Teknologi rekayasa genetika, yang
juga disebut bioteknologi modern merupakan suatu jenis teknologi yang baru dan
tentu saja sangat berbeda dengan teknologi bioteknologi konvensional atau pemuliaan
tanaman tradisional yang diterapkan sebelumnya. Pemuliaan tanaman tradisional hanya mampu
melakukan penyilangan antar organisme sejenisnya, yaitu yang memiliki faktor
genetis yang serupa.
Dalam
melakukan tugas itu, para pemulia tanaman tradisional dengan sengaja atau tidak
sengaja telah mentransfer bukan hanya satu atau dua gen tetapi beberapa puluh
ribu gen. Hal itu merupakan perbandingan yang sangat kontras,
bila dibanding dengan teknologi rekayasa genetika atau rDNA yang mampu mentransfer
secara lebih cermat, yaitu hanya dengan beberapa gen terpilih, yang ditransfer
antarspesies sama sampai antarspesies yang sangat berbeda..
Hasil organisme yang telah mengalami
rekayasa, yang dilakukan melalui teknologi pemindahan atau transfer sebuah atau
lebih gen antara spesies yang sama atau yang berbeda itu, disebut transgenik.
Beberapa puluh pangan transgenik saat ini telah berada di pasaran, di antaranya
adalah jagung, jeruk, kedelai dan kapas (kapas sebetulnya bukan pangan, tetapi dari
bijinya dapat diekstraksi menjadi minyak makan nabati yang bermutu tinggi).
Apa yang ingin dilakukan oleh para
ahli genetika ialah memasukkan gen-gen spesifik tunggal ke dalam
varietas-varietas tanaman yang bermanfaat. Hal ini akan meliputi dua langkah
pokok. Pertama, memperoleh gen-gen tertentu dalam bentuk murni dan dalam jumlah
yang berguna. Kedua, menciptakan cara-cara untuk memasukkan gen-gen tersebut ke
kromosom-kromosom tanaman, sehingga mereka dapat berfungsi. Langkah yang
pertama bukan lagi menjadi masalah. Dengan teknik DNA rekombinan sekarang, ada
kemungkinan untuk menumbuhkan setiap segmen dari setiap DNA pada bakteri. Tidak
mudah untuk mengidentifikasi segmen khusus yang bersangkutan di antara koleksi
klon. Khususnya untuk mengidentifikasi segmen tertentu yang bersangkutan di
antara koleksi klon, apalagi untuk mengidentifikasi gen-gen yang berpengaruh
pada sifat-sifat seperti hasil produksi tanaman. Langkah kedua, memasukkan
kembali gen-gen klon ke dalam tanaman juga bukan sesuatu yang mudah. Peneliti
menggunakan bakteri Agrobacterium yang dapat menginfeksi tumbuhan dengan
lengkungan kecil DNA yang disebut plasmid Ti yang kemudian menempatkan diri
sendiri ke dalam kromosom tumbuhan. Agrobacterium merupakan vektor yang siap
pakai. Tambahkan saja beberapa gen ke plasmid, oleskan pada sehelai daun,
tunggu sampai infeksi terjadi, setelah itu tumbuhkan sebuah tumbuhan baru dari
sel-sel daun tadi. Selanjutnya tumbuhan itu akan mewariskan gen baru kepada
benih-benihnya. (Gusyana, Pikiran Rakyat 31 Agustus 2006)
Tujuan utama dari teknik pengembangan
tanaman tradisional maupun bioteknologi modern adalah menemukan metode
menyisipkan sebuah gen atau beberapa gen dari sebuah organisme donor yang
membawa atau memiliki sifat-sifat baik yang dikehendaki ke dalam suatu
organisme yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut.Tanaman hasil rekayasa
genetika atau sering kita sebut sebagai tanaman transgenik melangkah dari
eksperimen laboratorium ke uji lapangan dan akhirnya komersialisasi hampir
tanpa hambatan yang berarti. Memang, terkadang ada eksperimen yang gagal,
tetapi tidak sampai menimbulkan hal yang membahayakan jiwa
Tahun 1989 untuk pertama kalinya uji
lapangan dilakukan pada kapas transgenik yang tahan terhadap serangga dan pada
tahun yang sama dimulai proses pemetaan gen pada tanaman.
Perkembangan bioteknologi dalam
memperoleh produk pangan baru, berpotensi dapat mengganti proses-proses
fermentasi dengan tanaman yang mampu memproduksi berbagai jenis obat-obatan,
vitamin dan bahkan vaksin secara alami. Kalau impian itu terwujud, bioteknologi
mampu memindahkan proses yang terjadi dalam pabrik-pabrik fermentasi tersebut
ke arah perkebunan tanaman yang memproduksi berbagai jenis komponen bio aktif
dengan proses alami.
Gambaran
tersebut secara jelas disampaikan oleh Dean Della Penna (2002:76) pakar Biokimia
tanaman, Amerika Serikat. Bioteknologi modern
berpeluang besar dalam memproduksi senyawa farmasi, gizi dan bioaktif. Bahwa
tomat, brokoli dapat dimodifikasi gennya untuk menghasilkan ba-han atau senyawa
kimia antikanker, demikian halnya dengan peningkatan kadar vitamin dalam padi,
ubi jalar dan singkong yang dapat membantu pemerintah dalam usaha mengikis kekurangan
gizi masyarakat.
Perakitan tanaman transgenik yang
dapat mengekspresikan gen penyandi protein yang bersifat insektisidal
memberikan beberapa keuntungan dalam usaha peningkatan produksi pertanian.
Walaupun demikian, seperti halnya dengan pestisida, tanaman hasil perakitan
dengan teknologi baru ini secara teori berpotensi mengubah ekosistem
tanaman-serangga hama
dan serangga pengendali hayati. Di lapang, tanaman tidak hanya mendukung
populasi serangga hama ,
tetapi juga memberikan ruang bagi populasi serangga yang makan serangga hama tanaman tersebut.
Interaksi antara tanaman, serangga hama ,
dan musuh alami berperan dalam mengontrol populasi hama itu sendiri yang dalam istilah ekologi
dikenal dengan sistem tri-tropik. Dalam sistem ini, tanaman merupakan tingkat
(level) pertama dari tropik, serangga hama
merupakan tingkat kedua, dan musuh alami merupakan tingkat ketiga
Pentingnya tanaman bagi perkembangan populasi
predator dan parasit dan potensinya untuk mengatur keberhasilan pengendalian
hayati telah lama diketahui (Schuler et al. 1999:63). Karena kekhawatiran bahwa
tanaman transgenik akan merusak kestabilan populasi serangga pengendali hayati,
maka produk rekayasa genetik perlu dikaji keamanannya terhadap lingkungan
sebelum dilepas di alam. Di beberapa negara telah ditetapkan persyaratan untuk
pengkajian pengaruh tanaman transgenik baik terhadap hama sasaran maupun serangga pengendali
hayati yang hidup dan berkembang dari serangga hama sasaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar