukan pada kemakmuran seluruh masyarakat (Anto,
2003).
Islam
sangat menghargai posisi pasar sebagai wahana alokasi dan distribuĂs sumber
daya ekonomi. Tetapi, dalam ajaran Islam pasar ditempatkan pada posisi yang
proposional, berbeda dengan pandangan kapitalisme maupun sosialisme yang
ekstrim. Pandangan Islam ini secara garis besar adalah(Anto, 2003):
(1) Pasar memiliki kelebihan
sekaligus kekurangan. Dengan kata lain, mekanisme pasar tidak dianggap sebagai
sesuatu yang telah sempurna atau baku sehingga tidak perlu ada intervensi dan
rekayasa apapun (taken for granted).
Intervensi seperlunya diperlukan agar mekanisme pasar berjalan sesuai dengan
kepentingan perekonomian yang Islami. Jadi pasar bebas yang Islami tidak
berarti bebas sebebas-bebasnya
(2) Pasar tidak ditempatkan sebagai
satu-satunya mekanisme distribuĂs yang utama dalam perekonomian, tetapi hanya
merupakan salah satu dari berbagai mekanisme yang diajarkan dalam syariah
Islam, Karenanya, perekonomian yang Islami akan mengkombinasikan pendekatan
pasar dengan non pasar.
Ajaran
Islam sangat menghargai pasar sebagai tempat perniagaan yang halal (sah/legal) dan toyyib (baik), sehingga secara umum
merupakan mekanisme perniagaan yang paling ideal.
Penghargaan
yang tinggi ini tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga telah dibuktikan
dalam sejarah yang panjang kehidupan ekonomi masyarakat muslim klasik.
Rasulullah s.a.w sendiri adalah seorang pelaku pasar yang aktif, demikian juga
kebanyakan sahabat dan Khulafaurrausydin. Pada masa Rasullulah dan
Khulafaurrausydin, peranan pasar dalam menentukan harga sangat menonjol.
Intervensi pemerintah dalam pasar hanya dilakukan dalam kondisi-kondisi
tertentu, tetapi sangat jarana dilakukan.
Penghargaan
ajaran Islam terhadap mekanisme pasar berangkat dari ketentuan Allah bahwa
perniagaan harus dilakukan secara baik dengan rasa suka sama suka (antaradim
minkum/mutual goodwil). Dalam Al Qur’an dinyatakan : “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan cara bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah Maha Penyayang kapadamu” (An Nisa 29). Mekanisme pasar
merupakan mekanisme perniagaan yang paling ideal menghasilkan transaksi yang
baik dan didasarkan oleh mutual goodwill
di antara pelaku-pelakunya, yaitu penjual dan pembeli. Pasar juga suatu
kekuatan yang bersifat massal (impersonal)
dan alamiah (natural) sehingga
mencerminkan kondisi ekonomi masyarakat lebih luas. Dalam situasi yang bersaing
sempurna (perfect competition market),
taka da seorang pelakupun yang secara individual dapat mengemudikan mekanisme
pasar. Allah-lah yang mengatur naik turunnya harga. Dengan dasar
ini maka tidaklah mengherankan kalau Rasulullah sangat menentang
praktek-praktek yang dapat menggangu mekanisme pasar yang bebas.
Bagaimana gambaran pasar yang diidealkan oleh
ajaran agama ? Jika dilihat pada masa kelahirannya (abad 6 M), ternyata ajaran
Islam memiliki pandangan yang sangat futuristik, amat jauh mendahului pemikiran
ekonom-ekonom Barat. Demikian pula pemikiran para sarjana muslim pada
periode-periode pasca Rasulullah. Pada dasarnya, konsep pasar yang Islami
adalah seperti apa yang dalam ekonomi konvesional disebut dengan pasar
persaingan sempurna (perfect competition market) plus, yaitu persaingan dalam bingkai
nilai dan moralitas Islam. Dengan kata lain pasar ini tidak mengandung deviasi
dari nilai dan moralitas Islam. Jadi, jelas bukan pasar bebas dalam arti yang
sebebas-bebasnya sebagaimana dalam kapitalisme.
Nilai dan
moralitas Islam ini secara garis besar terbagi menjadi (Anto, 2003):
·
Norma yang bersifat khas, yaitu hanya menjadi concern agama Islam, dan
·
Norma yang bersifat umum, yaitu merupakan concern masyarakat luas.
Sebagaimana
telah dijelaskan dalam perilaku konsumen dan produsen, ajaran Islam menganggap
bahwa tidak semua barang dan jasa dapat dikonsumsi dan diproduksi. Seorang
muslim hanya diperkenankan mengkonsumsi dan memproduksi barang yang halalan
toyyiban dan mubah, sehingga yang haram dan makruh harus
ditinggalkan. Ia juga terikat dengan nilai-nilai kesederhanaan dan konsistensi
prioritas dalam pemenuhannya. Norma yang khas ajaran Islma ini tentu saja harus diimplementasikan di
pasar.
Selain
itu, syari’at Islam juga menjunjung tinggi
norma-norma yang merupakan perhatian masyarakat di manapun dan memiliki agama
apapun, jadi norma yang universal. Norma-norma ini antara lain : persaingan
yang sehat (fair play), kejujuran (honesty), keterbukaan (transparancy) dan keadilan (justice). BAnyak ayat dalam Al Qur’an
dan Hadist yang dengan jelas dan tegas menekankan nilai-nilai ini, dan bahkan
mengkaitkannya dengan keimanan kepada Allah. Adanya keterikatan seorang muslim
dengan norma-norma ini akan menjadi sistem pengendalian pribadi yang bersifat
otomatis (inner built in control) bagi perilakunya dalam
aktifitas pasar.
Dengan
mengacu pada Al Qur’an dan praktek ekonomi pasar yang di jalankan Rasulullah s.a.w dan para sahabat, Ibnu Taimiyah
menggambarkan dengan jelas konsep pasar yang Islami ini. Dalam kitabnya al
Hisbah dan Majmu’ Fatawa-nya (Islahi, AA, 1997,
h.117-119; Siddiqi, 1979, h.85) ia menyebutkan kriteria pasar yang Islami
adalah :
¨ Orang-orang harus bebas untuk
keluar dan masuk pasar. Persyaratan ini jelas dalam pernyataannya, “memaksa
penduduk menjual barang-barang dagangan tanpa ada dasar kewajiban untuk
menjual, merupakan tindakan yang tidak adil dan ketidakadilan itu dilarang”.
¨ Tingkat informasi yang cukup
mengenai kekuatan-kekuatan pasar dan barang-barang dagangan adalah perlu. Ibnu
Taimiyah telah meneliti beberapa kontrak (perjanjian) di mana salah satu pihak
yang terlibat tidak bertindak sesuai dengan persyaratan ini, sementara ia
memberikan kepada pihak lainnya desempatan untuk meninjau kembali kontrak itu.
Dia juga mengangapnya sebagai tanggung jawab pemerintah (al muhtasib) untuk
memperbaiki situasi tersebut, yaitu menjaga agar informasi secara sempurna
diterima oleh para pelaku pasar.
¨ Unsur-unsur monopolistik harus
di lenyapkan dari pasar. Karena itu, ia menentang segala bentuk kolusi antara
orang-orang profesional atau kelompok para penjual dan pembeli. Dia membolehkan
pemerintah untuk ikut campur tangan dan menentukan harga jika unsur
monopolistik ini muncul.
¨ Dalam batas kebebasan ini, ia
mengakui kenaikan dan penurunan permintaan maupun penawaran disebabkan oleh
harga-harga tersebut. Dia menyetujui kenaikan harga-harga yang disebabkan
olehnya, karena “memaksa orang untuk menjual barang dengan harga yang
ditentukan sama dengan pemaksaan tanpa hak” dan meskipun si penjual seharusnya
tidak dipaksa untuk kehilangan laba tetapi pada saat yang sama dia seharusnya
tidak diperbolehkan merugikan orang lain.
¨ Homogenitas dan standardisasi
produk Sangay dianjurkan waktu ia membahas celaan terhadap pemalsuan produk,
penipuan dan kecurangan dalam mempresentasikan barang-barang tersebut.
¨ Setiap penyimpangan dari
kebebasan ekonomi yang jujur, seperti sumpah palsu, penimbangan yang tidak
tepat, dan niat buruk dikecam oleh banyak penulis muslim. Para pelaku pasar
juga tidak diperkenankan memproduksi dan memperdagangkan barang-barang dagangan
yang tercela karena tidak baik dari sisi alasan kesehatan atau moral sesuai
dengan norma Islam, seperti minuman-minuman beralkohol, minuman keras,
pelacuran dan penjudian.
Dengan
memperhatikan kriteria di atas, jelaslah bahwa pasar yang Islami menurut Ibnu
Taimiyah memiliki dua kriteria utama, yaitu: (1) secara teknis – operasional
menjamin terjadinya
persaingan yang sempurna, (2) persaingan yang sempurna tersebut bekerja dalam
bingkai nilai dan moralitas Islam. Bahkan, untuk menjamin agar kriteria ini
tetap terjaga Ibnu Taimiyah mengusulkan adanya petugas yang mengawasi pasar
yang disebut al muhtashib atau secara
kelembagaan dinamakan al hisbah. Al muhtashib memiliki peran aktif dan permanen dalam menjaga
mekanisme pasar yang Islami ini sehingga banyak dijadikan model bagi peran
pemerintah terhadap pasar.
Siddiqi
(1992) juga mengingkari bahwa mekanisme pasar yang berjalan alamiah sudah
memadai untuk mencapai tujuan kesejahteraan manusia. Ia mengatakan, “Islam
tidak menampilkan filsafat seperti itu. Ia menuntut upaya-upaya sadar untuk
meraih tujuan-tujuan yang diinginkan, dimana perlu dengan meramalkan kondisi
persoalan-persoalan yang secara otomatik muncul. Ia menuntut pendistribusian
kembali kekayaan dan menuntut pembentukan lembaga-lembaga tetap untuk melakukan
pendistribusian kembali itu. Ia tidak pernah menganggap setiap setiap bentuk
perdagangan, kontrak-kontrak dagang, pemanfaatan tanah-tanah dan usaha-usaha
produktif sebagai hal yang sah hanya karena secara otomatis berwujud dan wajar.
Bahkan, ia menuntut pengawasan secara cermat terhadap setiap kegiatan, dengan
mengesampingkan semua bentuk yang bertentangan dengan kepentingan sosial dan
membawa akibat-akibat yang tidak diinginkan.
Jogja, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar