Resistensi terhadap Pestisida
Introduksi pestisida sintetik pada sistem
pertanaman dapat menekan perkembangan hama sekaligus menyeleksi hama resisten
terhadap pestisida tersebut. Kasus pertama yang melaporkan adanya resistensi terhadap
herbisida adalah pada tahun 1960. Pada tahun 1990 telah dilaporkan 84 kasus
resistensi gulma terhadap herbisida pada gulmagulma di pertanaman gandum di Australia
(Green et al., 1990:54). Di samping resistensi terhadap herbisi-da, pada
tahun 1960-an juga telah dilaporkan resistensi penyakit ta-naman (cendawan atau
fungi) ter-hadap fungisida. Setelah 20 tahun digunakan, lebih dari 100 spesies
fungi berkembang menjadi resisten terhadap sedikitnya satu jenis fungi-sida.
Pada serangga hama, setelah 40-50 tahun pemakaian pestisida, 530 spesies serangga
berkembang menjadi resisten (Georghiou dan Laguna Tejeda, 1991:121).
Kasus hama berkembang menjadi resisten juga telah terjadi di Indonesia.
Sebagai contoh adalah hama wereng hijau yang menyerang tanaman padi telah
resisten 10-20 kali terhadap insektisida yang banyak beredar di Indonesia.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah Indonesia mengeluarkan keputusan pada tahun
1986, yaitu Keputusan Presiden No. 3 tahun 1986, yang melarang pemakaian 87
jenis pestisida untuk hama tanaman padi (Oka, 1989:68) dan menerapkan program pengendalian
hama terpadu (PHT) tanaman padi secara luas di Indonesia.
C.2. Resistensi terhadap
Varietas Tahan (Biotipe)
Tanaman yang semula tahan terhadap suatu jenis serangga dapat menjadi
peka terhadap serangga jenis yang sama. Painter (1951:133) melaporkan bahwa
kasus resistensi hama terhadap varietas tahan telah terjadi pada hama anggur Phylloxe-ra,
hama penggerek jagung, Hessian fly, pea aphid, greenbug, dan aphid pengisap
daun jagung. Pada tahun 1970-an, biotipe serangga telah dilaporkan pada delapan
spesies tanaman pertanian (Panda dan Khush, 1995:88)
Di Indonesia, kasus hama menjadi resisten terhadap varietas tahan pertama
dilaporkan terjadi pada tanaman padi. Serangan hama wereng coklat pada padi
mulai meluas pada awal tahun 1970-an. Untuk mengendalikan hama wereng ini,
diintroduksi varietas padi tahan wereng (VUTW-1), misalnya varietas padi IR26.
Namun setelah 4-5 musim tanam (12-15 generasi wereng) IR26 tidak tahan lagi
terhadap wereng coklat karena populasi wereng coklat telah beradaptasi yang kemudian
dikenal dengan populasi wereng coklat biotipe 2. Untuk mengatasi wereng coklat
biotipe 2, dilepas VUTW2 di antaranya IR36 dan IR42 pada tahun 1978/79. Pada tahun
1981/82 terjadi lagi ledakan serangan wereng coklat di mana IR42 menjadi peka
terhadap populasi wereng coklat yang disebut dengan biotipe SU (sejenis biotipe
3) (Oka dan Bahagiawati, 1984:15).
C.2. Resistensi terhadap Bt-endotoksin
Keuntungan pemakaian Bt jika dibandingkan dengan pestisida adalah Bt
bersifat toksin terhadap hama dari spesies tertentu sehingga kecil
kemungkinannya membunuh serangga dan hewan bukan sasar-an. Namun demikian, setelah
pe-makaian pestisida mikrobial ini se-lama bertahun-tahun telah ada indi-kasi
bahwa hama menjadi resisten terhadap Bt baik di laboratorium maupun di lapang
(Bahagiawati 2001; 20).
Kasus resistensi hama terhadap Bt-toxin dilaporkan pertama kali pa-da
tahun 1985. Berdasarkan peneli-tian yang dilaksanakan di laborato-rium. McGaughey
(1985:233) melapor-kan kasus resistensi hama Indian mealmoth (Plodia interpunctella)
yang resisten terhadap Dipel (Abbot Laboratory), Bt komersial yang me-ngandung Bacillus
thuringiensis subspesies (subsp) kurstaki HD-1. Koloni dari P.
interpunctella ini di-perbanyak pada makanan buatan yang mengandung Dipel
pada dosis yang menghasilkan mortalitas larva sebesar 70-90%. Dalam waktu dua generasi,
resistensi meningkat men-jadi 30 kali dan setelah 15 generasi, resistensi
mencapai plateau di ma-na terjadi 100 kali peningkatan re-sistensi dibandingkan
dengan kon-trol. Resistensi hama lain terhadap Bt juga telah dilaporkan
misalnya pada almond moth (Cadra cautella) (McGaughey dan Beeman, 1988:142)
dan Heliothis virescens (Stone et al., 1989:254). Kasus hama resisten
terhadap Bt microbial spray tidak hanya dilaporkan terjadi di
laboratorium, tetapi juga di lapang. Tabashnik (1994) melaporkan bah-wa hama Plutella
xylostella telah resisten terhadap cry 1A di lapang di Philipina, Hawaii,
Florida, dan nega-ra Asia lain. Secara umum, kasus resistensi hama tanaman
terhadap Bt microbial spray. Di Indonesia, telah diketahui bahwa di
beberapa daerah sentra kubis terdapat hama P. Xylostella yang resisten
terhadap Bt spray (Sudarwohadi 2001:13).
Analisis genetik dari gen yang mengatur resistensi serangga hama terhadap
Bt-toxin juga telah dipelajari. Inheritance dari resistensi P.
interpunctella adalah autosomal dan bersifat resesif atau partially
resesif, sedangkan pada H. Virescens yang resisten terhadap subsp kurstaki
HD-1 adalah autosomal dan incompletely dominant dan dikontrol oleh
beberapa faktor (Huang et al., 1999:91).
Resistensi hama terhadap Bttoksin dapat terjadi pada dua fase, yaitu
proses aktivasi protoksin men-jadi toksin dan proses melekatnya (binding)
Bt-toksin yang aktif di sel reseptor di epitelial pada dinding usus serangga.
Hasil penelitian Johnson et al. (1990) pada hama P. Interpunctella menunjukkan
bah-wa mekanisme kedua berperan di sini. Mereka menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan antara aktivi-tas di usus serangga pada proses aktivitas proteolisis
yang mengubah protoksin menjadi toksin di usus serangga antara serangga peka
dan tahan Bt. Hal ini juga dikemukakan oleh Van Rie et al. (1990:155)
yang memperlihatkan bahwa resistensi P. interpunctella terhadap cry 1Ab
berkorelasi dengan 50 kali reduksi dari afinitas toksin di reseptor pada sel-sel
di epitelial dinding usus serangga ini.
Berkurangnya afinitas Bt-toxin pada reseptor di epitelial sel juga
dilaporkan menjadi penyebab resis-tensi P. xylostella, H. virescens,
dan Spodoptera exigua. Tetapi tidak se-mua kasus di mana terjadi reduksi
afinitas Bt-toxin dan reseptor meng-akibatkan terjadinya resistensi ha-ma
terhadap Bt-toxin (Oppert et al., 1997:167). Forcada et al. (1996:136)
menunjuk-kan bahwa mekanisme resistensi serangga H. Virescens terhadap
Bt-toxin bukan karena perubahan afi-nitas Bt-toxin dan reseptor di epi-telial
sel di usus tengah serangga. Resistensi terjadi karena pada strain H.
Virescens yang resisten dijumpai enzim proteinase yang memproses protoxin
lebih lama un-tuk menjadi toxin dan setelah toxin terbentuk terjadi proses
degradasi toxin lebih cepat daripada proses yang terjadi di usus tengah
serangga yang masih peka Bt-toxin yang bersangkutan.
Oppert et al. (1997) menemukan bahwa resistensi P.
Interpunctella terhadap Bt-toxin disebabkan karena kurangnya aktivitas
proteinase yang dapat mengaktifkan Bt-protoxin menjadi Bt-toxin. Di samping
itu, Pang dan Gringorten (1998:176) menunjukkan bahwa degradasi Bt-toxin
menyebabkan hama Chroristoneura fumiferana resisten terhadap Bt ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar