Yogyakarta sebagai salah satu bagian tak terpisahkan dengan Indonesia pada awalnya memang berdiri sebagai sebuah negara kerajaan yang mengacu pada sistim kekuasaan absolut. Akan tetapi sistim monarkhi absolut itu justru diubah sendiri oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX menjadi sistim aristokrat demokrasi (demokrasi elitis), yaitu perpaduan model demokrasi musyawarah mufakat dengan tetap mengacu dan menghormati hak – hak asal usul daerah yang terdiri dari daerah Kasultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman.
Model Demokrasi Budaya ini merupakan salah satu mozaik unik dalam khasanah politik Nusantara yang dirangkum dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika. Indonesia adalah negara kebangsaan ”a nation state” dan bukan negara kekuasaan ”a power state” oleh karenanya founding-fathers memberikan peluang tumbuh-kembangnya budaya demokrasi model semacam ini, artinya pemaksaan pilihan langsung terhadap kepala daerah propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai ranah politik dan budaya merupakan suatu hal yang sangat tidak demokratis.
Memahami pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagaimana tertuang dalam amanat Tahta Untuk Rakyat, tersirat kehendak tetap lestarinya masa depan Kasultanan Yogyakarta sebagaimana telah berjalan ratusan tahun masa silam, oleh karena itu dibalik Maklumat 5 September 1945 dan Maklumat
30 Oktober 1945 seolah – olah mengisyaratkan demokrasi budaya sebagai pilihan, karena:
1. Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman harus tetap eksis dalam menjaga tradisi dan peradaban budaya bangsa demi tetap tegaknya Indonesia
2. Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman harus mampu melahirkan penerus dinasti yang kualitatif dan memenuhi syarat sebagai gubernur dan wakil gubernur karena akan menjadi sumber reqruitment dalam demokrasi budaya.
3. Masyarakat melalui DPRD dan Pemerintah Pusat melalui Presiden harus mampu menetapkan sosok seorang gubernur dan wakil gubernur yang identik dengan kedudukan sebagai Sultan dan seorang Adipati.
4. Ada keinginan untuk menjaga kedua institusi secara seimbang (balance), baik institusi budaya (kraton) maupun institusi politik (pem-prop) dalam satu eksistensi.
Berdasarkan hal diatas maka Rancangan Keistimewaan Yogyakarta meliputi tiga hal yaitu istimewa dalam hal pemerintahan (pasal 17), bidang pertanahan (pasal 10), dan bidang budaya (pasal 6 dan 7). Khusus menilik mengenai bidang pemerintahan maka perlu dicermati pula bahwa bagaimana suksesi seorang raja maupun seorang adipati yang juga menjadi kepala pemerintahan di Yogyakarta selalu ditunjuk secara langsung oleh raja maupun adipati yang berkuasa saat itu. Hal ini sesuai dengan sistim pemerintahan monarkhi absolut yang dianut Yogya bahwa seorang raja memiliki otoritas penuh untuk menentukan siapa penggantinya.
Hal ini harus diperhatikan bahwa jika RUUK tersebut benar-benar diimplemantasikan, Yogyakarta akan kembali pada masyarakat Jawa tradisional yang menempatkan keraton sebagai pusat dari segala-galanya. Satu hal harus disadari adalah Yogyakarta telah mengalami perubahan demikian pesat. Masyarakat Yogyakarta hari ini tentu tidak lagi dapat dilihat sebagai satu kesatuan homogen yang masih memegang kuat tradisi dan nilai-nilai masyarakat Jawa masa lalu. Berbagai suku di Indonesia, mungkin juga dunia hari ini bermukim di Yogyakarta. Mereka hidup dan menghidupi Yogyakarta dengan cara dan nilai yang dipegangnya masing-masing. Dengan demikian sulit juga untuk mengatakan siapa sebenarnya yang sekarang ini dapat disebut sebagai aseli wong Yogya.
Pluralisme demikian selain sebagai sebuah kekayaan, apabila tidak dikelola dengan baik dia dapat menjadi potensi konflik yang mengancam. Tingkat persaingan hidup yang semakin ketat pasti akan memunculkan perlombaan dalam merebut akses ekonomi politik yang ada. Hal tersebut apabila tidak segera diantisipasi melalui perangkat perundangan yang benar-benar adil, tidak menutup kemungkinan akan memunculkan segregasi sosial dalam bentuk kemiskinan, ketimpangan sosial, maraknya kriminalisme dan premanisme dan lain sebagainya yang menjadi ancaman kohesi sosial masyarakat Yogyakarta.
Untuk itulah RUUK seharusnya dapat ditinjau dengan seksama apakah akan menjawap perubahan yang sekarang terjadi di Yogyakarta dan mendatangkan lebih banyak kesehjateraan bagi masyarakatnya ataukah hanya menjadi penegak bagi hegemoni kekuasaan keraton saja yang mengatasnamakan nilai historis dan kultural. Jika piliha terakhir yang diambil maka terjadilah sebuah akumulasi atau proses demokratisasi dengan pendekatan politik demi menyelamatkan kepentingan budaya dimasa yang akan datang.
Landasan Historis dan Kultural Keistimewaaan Yogyakarta
Harus diakui bahwa sebagian masyarakat Yogyakarta sendiri kurang mengetahui mengapa DIY memiliki hak-hak khusus yang membedakannya dengan propinsi lain di Indonesia. Pandangan ini pada akhirnya akan menggugat eksistensi DIY, atau dengan kata lain, hak-hak asal usul yang dimiliki oleh DIY akan hilang, sementara UUD 1945 secara eksplisit justru mengakui dan menjamin keberlangsungan hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa.
Oleh karena itu seharusnya orang Yogyakarta sendiri harus diingatkan pada makna dan latar belakang historis. Memang patut dimaklumi, keberadaan DIY yang merupakan bagian integral dari NKRI sering mengundang kecemburuan daerah-daerah di sekitarnya. Hal ini tidak terlepas dari adanya hak-hak istimewa yang dimiliki DIY seperti dalam hal pengangkatan Kepala Daerah, bidang pertanahan, dan sebagainya. Dalam berbagai bidang tadi, terdapat kesan seolah-olah DIY memiliki legitimasi untuk “berbeda”. Pada dasarnya, terbentuknya Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta disebabkan oleh dua faktor pokok, yaitu hak asal-usul dan susunan asli, serta peran historis dalam perjuangan kemerdekaan RI.
Mengenai hal asal-usul dan susunan asli ini, pasal 18 UUD 1945 secara tegas menyebutkan sebagai berikut : "..... dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa". Ini berarti bahwa UUD 1945 mengakui kenyataan historis bahwa sebelum proklamasi kemerdekaan, di Indonesia sudah terdapat daerah-daerah Swapraja yang memiliki berbagai hak dan wewenang dalam penyelenggaraan berbagai urusan di daerahnya.
Selanjutnya dalam penjelasan pasal 18 disebutkan bahwa : “Oleh karena Negara Indonesia itu adalah eenheidstaat, maka Indonesia tak mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat staat juga … Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat 250 Zelfbestuurende-landschappen … daerah-daerah itu mempunyai susunan yang asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Berdasarkan ketentuan itu, secara teoritis dalam Daerah Istimewa terdapat dua macam hak, yaitu hak yang telah dimiliki sejak semula (hak yang bersifat autochtoon) atau hak yang telah dimiliki sejak sebelum daerah itu merupakan bagian dari Negara Indonesia, dan hak yang dimiliki berdasarkan pemberian pemerintah. Perwujudan dari hak-hak asal-usul atau yang bersifat autochtoon itu bisa bermacam-macam. Hak itu dapat berupa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar