Kematian dalam agama-agama samawi mempunyai peranan
yang sangat besar dalam memantapkan akidah serta menumbuh kembangkan semangat
pengabdian. Tanpa kematian, manusia tidak akan berpikir tentang apa sesudah
mati, dan tidak akan mempersiapkan diri menghadapinya. Karena itu, agama-agama
menganjurkan manusia untuk berpikir tentang kematian.
Sartre ( dalam Hasan 1973) memandang kematian sebagai
kefaktaan yang terakhir. Setiap eksisitensi harus di akhiri dengan maut atau
kematian, sehingga kematian menjadi salah satu halangan kebebasan manusia. Moody(1987) mengartikan kematian sebagai tidak adanya
tanda-tanda kehidupan secra klinis, tidak ada kegiatan gelombang otak dan
hilangnya fungsi-fungsi penting yang tidak bisa di ubah. Kematian sendiri merupakan suatu bagian dari proses
yang sebenarnya akan dilewati individu dalam menjalani kehidupannya namun tidak
semuanya siap dalam menghadapi kemtian itu sendir. Ketidaksiapan menghadapi
kematian tersebut yang sering mendatangkan kecemasan menghadapi kematian. Hal
ini bermanifestasi menjadi kondisi psikologis yang ditandai dengan
perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan, khawatir, takut, dan tidak tahu apa
yang akan terjadi di masa yang akan datang
Kematian sendiri mempunyai beberapa pengertian namun
secara umum kematian dikaitkan dengan hilangnya kemampuan biologis seseorang.
Menurut Harvard Medical School (1997), konsep kematian sendiri menyangkut
hilangnya lima kemampuan dasar individu, yaitu ketidakmampuan menerima dan
merespon stimulus, tidak memiliki kemampuan dalam hal gerak atau pernafasan,
tidak mempunyai reflek, EEG datar, dan tidak adanya sirkulasi dalam otak.
Namun dalam pengertian lain maka selain membahas
kematian secara biologis penting maka terdapat pengertian menyangkut konsep
kematian secara psikologis terjadi ketika pikiran seseorang berhenti untuk
berfungsi. Menurut Aiken (sitat dalam Bishop, 1994), kematian secara sosial
terjadi ketika orang lain melakukan tindakan untuk orang yang sudah dinyatakan
meninggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar